sedikit cerita tentang perjalanan

Sebuah cerita lagi tentang perjalanan…

Akhirnya, setelah sekitar setahun diinterogasi mengapa aku tidak juga berangkat ke Semarang untuk menjenguk mbah buyutku seraya melontarkan berbagai macam alasan yang sebagian besar sejenis dengan kata “sibuk” dan “tak punya waktu”, kemarin aku berangkat sungguhan sendirian. Perjalanan itu hampir seperti tidak direncanakan. Aku berangkat meninggalkan Jogja dengan menggunakan kereta api. Aku cukup antusias karena itu adalah perjalanan pertamaku dengan menumpangi kereta api. Banyak orang selalu bercerita bahwa perjalanan dengan kereta api itu begitu menarik karena banyak pemandangan indah yang bisa disaksikan sepanjang perjalanan yang tidak akan didapatkan jika menggunakan kendaraan lain. Hm…bagaimana ya? Untuk sebagian besar orang mungkin benar, namun bagiku yaah…tidak juga. Pada kenyataannya aku tidak terlalu terpukau dengan apa yang melintasi jendela kereta. Aku menghabiskan separuh waktuku di kereta dengan membaca buku. Inilah yang membedakannya dengan perjalanan lainnya, ternyata aku tidak pusing membaca di kereta api. Syukurlah…

Perjalanan dengan kereta api itu memang menarik. Banyak hal yang bisa kulihat dan kurefleksikan. Itulah yang kukerjakan di kereta api. Bila mulai jenuh membaca, aku memandangi orang-orang di sekitarku dan aktivitasnya. Memandangi lalu merenunginya. Oh ya, satu lagi yang kupikir cukup menakjubkan. Pemandangan tempat huni orang-orang di pinggir rel kereta api tak berpengaman yang melintasi jendelaku yang rusak itu. Aku hanya membayangkan bagaimana mereka bertahan hidup di rumah yang agak kurang memadai itu, bahkan tanpa pengaman di sekitar rel. Selalu saja begitu… Namun, aku masih tetap saja belum bisa melakukan apa-apa untuk itu. Sial…

Setibanya di Semarang, seorang teman lama menjemputku lalu mengantarkanku ke rumah mbah buyutku. Ya, sambutan yang lazim untuk cucu yang sudah lama tidak terlihat, “Nduk, sudah besar sekali kamu sekarang.” Tanpa canggung aku menghabiskan malam itu dengan mengobrol dan memasak makan malamku sendiri seperti di rumah sendiri. Ya, aku merasa di rumah.

Esok sorenya, seorang sahabat yang kurindukan mengajakku bertemu di sebuah tempat. Aku langsung setuju karena memang aku benar-benar ingin menemuinya setelah setahun lebih terpisah. Hujan deras dan petir mengisi sore itu. Agak basah sedikit, aku menumpang kendaraan umum menuju tempat yang tidak kutahu persis di mana dan seperti apa itu. Ternyata sebuah pusat perbelanjaan, atau biasa disebut mall. Beberapa saat aku berkeliling di sana sambil menunggu sahabatku itu. Ketika kami bertemu, senyum dan tawa lepas keluar dari kami berdua karena bahagianya bisa bertemu lagi. Ia cantik sekali sekarang. Aku senang sekali melihatnya. Kami menghabiskan waktu dengan makan malam dan mengobrolkan banyak hal. Ia mengantarku pulang malam itu. Ah, terima kasih Tuhan aku bertemu lagi dengannya… =)

Sehari penuh berikutnya kuhabiskan dengan berkutat di rumah itu saja. Hujan dan petirnya datang lagi seharian. Aku mendengarkan banyak cerita tentang masa lalu dari mbah dan mbah buyutku. Aku bahagia bisa kembali ke sana. Ke tempat di mana mamaku dulu menghabiskan masa kecilnya. Puji Tuhan…syukur ini tak habis-habis… Mbah buyutku sudah begitu tua. Usianya 97 tahun. Kami semua kagum bagaimana ia masih terus melakukan aktivitasnya sendiri dan belum pikun. Ia masih saja ingat apa saja yang kami lakukan ketika ia dulu berkunjung ke rumahku sekian belas tahun yang lalu. Hebat. Namun, dua hari selama aku di sana, jemari tangan kanannya terasa kaku dan tidak bisa menggenggam benda-benda. Aku membantunya melakukan apa yang tidak bisa dilakukan tangan kanannya. Tapi, senyum dan tawa  tak pernah lepas dari bibirnya ketika aku menolongnya. Ia hanya bicara soal wajarnya hal itu karena usianya memang sudah terlalu tua. Hingga pada akhirnya, pagi terakhir sebelum aku pulang dari sana, ia memintaku untuk menyisiri rambutnya. Aku masuk ke kamarnya untuk mengambil sisir. Aku belum pernah ada di masa lalunya, namun entah bagaimana aku percaya bahwa kamar itu sungguh mengesankan keadaan masa lalu. Aku keluar lagi sambil membawa sisir dan menyisiri rambutnya yang tipis dan putih itu. Ketika kuurai ikatannya, rambutnya terurai panjang. Banyak helainya yang rontok. Kusisiri perlahan sambil membayangkan apa yang ia rasakan ketika menemukan kenyataan bahwa ia sudah tidak lagi bisa melakukan beberapa hal karena usianya. Membayangkan bagaimana ia menghabiskan hari-harinya ketika tidak diizinkan untuk beraktivitas seperti biasa lagi oleh keluarga. Membayangkan siapa yang diajaknya bicara ketika ia ingin bercerita. Membayangkan apa yang dilakukannya ketika seisi rumah sedang pergi semuanya. Ah, aku jadi sangat sedih membayangkannya…

Setelah kusisiri, ia mengucapkan terima kasih sambil beberapa kali mengusap matanya. Aku tidak tahu, adakah ia menangis? Beberapa kali ia mengutarakan secara sekilas kesedihannya karena bolak-balik diomeli oleh mbahku, atau anaknya yang ada di rumah itu. Hatiku benar-benar terasa miris. Aku terbayang bagaimana mamaku benar-benar menyayanginya. Mbah buyutku selalu senang dan sangat antusias tiap kali ditelepon oleh mamaku. Bahkan ketika aku di rumahnya, ia sempat menanyakan mengapa mamaku tidak ikut sekalian. Ternyata ia sungguh merindukan mamaku. Terima kasih Tuhan, aku masih diberi kesempatan untuk menemuinya lagi dalam keadaan sehat. Terima kasih…

Dari semua perjalanan itu, ternyata aku tidak bisa jatuh cinta pada kota itu. Entah kenapa. Mungkin karena terlalu banyak tanda-tanda metropolitan di sana, atau apalah aku juga tidak tahu. Yang membuatku ingin kembali ke sana hanya rumah itu dan sahabat-sahabatku. Rumah yang terasa begitu “rumah” buatku serta sahabat-sahabat yang mengembalikanku pada kenangan masa sekolah. Aku akan kembali ke sana suatu kali berikutnya, tunggu saja.


Saat Aku Lanjut Usia tadi tidak sengaja berputar

Komentar

Postingan Populer