Manjali dan Cakrabirawa

Judul        : Manjali dan Cakrabirawa
Penulis     : Ayu Utami
Penerbit   : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Terbit       : Juni 2010 (Cetakan Pertama)
Tebal       : 251 halaman
ISBN       : 978-979-91-0260-7




    Manjali dan Cakrabirawa merupakan novel keempat Ayu Utami. Novel ini juga disebut-sebut sebagai sekuel dari novel sebelumnya, Bilangan Fu, karena menggunakan tokoh-tokoh yang sama. Jika novel Bilangan Fu mengambil latar dominan perbukitan kapur di Watugunung lengkap dengan cerita-cerita para pemanjat tebing, Manjali dan Cakrabirawa berpindah ke daerah candi Calwanarang.

    Dalam novel keempatnya ini, Ayu Utami membawakan cerita mengenai Marja, seorang mahasiswi 19 tahun yang bertualang menjelajahi candi-candi bersama Parang Jati, pemuda pintar yang menjadi sahabatnya. Marja dan Parang Jati mendatangi sebuah candi yang dikenal dengan nama Candi Calwanarang bersama dengan seorang arkeolog berkebangsaan Perancis yang disapa Jacques. Kedatangan mereka bertujuan untuk menjenguk sebuah penggalian situs purba oleh masyarakat sekitar dan membantunya. Perjalanan ini menjadi sedikit berbau mistik bagi Marja karena Parang Jati mengawalinya dengan sebuah cerita mengenai candi yang mereka kunjungi itu.

    Nama Calwanarang diambil dari nama seorang juru teluh pada zaman Kerajaan Airlangga. Ratu Calwanarang ini dikenal memiliki ilmu sihir yang begitu dahsyat sehingga ia begitu kenamaan. Calwanarang memiliki seorang putri yang bernama Ratna Manjali. Setelah mendegar cerita ini, Marja mulai gelisah memikirkan kemiripan namanya dengan putri Calwanarang itu. Marja Manjali. Ia bolak-balik mulai merasakan sentuhan-sentuhan gaib yang diduganya merupakan hubungan nama Manjali tersebut. Petualangan Marja, Parang Jati, dan Jacques sejak dari awal dibumbui dengan kisah jatuh cintanya Marja pada Parang Jati. Marja sesungguhnya telah memiliki kekasih bernama Sandi Yuda yang juga merupakan sahabat kental Parang Jati. Marja harus mengatasi nafsunya dan rasa bersalahnya pada Yuda. Kisah cinta terlarang bin sembunyi-sembunyi itu mendominasi keseluruhan cerita.

    Dalam perjalanan yang sama pula, Marja dan Parang Jati bertemu dengan seorang ibu tua yang tinggal sendirian di dalam hutan dekat Candi Calwanarang. Ibu bernama Murni itu kemudian diketahui sebagai salah seorang saksi hidup dari peristiwa pembantaian massal yang dikenal dengan G 30 S. Diceritakan, Ibu Murni kehilangan suaminya, seorang tentara yang turut menjadi korban pembantaian tahun itu atas tuduhan memiliki kaitan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Dari petunjuk yang didapatkannya, ia datang ke hutan tersebut untuk mencari makam suaminya. Namun, karena tidak jua ketemu, ia akhirnya hidup sebatang kara di sana. Di akhir cerita, Marja dan Parang Jati berhasil menemukan makam suaminya.

    Di tempat terpisah, Yuda, kekasih Marja, merahasiakan aktivitasnya melatih militer memanjat tebing dari sahabatnya, Parang Jati, yang amat membenci militer. Yuda kemudian berkenalan dengan seorang tentara, bernama Musa Wanara, yang begitu tertarik dengan benda-benda semacam jimat. Karena sebuah ketidaksengajaan, Yuda menceritakan pada Musa bahwa kekasih dan sahabatnya menemukan sebuah arca Bhairawa Cakra dalam penggalian mereka di Candi Calwanarang. Musa langsung bergairah karena ketertarikannya pada mantra Cakrabirawa yang diyakininya tertulis pada arca tersebut. Musa percaya bahwa ia ditakdirkan untuk memiliki mantra itu. Ganti Yuda yang kewalahan. Akhirnya, Musa dan Yuda sungguh-sungguh berangkat menyusul untuk mengambil arca tersebut. Mereka melaksanakan perampokan berencana, mencuri arca Bhairawa Cakra yang diangkut oleh petugas dinas purbakala. Marja, Parang Jati, dan Jacques yang telah meninggalkan area penggalian terpaksa kembali lagi ke candi tanpa mengetahui siapa yang mencurinya.

    Ketika menginap di kompleks candi, mereka mendapati Sandi Yuda telah menyusul ke tenda mereka. Yuda datang dengan tiba-tiba sambil memohon pertolongan karena seorang temannya tercebur ke dalam sumur yang pernah digali. Tak lain Musa Wanara-lah yang terjerumus. Ia berusaha mencari artefak-artefak lainnya yang bisa ia miliki. Yuda menolongnya dengan masuk ke dalam sumur tersebut dibantu oleh Parang Jati yang memegangi talinya. Musa Wanara berhasil ditarik keluar dari sumur itu dan dilarikan ke rumah sakit. Selanjutnya, Yuda terpaksa mengakui semua hal yang dirahasiakannya dari Parang Jati bahwa ia berlatih memanjat bersama militer dan juga bahwa merekalah yang mencegat petugas dinas purbakala di jalan untuk mengambil arca tersebut.

    Dalam novel Bilangan Fu, Ayu Utami menyajikan informasi-informasi yang menarik mengenai pemanjatan dan sejarah terutama sejarah Jawa. Manjali dan Cakrabirawa pun memuat hal yang sama. Selain itu, yang menjadi informasi utama yang ingin dicantumkannya adalah potongan-potongan peristiwa ’65. Sayangnya, menurut saya novel keempatnya ini kurang rapi jika dibandingkan dengan Bilangan Fu. Penulisannya untuk memasukkan info-info sejarah tersebut kurang halus sehingga terkesan seperti terlalu dipaksakan. Kebetulan, saya pernah menghadiri diskusi dan bedah buku Manjali dan Cakrabirawa di Yogyakarta. Hadir pula Ayu Utami dalam acara tersebut. Saya datang terlambat sehingga tidak mengikuti diskusi dari awal. Seorang teman menyampaikan pendapatnya bahwa terdapat kesenjangan-kesenjangan informasi peristiwa ‘65 yang disajikan Ayu Utami dalam novelnya ini. Saya tidak ingat persis Ayu Utami menjawab apa, namun saya mengutip, “Saya memang tidak bermaksud menulis novel sejarah.”

    Bagi saya, novel ini kurang jelas memilih fokus. Saya kebingungan jika ditanya topik utama dari Manjali dan Cakrabirawa. Ada banyak poin yang disajikan, namun saya sungguh kehilangan fokus. Bagian terakhir dari novel ini dijuduli Teka-teki. Menurut saya detil-detil informasi menuju pemecahan teka-tekinya ditulis dengan cukup baik. Akan tetapi, plotnya agak kurang terencana. Susunan alurnya untuk sebuah teka-teki masih belum terlalu manis.

    Terlepas dari itu semua, novel ini tetap menarik bagi saya karena memberikan informasi-informasi sejarah terutama mengenai situs-situs purbakala yang menjadi latar cerita.

Perkenankan saya menuliskan beberapa hal dalam buku ini yang bagi saya menarik :)
-    Melankoli berasal dari rasa tak bisa memiliki.
-    Misteri itu rahasia yang belum diketahui apakah jawabannya tetap atau pasti, namun teka-teki memiliki jawaban yang tetap dan pasti.        


 
Bengkulu, 9 Januari 2010

Komentar

Postingan Populer