24

Setelah sekian lama ditunda seribu alasan, akhirnya tulisan ini kueksekusi juga…

Untunglah masih Januari. Sudah lewat 19 hari sejak ulang tahunku yang ke-24. Tulisan ini masih jadi bagian dari rutinitas ulang tahun itu. Tapi sebelumnya, mungkin kutinjau dulu apa yang sudah terjadi di usia 23 kemarin.

Di awal tahun lalu, seorang teman penggila zodiak dan aneka nujum lainnya membuat saya membaca sebuah ramalan tentang hidup saya di tahun 2015. Saya sudah lupa persisnya hewan dan elemen ikon tahun lalu itu apa; kambing tanah kalau tidak salah. Ha! Shio saya kambing, elemen saya tanah. It’s gonna be my year! Di ramalan itu tertulis bahwa akan ada banyak hal besar yang saya alami. Saya akan bersinar gemilang, begitu katanya. Saya amini saja dengan tulus. Lalu hasilnya?

Ya, memang ada banyak hal besar terjadi. Di paruh pertama tahun lalu, ibuku melakukan kunjungan singkat ke Yogya. Kunjungan itu ternyata membuka lagi kotak keinginan yang sudah hampir kukubur saat itu. Keinginan untuk melanjutkan sekolah. Ternyata beliau menawarkan sponsor untuk itu. Saking kagetnya, aku tidak langsung mengiyakan. Aku akan pikir-pikir dan susun rencana dulu, begitu sambutku dalam percakapan di warung makan masakan Cina Jawa itu.

Setelah menimbang-nimbang, kuhubungi ibu di rumah. Kukatakan aku jadi mau ambil tawaran ibu kali lalu. Ibu juga sudah sepakat. Tinggal aku berangkat mendaftar. Sampai menjelang sesi pendaftaran ditutup, aku masih tak kunjung menyerahkan berkas-berkas pendaftaran itu. Aku bersikeras mau menunggu kesempatan mengobrol dengan mas pacar soal keputusan kuliah itu. Aku sempat berpikir untuk mundur! Tapi, sekali lagi, terpujilah mas pacar satu itu, jawaban darinyalah yang akhirnya memantapkan hatiku untuk langsung berangkat mendaftar ke kampus. Pendapat mas pacar ingin kusensor saja, isin aku, hehehe.

Dan demikianlah. Aku akhirnya diterima di pendidikan lanjutan impianku itu. Seminggu sebelum kuliah pertama, aku bergulat dengan persiapan pernikahan. Bukan pernikahanku jelas. Pernikahan teman kuliah dulu. Aku kembali jadi manusia pagi (semua kuliahku dimulai pagi sekali). Seusai kuliah lalu melanjutkan bekerja. Stres? Jelas. Dulu bahkan sebelum aku mulai kuliah lagi, seorang teman yang juga adalah bekas kakak tingkat di kuliah yang sama menasihati mas pacarku untuk lebih peka dan tabah menghadapi pacarnya yang sewaktu-waktu bisa berubah jadi dinosaurus lapar. Hahaha. Ternyata jadi kenyataan. Ya dinosaurus laparnya, ya kesabaran dan ketabahan mas pacar. Hahaha.

Langsung lompat saja ke penghujung semester. Kuliah berakhir dengan setumpuk ujian akhir. Ujian yang harusnya pertama dikumpulkan ternyata tidak berhasil kuselesaikan gara-gara tertidur pukul 10 malam dan baru sadarkan diri pukul 6 pagi. Sementara itu sudah tenggat pengumpulan ujiannya. Kali itu aku ikhlas. Mas pacar sampai komentar, “Pertama kalinya dalam sejarah.” Ternyata, bapak dosen yang lucu itu berbaik hati. Aku masih boleh mengumpulkan di awal Januari. Maka penyakit terulang, kutunda semua pengerjaan ujian. Hahaha. Beruntungnya, sindrom sakit akhir tahunku tidak terlalu parah. Hanya sempat muntah-muntah dini hari sampai perut kosong dan berakhir switched off seharian penuh serta gagal menghadiri pemberkatan dan resepsi nikah seorang teman kuliah (padahal aku yang harusnya bawa hadiah).

Tahun lalu jadi tahun pertamaku melalui hari Natal tidak di Sumatra. Tidak di rumah Bengkulu, tidak juga di rumah Seputih Raman. Melainkan di Yogya. Ibu dan abangku datang kemari lantaran ingin bernatalan lengkap, sementara adikku yang mulai pendidikan di Yogya tengah tahun lalu belum boleh pulang ke rumah. Hehe. Itu ternyata jadi salah satu misa Natal terbaik yang pernah kulalui. Misa itu hanya diikuti sekitar 40an orang. Hanya 6 orang yang tidak pakai jubah. Dadakan, aku diminta ikut perarakan awal, jadi Maria yang menggendong bayi Yesus. Berpasangan dengan abangku.

Kejadian itu membuat aku teringat waktu kelas 3 SD dulu diminta main tablo Natal jadi Maria. Sudah sempat latihan beberapa kali, berpasangan dengan kakak kelas bernama Ignas yang berperan jadi Yusufnya. Ignas begitu luwes berakting (bahkan dia berimprovisasi dengan pura-pura menggoda bayi dalam gendonganku, seperti bapak betulan!). Aku? Maluuuuu sekali. Masih kecil dan harus beradegan seakan-akan punya suami. Ah, gawatlah pokoknya. Aku berhasil melarikan diri dari peran itu gara-gara ternyata keluargaku berencana pulang ke Lampung untuk natalan. Yes! Langsung aku melapor ke sutradaranya bahwa aku tidak jadi main drama. Sudah kadung senang, ternyata bapak ibuku mengonfirmasi bahwa kami akan berangkat setelah misa Natal 25 Desember pagi. Jadi kami masih akan ke gereja di hari Natal. Ah, rencanaku nyaris gagal lagi. Dengan langkah ragu aku menghadap lagi ke ibu sutradara. Aku tidak mau dikira bohong dan cari-cari alasan demi tidak jadi Maria, padahal masih ada di gereja pada saat pentas. Ketika aku menghadap, ternyata penggantiku sudah ditemukan! Dan dia datang latihan! HORE! Akhirnya aku minta jadi malaikat saja. Dan boleh. Hehehe.

Nah, tahun lalu ternyata akhirnya aku berperan jadi Maria. Paling hanya lima menit sih. Tapi, ya dalam hati geli juga karena ingat pengalaman konyol waktu kecil itu. Misanya berjalan lancar dan menyenangkan. Tak kurang syahdu dari misa di gereja besar bersama umat seabrek. Kami lalu makan bersama keluarga komunitas adikku.

Liburan seminggu Natal lalu rasanya indah sekali. Sungguh deh. Ini tidak dibuat-buat. Kalau kata sifatnya terasa alay, maaf ya, tapi ya demikian itu yang kurasakan. Aku senang sekali sempat mengantarkan ibu nyekar ke makam nenek buyutku, yang dipanggil Mak oleh ibuku, saking dekatnya mereka dulu. Sempat pula kami mampir sebentar di Magelang, kota tempat ibuku menghabiskan masa kecil. Sejak setahun yang lalu ia selalu mengutarakan keinginannya putar-putar Kota Magelang, mencoba mengingat-ingat lagi di mana rumah nenek buyutku dulu, di mana sekolah ibuku dulu, di mana ia main semasa kecil, dan lain sebagainya. Keinginan itu kulihat sebagai rindu yang begitu dalam. Barangkali, di masa tuaku nanti aku juga begitu terhadap Bengkulu, kota kelahiran yang membesarkanku. Dan benarlah… ibuku semangat sekali menunjuk sana dan sini, menceritakan 40 tahun yang lalu bentuk tempat itu seperti apa. Meski di awal tiba di sana, ia hanya diam. Kukira tidak sadar kalau sudah sampai, ternyata dengan malu-malu lalu mengakui bahwa ia benar-benar pangling. Ternyata diamnya itu berusaha mengingat, dan mengumpulkan memorinya satu per satu. Mas pacar banyak membantu ibuku dengan melihat GPS. Menyebutkan nama-nama lokasi dan ibuku lalu akan menyambarnya dengan ungkapan yang menyatakan ia ingat, tapi tidak persis.

Ketika formasi keluarga sudah lengkap dan adik boleh cuti tiga hari, kami bahkan sempat main ke Gua Maria Kerep, Ambarawa. Itu salah satu perjalanan menyenangkan yang berhasil dieksekusi dengan percakapan: “Mampir sana yuk”; “Yuk”. Ah, asyiklah pokoknya. Dan yang membuat saya benar-benar lapang hati adalah pengakuan ibu bahwa ia bisa tidur nyenyak selama di sini padahal seminggu sebelumnya beliau sempat rawat inap gara-gara vertigo yang disebabkan dan menyebabkan insomnia parah. “Supaya bisa tidur, pikiran harus rileks,” itu kataku pada ibu lewat telepon saat itu. Berarti, ibu senang selama di Yogya, rileks pikiran dan jiwanya, sehingga bisa tidur dan sehat buat jalan-jalan.

Kami mengantarkan ibu dan abang ke stasiun Sabtu malam. Rasanya cepat betul. Besoknya, ada satu hari lagi yang kuhabiskan bersama adik karena dia masih cuti. Kami main ke susteran, bertemu dengan suster guru dan kepala sekolah kami waktu SMP dulu. Suster Fidelis masih ingat kelakuan saya waktu masih jadi remaja alay itu. Hahaha. Sorenya lalu aku dan adik ke gereja bersama, makan, lalu dia kuantarkan pulang ke asrama. Permainan dimulai.

Permainan untuk berpura-pura tidak apa-apa. Didukung dengan kesempatan harus menemui teman SMA yang lagi berkunjung ke Yogya sebentar. Setelah itu, permainan tidak bisa lagi dihindari. Membuka pintu rumah kontrakan yang sepi. Menginap sendirian. Ternyata seminggu berlalu begitu cepat. Daripada harus terbangun dan bekerja dengan mata bengkak, lebih baik segera tidur, biar tak terasa sepinya.

Senin pagi, semua hal kembali seperti semula. Bekerja. Dan yang utama: berhadapan dengan tumpukan ujian akhir semester. Itu sajalah kegiatanku sampai tahun baru datang. Aku sampai lupa akan ulang tahun hingga adikku mengirimkan SMS, menanyai apakah aku akan ada di rumah pada hari Minggu (yang tidak kuingat itu tanggal 3 Januari). Karena kubilang tidak dan kutanyakan ada keperluan apa, dia bilang mau mengantar kado, dan barulah aku ingat. Tak sempat berpesta-pesta sampai tanggal 3 datang. Seorang temanku dilamar kekasihnya di tanggal itu, tanggal yang sama dengan ulang tahun mendiang ibunya. Jadi aku menginap di rumah teman sejak tanggal 2 malam.

Di pertengahan malam, aku diberi selamat oleh keluarga pemilik rumah dan disodori minuman cokelat sebagai hadiah. Ketika bangun di pagi hari, kuterima sebuah panggilan video dari benua di belahan dunia lain. Febi dan Mbak Riris meramaikan pagi itu. Banyak ucapan datang lewat pesan-pesan, kubalas satu per satu dengan gembira. Aku juga menerima sebatang cokelat dark beraroma jeruk. Menjelang sore, ternyata aku dikasih kue sama teman-teman. Cheesecake pendidikan. Hahaha, soalnya garnish-nya fondan bentuk buku. Mas pacar masih kerja waktu itu, hehe. Dia datang sudah malam. Dan lalu teman-teman mengeluarkan satu kue lagi (banyak amat!). Ada gambar bunga mataharinya. Hehehe (aku ketawa terus, maafkan ya). Hari ulang tahun panjang, banyak teman-teman, ah, senanglah pokoknya. Aku sampai terharu. Ujiannya sudah selesai? Ya belum, hahaha. Apa yang terjadi, terjadilah.

Keesokan harinya, aku sudah kembali bekerja. Dan berkutat lagi tak bisa lari dari kewajiban mengerjakan ujian akhir semester. Tiba di kantor, tanganku dijabat oleh Eka, pengusaha buku muda sukses, sambil dia mempersilakan aku memilih satu buku karangan dosenku sebagai hadiah. Asek! Kuambil satu yang imut. Sepulang kantor, kutemukan sekantong benda asing. Ternyata adikku yang mengantarkan. Isinya salib kayu, titipan untuk ibuku, dan sekotak sesuatu berbungkus kertas kado biru. Saat kubuka, aku terharu lagi, isinya kotak Milo. Rentetan kisah bodoh soal kotak Milo ini berlanjut. Setelah kusimpan beberapa hari, akhirnya kuunggah foto Milo ini ke akun Instagram dengan caption menye-menye. Lalu, kusadari ternyata tanggal kadaluarsanya adalah Juli 2015. … Gagal minum Milo. Tapi aku tidak berniat memberi tahu adikku, daripada dia kecewa. Setelah akhirnya memantapkan hati untuk mencoba minum Milo kadaluarsa, aku (lagi-lagi) melihat sesuatu yang aneh. Kotak ini ditutup dengan selotip bening; tandanya sudah pernah dibuka! Ketika kubuka (aku merasa sangat konyol), ternyata isinya buku. …………………… Goblok benar aku ini. Hahahahaha.

Di hari lain disusul dengan sticky notes warna hijau berbentuk fauna idolaku: tyrannosaurus rex. Dan… satu voucher belanja di Indomaret senilai Rp50.000,00. Hehehe. Alhamdulillaaaaaaah. Yah, intinya aku dapat banyak sekali hadiah tahun ini. Terima kasih, terima kasih, terima kasih. Doa baik buat semua orang yang membuat hari ulang tahun ke-24 ini bahagia.

Nah, lalu, di 24 ini mau apa?

Hehe, cita-cita yang kubuat di tahun sebelumnya untuk jadi lebih sehat ternyata berhasil cukup baik. Aku jarang sakit. Aku berhasil tidak flu selama beberapa bulan (biasanya setiap bulan pasti kena). Dalam setahun mungkin hanya 3-5 kali beli obat sakit kepala (itu pun lebih banyak diminum orang lain). Itu artinya, sakit kepala sudah tidak sering berkunjung lagi. Secara umum juga aku lebih bahagia. Ehehehe. Berarti, niat yang satu ini terkabul. Dan akan selalu kujadikan niat setiap hari supaya lebih profuktif dan bahagia.

Niat lain yang mau kuseriusi tahun ini adalah mengembalikan disiplin diri. Harus mulai mengurangi keluhan-keluhan sibuklah, capeklah, bosenlah, apalah apalah. Bukannya mau memaksakan diri, tapi yang jelas memang ini konsekuensi dari rutinitas yang aku pilih untuk jalani sekarang. Keluhan-keluhan itu wajar keluar, tapi tidak boleh jadi alibiku untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Dipilih sendiri kok, ya berarti harus konsekuen. Semoga kesehatan dan stamina yang baik menunjang niat untuk lebih rajin ini.

Aku juga harus menyembuhkan diri dari trauma membaca. Haha. Kedengaran aneh memang, tapi ya begitu yang kualami. Bekerja sehari-hari membaca naskah mentah pernah membuatku begitu sering mencurigai buku-buku yang mau kubaca. Akibatnya, tidak semangat lagi membaca. Dalam setahun terakhir aku mencoba untuk menyembuhkan itu. Dan lumayan baik hasilnya. Tahun ini harus lebih baik lagi. Haha.

Satu lagi, mau belajar menempatkan macam-macam hal dalam posisi, porsi, dan prioritasnya masing-masing. Hehe. Penyakit jadi orang khawatiran sepertiku ini adalah terhambat melakukan hal-hal yang mestinya diselesaikan gara-gara memikirkan hal lain yang ternyata tidak berpengaruh banyak pada diri dan hidupku. Aku harus banyak belajar tega. Hahaha. Mungkin kursus menjadi tega yang dulu pernah ditawarkan temanku itu harus kuambil. Tapi sepertinya cuma perlu sampai level beginning, jangan sampai advance. Wakakakak.

Huah, panjang sekali aku nyocot ini. Tak apa-apalah (begitu terus!). Intinya aku merasa hidupku membaik dan lebih bahagia. Aku juga jadi lebih santai menerima banyak hal (tenane?). Haha. Dan itu akan kuusahakan lagi di umur 24 yang semoga indah ini.


Terima kasih semua orang buat segala hal yang kalian berikan dan perbuat. Semoga itu semua membawa kebaikan buat hidup kalian. Selalu dan sepanjang segala masa. Amin!

Komentar

Postingan Populer