Sebuah Catatan Fangirl
Pembaca yang tabah, penonton yang payah.
Saya bukan
penonton film lama. Maksudnya, baru belum lama ini saja saya mulai bisa
menikmati menonton dan menjelajah film. Saya gampang tertidur ketika menonton
film. Itu dugaan alasan pertama yang membuat saya dulu tidak begitu betah
menonton. Tetapi belakangan, saya baru sadar alasan lain yang lebih masuk akal.
Saya tidak punya kemampuan untuk menyimak semua detail dalam gambar bergerak
sekaligus: gerakan, gambar latar, dialog, efek suara, dan seterusnya. Saya
harus jeda sedikit-sedikit untuk mengulang atau menyimak gambar satu adegan
utuh. Dan ini melelahkan. Saya bahkan baru bisa menonton sambil makan kurang
lebih satu tahun terakhir. Untungnya, kondisi ini membaik. Saya mulai bisa merelakan
sebagian detail dan menyimak yang penting-penting saja.
Tidak heran
ketika tahun 2014 orang-orang ramai meratap karena Studio Ghibli tutup, saya
bukan bagian dari kerumunan itu. Saya cuma sering lihat gambar Totoro, maskot
rumah produksi ternama itu. Tapi, tentu saja belum pernah menonton film yang
ada Totoro-nya. Di masa itu, hanya satu film produksi Studio Ghibli yang pernah
saya tonton. Spirited Away. Itu pun karena didorong-dorong oleh seorang
kawan yang tak henti memuji kehebatan karya itu. Sejujurnya, saat pertama kali
menontonnya, saya tidak paham ceritanya. Atau mungkin tepatnya lupa, karena
bisa jadi kesan yang tinggal tidak terlalu kuat. Mau bagaimana lagi, namanya
juga penonton amatir. Seamatir-amatirnya. Bertahun-tahun kemudian, saya putuskan
mulai melirik karya-karya Studio Ghibli, dan menemukan informasi bahwa Spirited
Away adalah salah satu yang bergelimang pujian dari seluruh dunia. Muka
saya cengoh. Sialan, bahkan saya baru tahu itu produksi Studio Ghibli.
Perjalanan
menonton itu pun dimulailah. Satu-satu karya Studio Ghibli mulai saya tonton.
Dan dengan cepat saya jatuh gandrung. Sempat ada beberapa malam minggu
berturut-turut dengan agenda pacaran menonton film-film ini. Di malam minggu
lainnya, saya dan mas pacar menonton dokumentasi konser salah satu komposer
langganan Studio Ghibli, Joe Hisaishi (soal orang ini, saya menyimpan kekaguman
lainnya). Saya ingat komentar mas pacar saat itu, begini kira-kira kalau sudah
direka ulang kalimatnya, “Untuk karya yang ditujukan bagi anak-anak,
orang-orang ini sangat bersungguh-sungguh. Tidak heran kalau hasilnya
semenakjubkan itu.” Saya langsung terharu. Masa itu, saya mulai mengerjakan
tugas akhir kuliah juga, yang kebetulan menyinggung banyak percakapan tentang
anak-anak. Melihat orang-orang melakukan kerja sepenuh hati dan sekuat tenaga
untuk menghadirkan karya yang baik bagi anak-anak, hati saya terpikat.
Karena terpesona
oleh film-film itu, saya telusurilah kepala-kepala yang ada di baliknya. Lalu,
tentu nama Hayao Miyazaki mencuat paling awal. Biang kerok tutupnya Studio
Ghibli karena ia minta pensiun, tapi memutuskan balik lagi tiga tahun
setelahnya. Kesan pertama: mirip Pak Nardi. Sekilas info, Pak Nardi adalah
salah satu dosen saya, St. Sunardi. Selanjutnya, yang mengagetkan buat saya, kesan
pertama itu tidak lantas hilang, tapi malah terbukti di beberapa hal lainnya.
Itulah sebabnya saya terkekeh-kekeh ketika menonton perilaku Miyazaki-san dalam
film dokumenter tentangnya. Selain rambut lurus putih, mereka berdua punya kebiasaan
yang mirip: mengucek mata, menggaruk kepala, mengusap-usap dada, dan bergumam
sendiri ketika sedang berpikir keras. Nanti tahu-tahu mengeluarkan kalimat
ajaib. Kalimat ini umumnya menimbulkan dua reaksi di diri saya: terharu karena
brilian, atau terpukul keras, saking kerasnya saya tertawa tidak berhenti.
Dorongan untuk
menyusun tulisan ini hadir selepas menonton serial dokumenter tentang rentang
10 tahun proses kekaryaan Hayao Miyazaki. Di awal pandemi, Maret 2020, saya
menemukan promosi tentang dokumenter ini. Gembira sekali rasanya mendapatkan
pelipur sepi saat masih harus menyesuaikan diri dengan karantina rumah. Tetapi,
saya juga sedikit cemas. Saya tak begitu lihai menikmati dokumenter. Terkadang,
ceritanya amat menarik tetapi eksekusinya membuat cepat bosan. Sebaliknya, ada
pula yang kisahnya biasa saja, tapi perspektif pembuat film menjadikan
narasinya menghanyutkan. Untuk dokumenter tentang Miyazaki-san yang satu ini,
alhamdulillah saya bisa menikmatinya dengan sepenuh hati.
Miyazaki-san
adalah sosok pertama yang membuat saya memupuk cita-cita untuk hidup berumur
panjang, tetap sehat, dan jadi berguna meski badan menua. Saya tidak mau mati
muda. Saya iri benar melihat pikirannya terus bekerja, tangannya terus
menggambar, rokoknya terus mengepul ketika rambut di kepala hampir memutih
semua. Rasanya, itu juga yang membuat ia batal pensiun. Dalam beberapa potong
cerita di sejumlah dokumenter tentangnya, ia sebenarnya gelisah juga dengan
fakta bahwa usianya makin senja. Kematian rekan-rekan seangkatannya memberi
pukulan cukup telak, meski ia tampak yakin melanjutkan kerja setelah mendengar
berita lelayu itu. Seolah-olah tak ada yang berubah, namun sesekali ia
mengungkapkan bahwa usianya tak muda lagi, tenaganya tak penuh lagi.
Sebagai seniman, ia
tidak ragu menunjukkan bahwa hidupnya disetir oleh mood. Ia mengakui
bahwa ia tukang gerutu. Dan tidak merasa harus mengubah apa pun soal itu. Saya
langsung ingat seloroh seorang teman yang berprofesi sebagai tekyan (sekarang
termasuk tekyan elite) di skena kesenian Yogyakarta. “Lebih susah jadi temannya
seniman ketimbang jadi seniman itu sendiri.” Ini diutarakannya selepas
bercerita bagaimana ia dan tim mengecat beberapa bidang partisi hingga belasan
lapis, gara-gara senimannya bolak-balik komentar ‘kurang pekat’. Setelah
akhirnya puas dengan kepekatan yang diinginkan, seniman melubangi partisi seukuran
gawai tablet, lalu memasang tablet di sana. Rupanya karyanya menggunakan medium
video, diputar lewat sebuah tablet, yang diinstal pada sebuah bidang partisi
besar.
Dokumentasi
proses kerjanya bersama pegawai Studio Ghibli memperlihatkan betapa perfeksionis
Pak Tua tukang gerutu ini. Ia mengomel kalau melihat ekspresi karakter yang
tidak hidup. Ia lalu komat-kamit menggumamkan ‘mestinya begini’, ‘mestinya
begitu’ sambil mengoreksi draf. Bekerja bersamanya tampaknya penuh kelucuan
sekaligus tekanan. Di dokumenter lain tentang Miyazaki-san, saya sempat lihat
kisah seorang animator yang beberapa hari berturut-turut diomeli Pak Tua ini.
Waktu diwawancara, pemuda ini mengaku bahwa ia paham alasan ia dimarahi dan
kekurangan dalam pekerjaan yang diserahkannya ke si sutradara. Beberapa hari
setelahnya, ia absen dari kantor. Miyazaki-san tanya ke pegawai lain soal
keberadaan pemuda itu. Rupanya sedang opname karena kelelahan bekerja. Pak Tua
tukang gerutu ini lantas merasa sedikit menyesal, hahaha.
Sosok yang
tampaknya bisa ‘memegang buntut’ Miyazaki-san tak lain tak bukan salah satu produser
Studio Ghibli sekaligus kawan karibnya, Toshio Suzuki. Sama-sama tua dan
berbahaya. Punya nyali berlimpah untuk mengirimkan katana jauh-jauh ke
Hollywood sana pada Harvey Weinstein. Menolak pemotongan adegan film Princess
Mononoke yang akan dirilis di Amerika Serikat. Dalam seri dokumenter 10
Years with Hayao Miyazaki, sosok Suzuki-san tampak lebih kalem dan
terkendali. Kalau sudah ada ribut-ribut di studio karena sutradara maunya
begini, tapi kerjaan animator begitu, Suzuki-san muncul seakan-akan bilang,
“Sini, sini. Coba tenang dulu. Mana yang bikin cekcok? Kalian maunya apa? Coba
tak dengarkan.”
Saya selipkan still
dari dua adegan yang melibatkan Suzuki-san. Pertama, adegan
kompromi-rekonsiliasi waktu Goro Miyazaki, anak Hayao Miyazaki, menggarap film
pertamanya sebagai sutradara, From Up on a Poppy Hill. Di film ini, Hayao
Miyazaki bertugas jadi penulis skenario saja. Tapi, ia tak tahan ikut campur sedikit-sedikit
dalam eksekusi penyutradaraan. Kisah ini sekaligus menampakkan sosoknya sebagai
ayah yang kikuk. Goro punya dorongan untuk membuktikan diri dari balik
bayang-bayang nama besar ayahnya. Hayao Miyazaki sendiri mengaku bolak-balik
mencegah anaknya itu jadi sutradara. Kali itu, ia minta detail tertentu di
adegan pembuka. Tapi Goro masih enggan menggarapnya, mungkin gengsi juga kalau
harus langsung mengerjakan apa kata ayahnya. Miyazaki-san lalu uring-uringan
sepanjang hari. Nah, muncullah Suzuki-san sebagai mediator, layaknya tetangga
yang melerai cekcok rumah tangga sebelah. Miyazaki-san menyampaikan
permintaannya, lalu Suzuki-san yang menemui
Goro secara langsung untuk bernegosiasi. Tentu, negosiasi ini berhasil.
Goro sebenarnya
adalah seorang arsitek. Banting setirnya tak terlalu jauh, ia mengawali karier
di industri animasi sebagai tukang gambar lanskap. Lalu perlahan meniti tangga
mencoba jadi sutradara. Ketegangan ayah dan anak yang diceritakan dalam
dokumenter ini buat saya menggelitik sekaligus dekat sekali. Pasti sulit
rasanya punya ayah dengan reputasi menjulang sementara kamu pemula. Setelah
berupaya keras membangun karakteristik sendiri dan enggan mentah-mentah meniru
sang ayah, tetap saja di penghujung hari kamu sadar bahwa segala sanjung-puji
untuk ayahmu itu bukan omong kosong. Ia memang besar. Dan sebagai anak, kamu
harus berbesar hati untuk mengikuti katanya “sekali ini saja” sembari berharap
bisa melahirkan sesuatu yang lebih besar di lain hari. Miyazaki-san pun—tetap
dengan kikuk—akhirnya mau memberi pengakuan setelah melihat
kerja keras anaknya. Saking kikuknya mereka berdua, kalimat yang dipakai untuk
bertukar apresiasi terdengar aneh, tapi mengundang tawa.
Sebagai seniman
film kawakan, Miyazaki-san memang punya watak khas. Salah satunya, hidup
disetir mood itu tadi. Lainnya, ia terobsesi pada sesuatu dan secara
intensif mengejarnya. Sudah banyak yang membicarakan obsesinya pada terbang,
pesawat terbang, dan segala yang berhubungan dengan itu. Ia pernah menelusuri
rute ekspedisi veteran perang idolanya, Antoine de Saint-Exupéry. Dari kisah
itu pula saya tahu bahwa ia punya ingatan fotografis yang super. Sewaktu
menginap di kamar hotel yang sama yang pernah menampung Saint-Exupéry, seorang
asistennya menawari untuk memotretkan pemandangan dari jendela kamar, mungkin
karena tahu bahwa itu nantinya akan jadi bahan di karya Miyazaki-san. Pak Tua
itu menolak, bergeming di ambang jendela selama bermenit-menit sambil mengisap
rokok. Ia rekam panorama itu dengan mata kepalanya sendiri. Dan obsesi ini
selalu muncul di semua karyanya, entah dalam bentuk mesin terbang yang
bermacam-macam bentuknya, tokoh insinyur pesawat terbang, penyihir dan sapu
terbang, atau panorama yang bisa kau lihat saat melayang di udara.
Semua bakat itu
mengagumkan. Tetapi secara personal, saya mengagumi sosok Miyazaki-san karena
satu alasan utama: kepercayaan tulusnya pada anak-anak.
Berulang kali,
dalam banyak wawancara dengannya, ia mengutarakan pesimismenya pada orang
dewasa. Orang dewasa itu bebal dan tidak mau belajar, mengulangi kesalahan
terus-menerus, sehingga sejarah buruk selalu terulang. Dan di tengah suramnya
ketiadaan harapan itu, Miyazaki-san bilang bahwa anak-anak berbeda. Anak-anaklah
yang bisa dipercaya untuk mempelajari hal baru, melihat bahwa apa yang telah
dilakukan manusia itu sering kali berdampak buruk pada kehidupan mereka
sendiri, dan itulah sebabnya mereka perlu ambil jalan yang berbeda.
Saya ingat benar,
di masa-masa awal saya mulai menonton karyanya, suara dalam kepala saya
bolak-balik bilang begini, kok bisa tokoh-tokoh dalam cerita tidak heran
dengan kejadian macam itu?; ada sihir di depan matanya, dan ia cuma
berkedip sebentar lalu percaya; bagaimana bisa manusia terbang?; kenapa
ikan bisa berpikir seperti manusia?; dan seterusnya. Keterlaluan. Saya malu
sendiri kalau ingat pengalaman itu. Saya lupa benar bahwa itu semua mungkin!
Sekarang, saya bisa menertawakannya sebagai saat-saat di mana saya terlalu
logis dan membosankan. Sampai kini, sebenarnya saya masih heran bagaimana bisa
saya mengalami fase macam itu.
Rasionalitas yang
diberhalakan orang dewasa dan digunakan sebagai senjata untuk mengerdilkan
anak-anak dipukul terus-terusan oleh Miyazaki-san. Salah satu kalimat ajaibnya
yang menempel lekat di benak saya adalah, “Kids get it. They don’t operate
on logic.” Benar adanya. I did not get it in the first place. I forgot
how to kid. Waktu akhirnya berhasil saya copot tembok pikir itu, barulah
saya tahu betapa dekat kisah-kisah dalam karyanya dengan hidup aktual. Fiksi
bukan bualan. Metaforanya bekerja saat benteng sok rasional itu roboh. Ia tahu
bahwa anak-anak punya kearifannya sendiri. Mereka mampu mencerap dunia dengan
pemahaman yang sama sekali berbeda dari nalar orang dewasa yang sering kali
monoton dan menyebalkan.
Selain percaya,
Miyazaki-san mampu membuat saya mengingat kembali bagaimana rasanya mengalami dunia
yang “selalu baru” sebagai anak-anak. Karena amatir, anak-anak punya banyak
pengalaman belajar yang mengejutkan dan monumental. Still di bawah ini
salah satu contohnya. Ia mengutarakan kalimat itu saat proses menggarap Ponyo.
Saya tak pernah benar-benar berpikir sebelumnya bahwa memberikan sesuatu kepada
orang lain adalah pengalaman besar bagi seorang anak. Anak tahu bahwa ada diri
yang lain, bukan cuma dirinya. Anak paham bahwa diri lain itu juga punya
keinginan dan ketika keinginan itu dipenuhi rasanya menyenangkan. Anak mengerti
bahwa ada hal yang bisa ia relakan agar diri lain bisa memperoleh kesenangan.
Dan pada akhirnya, anak sendiri merasa senang karena berbagi. Hal semacam
inilah yang bikin saya terpukau: Miyazaki-san memberi makna pada hal-hal
sederhana. Dan respons saya untuk sebagian besar pemaknaannya adalah, “Iya
juga, ya.”
Saya tahu,
tulisan ini terdengar sangat mengidolakan Miyazaki-san. Itulah sebabnya saya
beri peringatan di awal bahwa ini ditulis oleh seorang fangirl, hehehe. Yang
jelas, saya sangat senang berjumpa dengan karya-karyanya yang juga kebetulan
bersinggungan dengan kegelisahan saya sendiri di kehidupan nyata. Barangkali,
itu obsesi saya: anak-anak dan lika-liku pertumbuhan usia (oh ya ampun, ini
rasanya aneh sekali, menamai obsesi sendiri, tebak-tebakan pula). Sepertinya
begitu sejauh ini. Nanti kalau sudah jadi ibu, saya evaluasi lagi apakah masih langgeng
obsesi itu, hehe. Rasa haru yang menyerang saya di beberapa peristiwa di atas juga
tidak berlebih-lebihan. Saya memang begitu orangnya, hahaha. Seperti yang sudah
saya sebutkan, selepas berkenalan dengan sebagian wajah Miyazaki-san, cita-cita
saya adalah hidup panjang usia, sehat, dan berguna, serta terus memupuk rasa
percaya pada anak-anak. Cita-cita yang agak absurd tapi rasa-rasanya bisa
diusahakan.
Sebagai bonus,
saya bagikan still “uwu” yang saya dapat dari dokumenter 10 tahun
kekaryaan Hayao Miyazaki. Semua gambar ini saya simpan karena brilian atau
memukul. Trivia, tulisan ini akhirnya saya rampungkan setelah hampir satu
tahun. Menyebalkan sekali jadi pembaca yang tabah, penonton yang payah, dan
penulis yang malas. Tapi, saya sungguh ingin merampungkannya agar tunai
letup-letup kagum di dada.
Tiga gambar ini sewaktu
seorang anak perempuan membantu Miyazaki menggotong bangku masuk ke studio. Manis
bukan buatan.
Nasihat jadi seniman.
No caption needed. Uwu~
Di gambar ini,
dia mirip sekali dengan Pak Nardi.
Pamungkas: Miyazaki-san muda yang tampan.
Semua still
ditangkap dari 10 Years with Hayao Miyazaki milik NHK.
Sumber: https://www3.nhk.or.jp/nhkworld/en/ondemand/program/video/10yearshayaomiyazaki/?type=tvEpisode&
Pita... terima kasih atas tulisanmu ini.
BalasHapusSebelum aku membacanya secara komprehensif, aku cuma mau bilang..............
SELAMAT DATANG KEMBALI DI BLOG
hahaha