pemuda tangguh


Aku menyebutnya pemuda tangguh. Dulu, ia adalah seorang remaja yang pada pandangan pertama kusebut, “Wagu.” Ia sibuk membentuk ekspresi wajah yang tidak lazim dan berusaha dibuat lucu. Aku masih tak paham di mana lucunya. Ketika orang menanyai namanya, ia menjawab sambil berjingkrak wagu. Lantas aku memutuskan, ia adalah orang terakhir yang akan kuajak kenalan. Tapi, lagi-lagi aku dikerjai kenyataan. Mau tak mau ia adalah orang pertama yang harus kuajak kenalan. Aku berdoa supaya ia tidak lagi wagu. Belum 30 menit kami berkenalan, seseorang mendatangi lingkaran tempat kami duduk dan minta izin untuk memeriksa tas-tas kami karena ada seorang teman yang kehilangan dompet. Pemuda wagu tadi tidak ada di sekeliling kami. Aku bahkan tak menyadari kapan ia minggat. Yang kutahu, ketika pemeriksaan tas itu berlangsung, ia sedang berdiri di pelataran lain bersama beberapa orang lainnya. Salah seorang dari kami bertanya pada si pemeriksa tas tentang siapa yang kehilangan dompet. Si pemeriksa tas menyebut nama pemuda wagu itu. Aku sungguh-sungguh berkata, “Wagu.”

Hasil dari pertemuan pertama itu, aku dan pemuda wagu itu masih harus bertemu lagi beberapa kali. Aku tidak membenci pemuda itu. Ia masuk dalam hitungan baik hati dan ramah. Untungnya, dia benar-benar berhasil membuat dirinya lucu. Aku menikmati gurauan-gurauannya. Tersebutlah sebuah masa tiga hari dua malam di mana aku dan pemuda wagu itu harus hidup bersama orang-orang lainnya jauh dari tempat tinggal kami masing-masing. Kami tertawa terpaksa ketika menyadari bahwa kami harus ngemong diri kami sendiri. 
Kami pulang sambil membawa cerita kami masing-masing tentang satu sama lain.

Sejak hari itu, yang patut dikenang adalah malam-malam yang kami habiskan dengan saling berkirim pesan singkat yang tak pernah nyambung satu sama lain. Aku bisa saja bicara tentang suatu hal, dan ia akan bicara tentang hal lainnya. Meski begitu, kami bisa terus melanjutkan obrolan yang tak koheren itu. Yah, paling-paling hanya butuh sedikit tenaga ekstra untuk berpikir menemukan topik yang akan makin menjauh dari obrolan sebelumnya.

Menjelang satu tahun setelah masa tiga hari dua malam yang dulu itu, kami bertemu lagi. Kali ini bersama lebih banyak orang. Kami mau mengulang lagi masa indah tiga hari dua malam itu. Masih muda, penuh semangat, dan berani duduk di muka. Itulah kami pada waktu itu. Tak pernah terlintas di kepala sebelumnya bahwa demi masa tiga hari dua malam itu kami harus mengobrak-abrik perasaan dan hidup kami sendiri. Tapi, sekali lagi, kami menikmatinya.

Aku masih mengingat sebuah malam panjang yang menghanyutkan tawa gurih kami bersama seorang teman lainnya. Kami bukan berandalan hanya karena kami duduk di luar rumah hingga dini hari. Kami hanya bercerita dan belajar menikmati kesusahan-kesusahan kami dengan tertawa atasnya. Kami hanya melepaskan beban dari pundak sejenak untuk menghirup nafas panjang. Setelahnya, kami siap memanggul beban itu lagi bersama. Aku juga masih mengingat butir air mata yang mengalir dari pemuda wagu itu. Aku ingat tubuhnya yang membungkuk dalam itu bergetar, demikian pula suaranya. Aku tak pernah tahu bahwa ini akan menghancurkan hatinya begitu rupa.

Aku pun masih ingat ia berdiri diam di balik keremangan satu lampu. Aku dikelilingi banyak orang yang semuanya memandang ke arahku. Pemuda wagu itu salah satunya. Namun, ketika aku menatap balik padanya, aku tak lagi melihat hal yang sama. Aku baru sadar, ia bukan lagi pemuda yang dulu kukira wagu. Tidak, wajahnya tidak berubah, tubuhnya pun tidak. Sinar matanya yang ternyata sudah lama berubah, tapi tak pernah aku sadari. Ia tidak berkata-kata apa pun dalam keremangan dan dingin yang menusuk itu. Aku hanya melihat sebuah sorot yakin dari matanya segera setelah aku mengucapkan suatu hal yang begitu menyesakkan hatiku, namun memang kupilih untuk kukatakan. Aku tak peduli pandangan-pandangan lain akan menghakimiku kejam di hari esok, sorot mata yakin itu sudah cukup bagiku. Ia bukan lagi pemuda wagu. Aku menyebutnya pemuda tangguh.

Ternyata, nama baru yang kusandangkan padanya itu tepat. Aku menemui cerita-cerita di kemudian hari yang sungguh meyakinkanku bahwa memang itulah nama yang paling pas untuknya. Suatu ketika, ia mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Aku tak pernah tahu bagaimana tepatnya, tapi aku merasa bahwa ia melalui masa berat ketika pada akhirnya ia memutuskan untuk mengambil pilihan itu. Bukan perkara kecil yang ditanggungnya, maka bukan perkara kecil pula pilihan jalan yang diambilnya. Aku masih ingat raut wajahnya ketika ia mengungkapkan dengan malu-malu bahwa ia merasa lelah. Ia bahkan kebingungan memilih kata-katanya. Namun, dengan cepat ia bangun lagi dan meneruskan perjalanannya. Pada akhirnya, yang menjadi penting bukanlah penilaian tepat atau tidak pilihannya untuk mengutamakan yang satu dan mengorbankan yang lain. Toh, kita tak pernah benar-benar bisa menjalani lebih dari satu pilihan sebaik yang kita harapkan. Aku lebih suka mengapresiasi kekuatan dan kesetiaannya pada pilihan itu. Suara-suara yang kadang sumbang terus mengelilinginya, namun ia menebalkan telinga karena ia memang memperjuangkan sesuatu yang ia cintai lewat pilihannya itu. Ia tahu resikonya dan kini memang ia menerimanya dengan lapang dada. Hal yang aku sukai darinya adalah kemampuannya untuk tetap berjalan dengan kepala tegak di atas semuanya. Tak semua orang mampu melakukan hal itu. Apa kubilang, dia memang pemuda tangguh.

Tahu tidak, masa tiga hari dua malam itu memang bukan masa yang biasa. Buatku sendiri, masa itu mempertemukanku dengan begitu banyak kesempatan untuk belajar macam-macam hal. Aku dan pemuda tangguh itu dan sejumlah teman lainnya terlanjur jatuh cinta pada masa tiga hari dua malam itu. Lagi-lagi kami bertemu untuk kembali mengulang masa tiga hari dua malam itu. Kali ini aku melangkah dengan lebih mantap karena pemuda yang berdiri di sampingku itu tangguh. Nyatanya, benarlah bahwa ia sungguh tangguh. Ia memergoki aku terjatuh dan sulit bangun. Ia menghentikan langkah dan memapahku serta untuk melanjutkan perjalanan. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku sungguh merepotkan, tapi ia terus saja menyertaiku. Ia mengajukan sebuah permintaan waktu itu. Ia memintaku bangun dan membantunya memapah teman lainnya yang juga terjatuh. Sepenuh hati aku belajar darinya dan bersamanya memenuhi permintaan itu. Kami menghadapi orang-orang yang patah hati, hingga kami pun sempat patah hati pula. Pemuda tangguh itu mengajakku untuk mengobati luka kami masing-masing dan menyelesaikan pekerjaan kami sambil berdoa dalam hati semoga dapat membantu teman-teman yang lain mengobati luka hati. Betapa besar hati pemuda tangguh itu.

Kini, ia masih pemuda tangguh yang sama. Ia pemuda yang menangguhkan beban yang sudah sangat lama kupikul tapi tak segera kuletakkan pada tempatnya agar semuanya dapat berjalan baik. Ia pemuda yang menyaksikan air mataku menggelinding jatuh karena hatiku terluka dan tak kunjung sembuh. Sudah kuduga, ia tidak berhenti di sana. Ternyata ia membawakan sesuatu untuk menyembuhkan lukaku. Pelan-pelan, aku membersihkan lukaku dan mengobatinya. Ia hanya memintaku untuk membayarnya dengan senyum. Aku sungguh ingin membayarnya banyak. Mudah-mudahan, bayaranku sudah cukup, tapi aku masih ingin memberinya banyak bonus di hari-hari depan.

Hari ini, ia masih pemuda tangguh yang sama, meski sebenarnya ia masih menyisakan wagunya. Kedua-duanya, baik ketangguhan maupun kewaguannya, selalu membuatku mensyukuri hari di mana aku mengenalnya untuk pertama kali. Aku berharap bisa terus berjalan bersamanya, saling menemani dan saling menguatkan.

Jangan takut, jangan layu
pada semua cobaan yang menerpamu
Kami selalu bersamamu
dalam derap, dalam lelap mimpi indah…


untuk Sakha Widhi Nirwa
sebuah tulisan berhari-hari

Komentar

Postingan Populer