Potret Diri: Sebuah Perjalanan Mencari
Sepotong
catatan sehabis menonton pentas
Menonton Inyong berkata-kata di
atas pentas adalah hal yang amat langka buat saya. Ketika mengenal nama
“Inyong”—panggilan akrab Ari Dwianto—beberapa tahun yang lalu, saya mengenalnya
sebagai seorang aktor pantomim. Selain itu, sebagai penjoget yang selalu
mencuri perhatian di tengah kerumunan. Dalam tulisan ini, saya ingin
memanggilnya Ari saja.
Saya sebenarnya tidak terlalu
akrab dengan dunia yang digeluti Ari. Entah ada hubungannya atau tidak dengan
jarak semacam itu, saya selalu merasa kagum tiap menyaksikan Ari melakukan
sesuatu dengan tubuhnya. Tubuhnya bisa melakukan banyak hal menarik. Tubuhnya
menceritakan proses yang pasti panjang dan dalam. Lalu, setelah semua kekaguman
atas olah tubuhnya itu, beberapa waktu lalu saya menonton Ari pentas dengan
memanfaatkan mode komunikasi verbal. Potret
Diri dipentaskan di bawah payung acara Jagongan Wagen yang diselenggarakan
oleh Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, pada tanggal 25 Maret 2017.
Memotret Rasa Sakit
Ari menulis, menyutradarai,
sekaligus memerankan naskah yang diberinya judul Potret Diri tersebut. Saya sempat curi-curi dengar tentang
asal-muasal lahirnya naskah ini. Ari melalui sejumlah sesi “curhat” yang
panjang dan dalam, yang “memaksanya” mengorek lagi kenangan-kenangan masa
lalunya. Sesi curhat itu tidak selesai sampai di sana rupanya. Ari memilih
untuk menggodoknya jadi salah satu karya personal.
Saat pertama kali menyaksikan
presentasi awal rancangan naskah tersebut, dalam kepala saya, kisah-kisah Ari
langsung tertaut dengan sebuah karya medium lain yang pernah saya tonton.
Pengalaman-pengalaman yang dimainkannya mengingatkan saya pada Montage of Heck, sebuah film memorial
untuk Kurt Cobain—personel grup band
Nirvana. Rasa yang muncul sama: pilu. Film yang saya sebutkan itu memuat
sejumlah cerita tentang masa lalu Kurt Cobain hingga perjalanan karier
bermusiknya yang sekaligus berakhir dengan kematian tragisnya. Coret-coretan
Kurt di buku sekolahnya, video dokumentasi pribadi keluarga barunya, rekaman
panggung-panggung awal Nirvana membungkus kesakitan-kesakitan Kurt.
Berbeda dengan Kurt yang
dicitrakan selalu bertindak sesuka hati, cerita Ari ternyata membingkai
kepiluan itu dalam reka ulang peristiwa-peristiwa yang saya simpulkan sebagai
semacam jaket kekang. Apa-apa serba ditertibkan, serba didisiplinkan, disuruh
diam, harus disembunyikan.
Menariknya, saya tidak sedikit
pun mendapatkan kesan bahwa Ari tengah mendramatisir kisah-kisah represi itu.
Ia justru memilih kejadian-kejadian yang jenaka dan konyol. Kejadian pilihannya
itu menunjukkan di dunia mana ia biasa bergelut selama ini. Kejadian jenaka dan
konyol adalah materi khas pantomim. Mari kita ambil contoh bagian introduksi
pertunjukannya. Ari dengan sukses menyambut dan mengantar para penonton
memasuki pintu ceritanya. Ia mengingatkan bagaimana ia, dan sebagian penonton
yang sebaya, dulu harus menghafalkan nama-nama menteri pada masa bersekolah.
Riuh penonton menjawab, “Ali Alatas!”, “Harmoko!”, lalu menertawakannya. Saya
sendiri merasa geli sekaligus terketuk juga. Semua murid sekolahan sekitar
tahun 1980 hingga 1990-an mengalami hal yang sama. Hafalan itu begitu kuat
ditanamkan, sampai-sampai setelah sekian tahun berlalu pun mereka masih fasih
mengucapkannya, seakan-akan jadi refleks.
Interaksi yang meleburkan jarak
dengan penonton itu makin asyik dengan goyangan disko Ari dan dua orang
kolaboratornya—Ficky dan Didit—meniru Michael Jackson. Ari pandai memilih
ikon-ikon populer yang sama-sama diakrabi oleh para penonton yang hadir di
pentas itu. Ia bahkan jujur berbagi soal niat menonton film esek-esek di
bioskop untuk akhirnya pulang ke rumah dan masturbasi. Penonton tertawa. Saya
pikir bukan menertawakan Ari, melainkan menertawakan kekonyolan yang sama yang
dulu pernah mereka lakukan pula.
Kisah personal Ari punya kaitan
langsung dan erat dengan struktur kekuasaan politik yang menyusup ke banyak
aspek kehidupan pada masa itu. Televisi mulai jadi primadona dalam keluarga,
dengan stasiun tunggal yang dikelola pemerintah. Bioskop lokal terimpit dan
pada akhirnya tergusur oleh jaringan sinepleks milik orang dekat pemerintah
yang memonopoli di kemudian hari. Anak-anak bercita-cita punya pekerjaan
profesional yang bukan petani. Pengalaman-pengalaman inilah yang ternyata membawa
efek berbeda pada kisah yang diangkatnya. Apa yang diceritakan Ari bukanlah
semata-mata tentang dirinya. Ia tengah berbicara tentang zaman tertentu yang
sempat membentuk dan mengisi masa remajanya. Zaman yang ia maksudkan adalah
latar sosial yang punya cakupan jauh lebih besar daripada lingkungan tempat Ari
tumbuh. Yang juga menaungi teman-teman penontonnya, menaungi kita.
Ingatan yang Berantakan
Ari tidak menuturkan ceritanya
dalam urutan yang kronologis. Cerita-ceritanya hadir secara acak, maju dan
mundur antara masa kecil, remaja, dan menjelang dewasa. Saat bercerita tentang
malam sebelum hari pertama bersekolah di TK, Ari menggambarkan kegirangannya,
bersemangat menyambut pengalaman baru. Tapi ternyata cerita lanjutannya bukan
soal hari pertama di TK, melainkan saat berbaris mau masuk kelas saat ia kelas
4 SD. Sejurus kemudian, ia beralih mengisahkan kecemasannya saat di ruang kelas
TK dan menyaksikan teman-temannya menangis.
Sekolah tampak sebagai tempat
yang turut mendisiplinkan seseorang. Murid sekolah harus berseragam, berbaris
rapi, mengikuti aba-aba guru; dan selalu ada sanksi yang diberikan jika aturan
dilanggar. Di sekolah murid diajari menyanyi lagu-lagu wajib nasional;
barangkali hal itu dianggap akan menumbuhkan semangat patriotik pada warga
negara berusia dini.
Sejak munculnya cerita tentang
masa sekolah, kenangan-kenangan Ari makin kentara tampak acak dan berantakan.
Ia dapat saja dengan tiba-tiba bertutur tentang sakit yang diderita bapaknya,
tentang Fitri anak pedagang mendoan yang jadi korban kekerasan dalam rumah
tangga, tentang jenazah warga kampungnya yang ditemukan di dalam sumur, tentang
pertengkaran orangtuanya yang mengakibatkan perabot rumah pecah dan rusak, dan
lain sebagainya. Entah disadari atau tidak oleh Ari, ia memilih untuk
membagikan kisah-kisah yang pilu. Tentang perselisihan, kekerasan, kerusakan,
dan bahkan kematian.
Segala hal yang sempat ia
ceritakan dengan konyol di muka pertunjukan, terlihat berseliweran dengan kacau
menjelang akhir. Potongan kenangan-kenangan itu muncul, mencuat begitu saja,
memotong tiba-tiba kisah lain yang tengah diceritakannya.
Pada bagian ini, saya kembali
diingatkan pada identitas Ari yang dulu saya kenal pertama kali. Tubuhnya
berbicara dengan lebih signifikan ketimbang kata-katanya. Ia kadang dibuat buta
dan membiarkan ingatan tentang pengalaman itu menghantamnya lagi. Dirinya—melalui
tubuh—dirusak dan disakiti oleh hal-hal yang terjadi dalam hidupnya.
Kalimat-kalimat verbal Ari diwakilkan dengan indah lewat lagu Aku Mencarimu dari seorang kolaborator
pertunjukannya, Fafa. Lagu yang juga “berantakan”. Tidak terduga susunan nada
dan liriknya. Lagu yang juga digubah lewat sebuah pencarian serupa ke dalam
diri. Dan dengan demikian, Ari dapat dengan lepas memberi giliran pada tubuhnya
untuk mengisahkan pengalaman-pengalaman itu.
Menemukan Rumah
Saya mengakui, ada beberapa
bagian dalam pertunjukan Ari yang terdengar dan terasa canggung. Dugaan saya
pertama-tama merujuk pada citra Ari sebagai aktor pantomim yang bahkan jarang
saya temui ceriwis bercerita meski sudah di luar panggung. Ia bahkan memilih
menceritakan kisahnya dalam bahasa Indonesia, bahasa yang barangkali tidak
dengan intens ia gunakan untuk berkomunikasi pada masa-masa yang diceritakannya
itu. Meski demikian, bagian awal pertunjukan ketika ia banyak bertutur terasa
cukup luwes dan menyenangkan buat saya. Senang juga mendengar cerita jenaka
dari orang yang biasanya agak pendiam, begitu pikir saya.
Satu hal yang sangat menyita
perhatian saya dari pertunjukan ini adalah saya sama sekali tidak merasa muncul
kesan heroik pada cerita-cerita Ari. Impresi macam ini rawan mengemuka dalam
kisah-kisah autobiografis kebanyakan. Pada kisah macam itu, kesedihan dan
kesukaran hidup sering kali direduksi begitu saja di bawah payung makna kata
“hikmah”. Seakan-akan semuanya itu sirna setelah kondisi hidup terputarbalikkan
menjadi lebih sejahtera dan bahagia. Potret
Diri menyajikan yang sebaliknya. Rasa sakit dan pengalaman luka itu
menyisakan bekas yang terus terbawa dan bahkan turut menentukan bagaimana
seseorang, secara khusus Ari, menghidupi kediriannya di kemudian hari.
Saya merasa bahwa kisah yang
dibawakan Ari mengantar saya pada dua arah. Yang pertama, memasuki cerita diri
Ari. Yang kedua, menelusuri cerita diri saya sendiri. Pengalaman yang dikisahkan
Ari dalam banyak kesempatan bersinggungan dengan pengalaman saya sendiri, pun
saya yakin dengan pengalaman sebagian penonton lainnya. Itulah sebabnya, dengan
mudah tumbuh empati pada diri saya sebagai penonton. Apa yang diceritakan Ari
bukanlah hal yang jauh di belahan bumi lain sana. Kisah itu begitu dekat dan
bahkan sebagian dialami langsung oleh penonton lain, sehingga tak sukar untuk
mengidentifikasikan diri kami sebagai penonton dengan diri Ari. Bisa jadi,
pencarian Ari atas hal-hal yang membentuk dirinya itu juga membantu kita saling
menemukan jawaban dari pencarian yang sama.
Saat mengisahkan
kenangan-kenangannya yang berantakan itu, saya melihat Ari menggambarkan
kondisi yang guncang. Kebingungan harus berpegang pada apa atau siapa. Ia
seakan tengah mencari rumah yang dapat menaungi semua jejalan dan impitan
kebingungan itu. Dan dari pengalaman menonton Potret Diri, saya mendapati satu hal. Tubuh adalah rumah Ari
belakangan ini, tempat semua kenangan disimpan dan sesekali melaluinya
dibahasakan.
Buktinya? Untuk menutup kisahnya,
ia pilih berjoget dangdut, dengan nikmat, dengan syahdu, di tengah latar
suara-suara dari masa lalu, silang sengkarut kenangan dan penderitaan.
Dokumentasi video: Padepokan Seni Bagong Kussudiardja
Subtitle: Translexi
Mantap nih blognya
BalasHapusDan Harus selalu di Bawa Happy Aja
http://bawahappyaja.blogspot.com