SP#13
Aku
menuliskan ini agar jadi sebuah kenang-kenangan tentang cerita yang pernah
dengan sangat penuh syukur kualami bersama orang-orang menakjubkan di
sekelilingku.
Kami
terlahir sebagai sebuah tim yang jelas tak pernah kami prediksi akan mengalami
nasib sedemikian yang telah kami lalui selama ini. Terlepas dari semua reaksi
yang pernah muncul sepanjang perjalanan kami, jujur saja, yang aku lihat ketika
pertama kali kami dipertemukan adalah ketulusan. Kami dengan setulus yang bisa
kami usahakan mengambil kesempatan untuk memberi ruang bagi diri kami
bertumbuh. Maka, dimulailah perjalanan bersama ini.
Tak
mudah memang awalnya, malah rasa-rasanya kami curiga bahwa menerima tantangan
ini adalah sebuah tindakan mencobai diri sendiri. Menabrak tembok pembatas di
sana-sini, terjegal akar yang mencuat ke atas, dan kehujanan ketika menuntun
motor tua yang mogok, itulah rutinintas kami di masa itu. Tapi, semuanya tak
jadi soal setiap kali kami mencoba duduk bersama lagi jauh dari semua kesesakan
itu dan merenungi bagaimana kami akan memulai lagi perjalanan ini.
Sungguh, kami pernah benar-benar
lelah dan muak dengan segala hal tentang perjalanan ini. Hal itu tak
mengherankan jika memang setiap hari kami menghadapi wajah yang selalu sama dan
perilaku yang tentu saja dalam intensitas pertemuan setiap hari tak mengalami
perubahan signifikan. Ketika mengalami saat-saat seperti itu, aku kadang
melihat betapa kebersamaan macam ini bisa punya dua wajah yang benar-benar
beda: memberi semangat atau membawa kejenuhan. Kadang-kadang celetukan tentang
ingin beranjak meninggalkan perjalanan ini terlontar, entah dalam kondisi
bergurau atau bahkan genting. Namun, lagi-lagi kami ibarat orang tua yang
sangat lucu. Tak pernah sungguh-sungguh tega memalingkan muka dari anak bandel yang
jauh di dalam lubuk hati sangat kami sayangi meski ia kerap kena damprat.
Kami tetap melanjutkan perjalanan
ini, masih melanjutkan perjalanan ini. Kami akan menyelesaikan perjalanan ini.
Telah rilis sebuah karya kami yang lain beberapa waktu yang lalu. Aku tidak
akan bicara tentang nilai baik atau buruk. Semua orang berhak memberi nilai
masing-masing. Aku lebih terkesan dengan potongan perjalanan kami kali itu.
Hitungannya, kami mencobai lagi
diri kami. Mencobai kali ini tidak bermakna seperti yang sebelumnya disebutkan.
Kami menantang diri untuk memberikan sesuatu dari kesederhanaan (atau mungkin
kemiskinan) kami. Jujur saja, aku tak (akan) pernah benar-benar paham rasanya
mengalami perjalanan para pendahulu kami. Kami hanya pernah dengar ceritanya saja.
Dari sanalah kami belajar. Meski demikian, dalam proses kami yang terakhir kami
lalui entah kenapa aku merasa yakin ada kemiripan dan terlintas dalam hati,
“Mungkin ini yang dulu dirasakan dan dilakukan mereka di masa awal kelompok
ini.”
Sederhana saja, aku tak mau sok
tahu dan sok yakin. Namun, aku melihat perjalanan kami kala itu punya
keserupaan dengan cerita-cerita yang pernah kami dengar tentang perjalanan para
pendahulu kami. Singkatnya: kami ingin menampilkan sesuatu, maka kami membuat
ruang untuk diri kami melakukan hal tersebut.
Dengan semua keterbatasan dalam hal
bakat, keterampilan, kreativitas, dan referensi, kami mencoba mengolah ide
bersama. Nah, di titik inilah banyak hal memikat mataku. Para pemula dan
penampil amatir berkumpul jadi satu menghadapi sebuah keinginan yang sangat
wajar: memberi penampilan yang layak tampil. Ketika pertama kalinya kami
mencoba tampil di depan lingkaran kecil kami sendiri, nyatalah betapa banyak
hal yang harus kami usahakan lebih jauh demi terwujudnya penampilan yang
menyenangkan tersebut. Kami pulang dengan membawa pe-er memperbaiki karya kami.
Kedua kalinya kami bertemu, hatiku tersentuh oleh fakta bahwa masing-masing
dari kami mengerjakan pe-er dengan sungguh-sungguh. Memang masih ada jawaban yang salah di sana-sini,
tapi yang penting buatku adalah kami dengan sepenuh hati sadar kekurangan kami
dan berusaha menggenapinya. Buatku, karya teman-teman terasa sangat indah
karena mereka bicara kejujuran di sana.
Betapa mengharukan menyaksikan kami
yang tak pandai dan tak cukup berpengalaman ini saling memberi masukan satu
sama lain. Kami menyediakan diri untuk dibenahi oleh teman-teman kami. Juga,
kami mencoba membenahi yang lain dengan kemampuan yang kami punya. Semangatku
terus tumbuh bersama usaha kami dalam perjalanan yang satu itu. Kami menyiapkan
sendiri ruang tempat kami akan tampil. Kami memindahkan rumah kami ke ruang
itu. Kami tinggal di sana, tidur, makan, belajar, dan bermain di sana. Semua
bergerak, semua berpindah, semua bertambah. Tibalah waktunya kami sungguh
memberikan penampilan yang telah dipersiapkan itu. Tentu banyak kekurangan dan cacat di sana-sini.
Tapi, tahu tidak? Aku sangat menikmati penampilan kami tersebut. Aku bahagia
seusai mementaskan kejujuran dan kesederhanaan kami.
Ya, kami masih perlu banyak berbenah. Malah jangan sampai kami berhenti
berbenah. Jelasnya, cerita perjalanan itu membuatku benar-benar percaya bahwa
ketulusan yang pernah kami bawa di awal perjalanan ini kembali nyata di
dalamnya. Aku benar-benar percaya bahwa kami masih bisa tetap bertumbuh, meski
perlahan tapi tak berhenti. Waktunya menjejakkan langkah lagi untuk perjalanan
lainnya.
Terima kasih untuk para pengelana
pendahulu kami. Terima kasih untuk tetangga-tetangga yang hidup menyertai kami.
Terima kasih untuk ‘kami’ yang dengan tulus masih melanjutkan perjalanan
mencobai diri ini. Salam hangat.
setulus hati untuk Bonaventura Andhiko Aji, Stefanus Edy
Winarto, Patrick Anthonio Vesperanza, Rahmad Fauzan H., Dionisio Duarte Savio,
Destyan Pijar Buana, Silkanzy Musrian Badjiser, dan Sakha Widhi Nirwa
Komentar
Posting Komentar