The Beginning of the End or Vice Versa
Sudah menjelang akhir bulan September. Itu artinya saya
sudah menyelesaikan salah satu rencana saya tahun ini. Rencana ini saya susun
bersama beberapa teman akhir tahun lalu, 20 Desember 2012 kalau tidak salah.
Tadinya, itu hanya sebuah obrolan kacangan. Sungguh kacangan. Isi obrolannya
hanya demikian, “Ayo, bikin ini yuk.” Lalu dijawab, “Ayo, ayo.” Kurang lebih
dua kalimat itu saja yang berseliweran selama mengobrol kacangan itu. Ternyata
eh ternyata…
Kami lantas menawarkan kacang itu ke beberapa orang teman. Cukup
banyak yang menyatakan bersedia ikut. Sebagian lainnya menolak karena akan
sibuk mengerjakan tugas akhir kuliah yang ternyata sulit sekali untuk dicapai
akhirnya. Sisanya menyatakan masih akan mempertimbangkan jawaban ya atau tidak
dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Berbekal sejumlah orang yang sudah
terlanjur bilang iya ini, kami melanjutkan obrolan kacangan tadi agar tidak
sia-sia. Kami jadikan obrolan kacang rebus, setidaknya diolah dengan sederhana.
Teman-teman saya yang bergabung dalam obrolan kacang rebus
ini sempat saya khawatirkan akan terjebak dan menjadi korban iming-iming muluk
para personil obrolan kacang. Masalahnya to,
ketika obrolan kacang rebus ini dimulai, semua rencana itu jadi tersusun sangat
serius. Pada dasarnya, saya adalah orang yang cukup serius, maka saya bertahan
dalam obrolan kacang rebus itu meski terkadang jantung saya berdegup lebih
cepat karena gugup. Saya gugup mendengarkan teman-teman bercerita dan menyusun
rencana ini untuk jadi cake kacang.
Ya, bukan sekedar membutuhkan pengolahan sederhana seperti kacang rebus tadi, cake kacang butuh pengolahan yang lebih
menyeluruh. Kacangnya harus dipilih yang baik, lalu disangrai (digoreng tanpa
minyak). Setelah itu mungkin kacang akan dicacah menjadi ukuran yang lebih kecil
atau bahkan remah. Bahan yang dibutuhkan pun bukan hanya kacang. Kami masih
harus menyediakan tepung terigu, gula, mentega, telur, baking powder, bubuk vanili, dan lain-lain. Belum lagi kalau nanti
harus pakai topping (bahan yang
ditata di atas cake-nya, entah untuk
hiasan ataupun penambah rasa), kami masih harus menentukan bahan apa yang pas
dipakai supaya cake kacangnya jadi punya
penampilan syantik dan rasa enak.
Hah, ternyata jadinya saya yang nyaris terjebak. Namun,
seperti yang pernah dikatakan oleh seorang teman saya yang cukup kondang di
dunia diskusi di fakultas tempat saya belajar, “Kita sudah terjebak dan tidak
ada jalan keluar. Maka, jebaklah dirimu lebih dalam. Nikmati keterjebakan itu.”
Saya cuma bisa bilang amin. Teringat pada kalimat-kalimat itu, saya jadi
kembali percaya diri. Yang jelas, teman-teman saya yang terjebak sudah ada
cukup banyak, maka kami akan menjebak diri lebih jauh sama-sama. Apabila tidak
ada jalan keluar yaaa…tetap menanggungnya sama-sama. Hahahahaha….
Singkatnya, akhirnya menu cake kacang ini kami sepakati. Rencananya akan dikerjakan selama
kurang lebih delapan bulan. Maka, kami memulainya seperti pasangan kekasih yang
tidak direstui orang tuanya, backstreet.
Kami sebenarnya tidak berniat untuk menjadikan ini sebagai rencana rahasia.
Kami memilih diam-diam terlebih dahulu untuk menghindari intervensi berlebih
dari pihak-pihak yang mungkin malah akan memaksa kami mengganti menunya jadi
kacang yang lain. Tanpa kesepakatan tertulis dan terucap, kami menjalani proses
penyusunan resep cake ini hanya dalam
kelompok. Sayang seribu sayang, karena terancam akan disibukkan oleh kegiatan
lain, saya dan seorang teman obrolan kacangan keceplosan. Gara-gara kelepasan omong ini, rencana pembuatan cake kacang jadi tersebar. Ya sudahlah,
sekalian saja.
Rencana delapan bulan itu akhirnya bertambah jadi sembilan
bulan. Alasannya supaya lebih matang dan tanggal jadinya lebih pas buat
semuanya. Bulan-bulan ini bukan hal biasa. Beberapa hari dalam seminggu kami
habiskan untuk ketemu dan menyiapkan diri. Bulan-bulan ini makin tidak biasa
karena kami semua adalah amatiran di bidang ini. Tak satu pun dari kami punya
latar belakang yang memadai untuk rencana ini. Saya khawatir harus menepuk
jidat dan berujar, “Nah to, terjebak
betulan.” Akan tetapi, berkat sempat kenal dengan seorang teman yang punya
latar belakang yang cocok dengan rencana ini, kami jadi punya kesempatan
belajar bersamanya. Sayangnya teman kami yang satu ini harus melanjutkan hidup.
Maka ia berlabuh ke tempat lain dan membawakan pada kami seorang teman lainnya
dengan latar belakang yang tidak diragukan lagi baik di bidang tempat kami
mencoba bunuh diri ini.
Seru sekali. Cidera-cidera kecil maupun besar jadi teman
kami selama sembilan bulan itu. Kadang, bangun tidur rasanya bukan segar,
melainkan malah lemas. Cucian jadi tambah banyak akibat keringat yang mengucur
banyak dan menyebabkan harus ganti baju. Sejak awal pertemuan dengan teman
belajar yang hebat ini, saya dipertemukan dengan sebentuk teman yang divonis
akan selalu berpasangan dengan saya dalam aktivitas yang membutuhkan kesamaan
bobot tubuh. Kami sama-sama berbobot. Di tengah perjalanan, partner saya itu
tambah gendut dan saya beranjak susut. Ini jadi tidak adil. Meski demikian,
saya tidak banyak protes. Sebab berkat partner yang berbobot itu, tubuh saya
jadi lebih kuat sebab aktivitas yang saya lakukan juga jadi jauh lebih berat.
Di sela-sela aktivitas fisik ini, kami juga harus terus
memutar otak supaya dapat dukungan dari banyak orang dalam rangka mewujudkan
rencana ini. Tidak mudah. Seliweran kesana kemari menjajakan potensi tim dan
rencana ini memang belum tentu berbuah seperti yang kami harapkan. Akan tetapi,
kami bertemu dengan banyaaaaak sekali orang dengan banyaaaaaak sekali kebaikan.
Terima kasih kepada mereka semua. Sekarang, kami jadi punya lebih banyak orang
untuk disapa jika menghadiri sebuah keramaian.
Nah, buah manis itu tidak begitu saja kami nikmati. Waktu
memanjat pohonnya untuk memetik, kadang-kadang kami kena getahnya. Rencana
kacangan yang jadi serius ini mendapat beragam komentar dari orang-orang yang
mendengar kabarnya. Ada yang kagum dan mendukung, ada yang menyepelekan dan
tidak percaya akan terjadi, ada pula yang tidak berkomentar apa pun (entah
karena merasa komentarnya terlalu vulgar atau memang tidak punya sesuatu untuk
dikomentari). Menghadapi ini semua, saya dan teman-teman kemudian berpikir
bahwa gagal atau berhasilnya rencana ini baru akan diketahui sesudah prosesnya
diselesaikan. Maka, tidak ada cara lain untuk mengetahuinya selain menyelesaikan
apa yang sudah kami mulai. Perkara gagal atau berhasil, itu jelas jadi
konsekuensi logis yang harus kami tanggung. Yang jelas, jika kami memilih untuk
tidak melanjutkannya, maka hasilnya sudah pasti: gagal.
Namanya kelompok, isinya banyak orang dengan banyak kepala.
Banyak kepala itu menyimpan banyak pengalaman dan cara pikir. Kadang, satu dan
lainnya bisa berjalan beriring. Namun, bisa jadi hanya pura-pura berjalan
beriring. Sisanya malah kerap bertabrakan. Biasa sekali kan. Saya memang tidak
pernah merasa kelompok ini istimewa dibandingkan dengan yang lainnya. Dinamika
di dalamnya jelas adalah sebuah kewajaran yang juga dialami banyak kelompok
orang di muka bumi. Orang datang dan pergi, saling mencinta dan membenci, juga
kadang bertenaga dan kadang lelah. Semua kewajaran ini baru akan jadi istimewa
jika orang-orang di dalamnya menyimpan cerita-cerita itu dan jadi berguna
barang sedikit untuk hidup mereka di cerita hidup mereka yang lain. Amin.
Pada akhirnya, rencana ini kami selesaikan juga. Kami hadapi
saja yang memang harus dihadapi. Sudah banyak hal yang kami berikan dalam usaha
ini, maka pada akhirnya biarlah kami melengkapinya agar purna ceritanya. Senang
sekali melihat teman-teman kami mengapresiasi pekerjaan kami. Kami tertawa puas
seusainya. Buat saya pribadi, momen ini terasa agak tidak mudah dipercaya. Saya
bolak-balik teringat bagaimana semua ini dulunya hanya berawal dari sebuah
obrolan kacangan. Obrolan kacangan ini jadi demikian adanya. Saya memilih
berdamai dengan ketidakpercayaan itu dan menerimanya dengan lapang hati dan
bahagia, ya obrolan kacangan ini sudah jadi nyata.
Sebelum proses ini persis berakhir, saya dan teman-teman di
kelompok juga sudah pernah membayangkan bagaimana hidup kami sesudah ini. Sembilan
bulan itu waktu yang cukup lama untuk berinteraksi. Nantinya, kami mungkin
tidak intens bertemu dan mengobrol lagi. Namun, demikianlah semua harus
berjalan kan. Kami akan kembali mengurusi cerita-cerita lain. Mudah-mudahan
cerita sembilan bulan ini menjadi sesuatu yang bisa diceritakan lagi di
kemudian hari.
Hah, mau saya tutup saja tulisan ini. Biar teman-teman
sendiri yang memberi akhir pada cerita mereka masing-masing. Saya tuliskan lagi
tulisan saya dalam selebaran kecil untuk para penonton hari itu, “Kami
mengawali cerita ini dari sebuah cerita yang sudah selesai. Maka, setelah
cerita ini selesai, semoga akan ada cerita yang lainnya.” Mengamini itu, saya
kutipkan juga kata sutradara dalam sinopsis ceritanya, “When the story ends,
another story begins.” Amin ya semuanya.
lagi-lagi tulisan
berhari-hari
Komentar
Posting Komentar