Si Ibu dan Tari Legong
Jumat minggu lalu saya menonton sebuah pertunjukan tari Bali
di Yogyakarta. Pementasan ini digelar oleh sebuah komunitas bernama Sekar Jepun
yang memang secara rutin setiap tahunnya menyelenggarakan pertunjukan tari.
Tahun ini mereka mengusung tajuk “Legong Sang Kenya”. Menurut pengetahuan saya
yang minim tentang tarian Bali, legong adalah salah satu jenis tariannya. Nah, ‘Sang
Kenya’ adalah sebuah nama panggilan untuk seorang tokoh yang memang memiliki
lumayan banyak julukan. Orang banyak mengenalnya dengan nama Maria atau Bunda
Maria. ‘Sang Kenya’ diambil dari Bahasa Jawa yang berarti ‘sang perawan’. Begitulah
Maria sering disebut.
Sebenarnya, tarian dengan tajuk yang hampir mirip juga
pernah dipentaskan oleh Sekar Jepun di tahun 2011. Kali itu acaranya diberi
judul “Legong Maria”. Tarian yang dipertunjukkan tahun ini adalah sebuah
eksplorasi lebih dalam dari tarian Legong Maria. Tokoh yang diambil masih sama.
Namun, ada penekanan khusus pada salah satu atribut Maria yang cukup mengena di
hati konseptor tarian. Atribut itu ialah sebuah ungkapan kondang yang keluar
dari mulut Maria, “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.” Kalimat ini adalah
ikon kepasrahan Maria yang konon berusaha diteladani banyak orang, khususnya
penganut agama Katolik. “Mu” pada kalimat itu merujuk pada figur Tuhan yang
menurut Maria punya kuasa paling besar atas hidupnya. Oleh sebab itu, Maria
mendeklarasikan keikhlasannya untuk menjalani kehendak Tuhan dalam hidupnya.
Interaksi saya dengan tarian Legong Sang Kenya* memang bisa
dibilang hanya kurang lebih satu minggu. Akan tetapi, di suatu waktu jauh
sebelum pementasan, saya sudah sempat bersinggungan dengan konsepnya. Konseptor
tarian, yang adalah salah seorang pengajar di fakultas tempat saya belajar,
bercerita pada saya tentang keinginannya untuk menumpahkan refleksi personalnya
atas Maria dan kalimat saktinya itu dalam sebuah pertunjukan tari. Memang tidak
ada kebetulan di dunia ini. Saat saya berhadapan dengan si konseptor dalam
adegan penceritaan itu, saya tersenyum simpul seraya bingung. Masalahnya,
sewaktu cerita konsep tarian itu sampai ke telinga saya, saya memang sedang
bergumul dengan kalimat sakti Maria itu.
Entah mengapa, selama beberapa hari berturut-turut saya
menemui kalimat itu di banyak tempat dan dari banyak orang. Tadinya hanya saya
anggap angin lalu. Namun, setelah si konseptor juga menambah frekuensi saya
berhadapan dengan “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu” itu, saya mulai
dibebani pikiran tertentu. Ketika saya tersenyum simpul kebingungan itu, si
konseptor tarian bertanya mengapa saya tersenyum mencurigakan. Saya menjawab
seadanya bahwa beberapa hari belakangan saya sering menemui kalimat itu di
mana-mana. Tanggapan darinyalah yang membuat saya sungguh-sungguh memikirkannya
kemudian, “Dicari. Mungkin ada maksudnya.” Angin lalu yang hampir bablas itu tadi saya panggil pulang
lagi. Ya, mungkin ada maksudnya.
Pencarian saya atas interaksi berturut-turut dengan
ucapannya Maria itu berakhir entah di mana saya sudah lupa. Satu hal yang
menandainya adalah kesadaran saya bahwa ungkapan itu menemui saya selama
beberapa hari ketika saya mulai sering protes sama keadaan. Singkatnya, saya
belajar lagi dari sosok yang namanya ditimpakan kepada saya oleh ibu saya itu
untuk ikhlas. Ikhlas pada hidup dan berusaha menjalaninya dengan
sungguh-sungguh.
Nah, tibalah saatnya saya menonton tariannya. Pertanyaan yang
bergulir di kepala saya adalah, “Bagaimana sih
bentuknya jika kalimat sakti Maria itu keluar dalam bentuk tari?” Jujur saja,
saya hanya punya sedikit referensi tentang tari dan bagaimana mengapresiasinya.
Dalam keterbatasan itu, saya berpendapat bahwa tarian Legong Sang Kenya kali
itu sangat indah. Durasinya panjang, sekitar lebih dari tiga puluh menit. Total
penari yang terlibat dalam tarian ini adalah dua puluh empat orang.
Saya menonton tarian ini dengan seksama ketika gladiresik
pentas. Saat itulah kali pertama saya menyaksikan tarian ini secara utuh. Ketika
kurang lebih separuh waktu tarian sudah berjalan, dimulailah adegan simbolisasi
penyaliban Yesus, anak Maria. Ketika adegan ini ditarikan oleh tiga penari
laki-laki, pemeran Maria dan penari perempuan lainnya bergerak sebagai latar. Adegan
berakhir ketika salah seorang penari laki-laki menusuk perut penari Yesus. Dalam
gerakan yang sangat gesit, penari Maria muncul di belakang penari Yesus dengan
pose menopang. Gerakan tari dan musik melambat. Setelah beberapa waktu lalu
penari Yesus berbalik menghadap “ibunya”. Lantas, ia menari menuju bagian
belakang panggung. Penari Maria mengikutinya dari belakang. Hampir di ujung
panggung, penari Yesus menghaturkan sembah. Itu salam perpisahan tentunya. Ia berpamitan
pada ibunya lalu meninggalkan panggung. Tarian diselesaikan oleh sisa penari
perempuan lainnya.
Persis ketika penari Maria menopang penari Yesus, air mata
saya jatuh tanpa saya inginkan. Sialan, pikir saya. Saya tidak berharap
menangis karena setelah ini masih harus berhadapan dengan banyak orang. Saya mengusapnya
sebentar lalu berusaha menguasai diri. Jujur saja, saya terharu. Dalam tarian
itu saya melihat keberadaan si Ibu Maria sebagai orang yang menopang putranya
dalam kekalahan. Selebihnya, ia mengiringi anak tunggalnya itu menuju akhir
perjalanan. Ketika Yesus lalu pamit, Maria melepaskannya. Tidak tertangkap oleh
saya satu pun gerakan yang menandakan penolakannya pada peristiwa-peristiwa
itu. Mungkin itulah kepasrahan Ibu Maria.
Memang dasar ibu yang satu itu selalu membuat saya deg-degan. Terima kasih ya, Bu.
*Konseptor: Ni Luh Putu Rosiandani
Koreografer: Ni Kadek Rai Dewi Astini
Penata Musik: I Nyoman Cau Arsana
Koreografer: Ni Kadek Rai Dewi Astini
Penata Musik: I Nyoman Cau Arsana
Komentar
Posting Komentar