Keseimbangan
Kalau pernah dengar salah satu ajaran Buddha, mudah-mudahan
tahu tentang keseimbangan. Jagad raya ini terus berusaha berjalan dalam keseimbangan. Ada yang lahir, ada pula yang mati. Ada yang tumbuh, ada pula
yang layu. Ada yang memangsa, ada juga yang dimangsa. Kadang-kadang, bahkan
kita menyebut bencana alam sebagai salah satu proses penyeimbangan diri yang
dilakukan oleh alam. Jika terjadi ketidakseimbangan dalam jagad raya, dengan
sendirinya jagad raya akan mencari keseimbangannya lagi.
Nah, buat saya, hal yang sama terjadi dalam hidup manusia.
Secara, manusia adalah bagian dari jagad raya. Manusia lahir, manusia mati.
Memberi dan menerima. Mencintai dan dicintai. Mendapatkan dan kehilangan.
Bahagia dan bersedih. Berhasil dan gagal. Maka, ketika manusia punya waktu
untuk tertawa, ia juga akan punya waktu untuk menangis. Begitu pula sebaliknya.
Kenapa kita butuh keseimbangan? Supaya dapat tetap hidup. Coba bayangkan jika
seseorang selalu berhasil dalam hidupnya, tidakkah ia cenderung tumbuh jadi
pribadi yang tak yakin bisa gagal? Lalu, jika ia gagal mampukah ia mengusahakan
untuk berhasil lagi?
Seorang teman pernah berkata bahwa kerendahan hati memberi
kita kesempatan untuk belajar. Orang yang tidak mampu rendah hati akan berpikir
dirinya pintar, lalu tak mau belajar lagi. Titik di mana ia berhenti belajar
inilah yang justru malah menandai kebodohannya. Lantas, maukah seseorang dengan
rendah hati mengakui kegagalannya untuk dapat mulai belajar lagi?
Saya mau menutup omongan ngalor-ngidul
ini dengan perkataan lainnya dari seorang teman lainnya ketika ia ditanyai
mengapa tangan (atau mungkin kaki depan) T-Rex semacam tidak berguna. Jawaban
teman saya: “Karena jika tangan itu dapat berfungsi optimal, T-Rex akan jadi
makhluk tak terkalahkan.”
Tabik!
Tulisan ini pernah dimuat dalam kolom Editorial di Papan Sastra - Media Sastra
2 April 2012
2 April 2012
Komentar
Posting Komentar