Sepatu Merah
Aku tidak punya satu pun sepatu atau alas kaki lainnya yang
warnanya merah. Selama dua puluh tahunan menjalani hidup sebagai seorang
perempuan, aku terhitung seseorang yang amat membosankan soal pilihan warna
barang-barang yang aku pakai. Entah karena aku cenderung dan sudah telanjur
dikenal tomboi, atau karena entah apa, aku punya kebiasaan memilih warna-warna
gelap untuk kupakai. Singkatnya, sebut saja hidupku monokrom. Hahaha.
Dulu, orangtuaku sampai lelah memprotes pilihan baju yang ingin
kubeli karena semuanya berwarna hitam. Kadang-kadang putih atau cokelat. Hanya
berkutat di sekitar warna-warna itu saja. Sekali waktu ibuku memaksa membelikan
baju natal berwarna hijau. Sepanjang umur hidupku, sepertinya belum sampai lima
kali baju itu kupakai. Selain karena warnanya agak “berani” buatku, bahannya
membuat badan gatal ketika dipakai. Kuatlah alasanku untuk menghindari
mengenakan baju yang satu itu.
Kebiasaan itu terus berlanjut dan makin menjadi-jadi selepas
lulus sekolah dan meninggalkan rumah. Aku mulai kuliah di sebuah jurusan yang
mengizinkan mahasiswanya mengenakan pakaian nonformal untuk ikut kuliah. Meski
demikian, ibuku rupanya tidak terlalu mudah menyerah. Masih sering ia
mengingatkan jika kami mengobrol lewat telepon agar aku memilih, membeli, dan
mengenakan pakaian yang “lebih pantas” untuk kuliah. Ia bahkan sempat
mengataiku pelit pada diriku sendiri saking kasihannya ia membayangkan
bagaimana aku berpakaian ketika kuliah.
Aku benar-benar mengesampingkan peringatan itu karena lingkungan
tempat aku bergaul pun tidak memberikan pengkondisian untuk hal itu. Ketika aku
mulai kuliah, hampir setiap hari aku menghampiri satu atau dua meja di kantin
yang penuh berisi orang-orang berpakaian warna hitam. Entah mengapa, mereka
begitu suka pada warna yang satu itu. Sampai-sampai mengapa mereka selalu
berpakaian hitam itu pernah jadi bahan pembicaraan lumayan panas di sebuah
forum obrolan tulisan publik kami. Ada dua pihak yang “berdialog”: gerombolan
si hitam dan gerombolan berwarna. Apa pun yang menjadi alasan sesungguhnya,
saat ini aku berpendapat bahwa pakaian hitam yang seragam itu tidak hanya
karena sekadar “Aku pengennya pakai
ini”, tapi juga hasil sebuah konstruksi. Entah siapa yang memulai dan kapan,
yang jelas kemudian citra mengenai pakaian warna hitam dan maknanya dan
kesannya dan tetek-bengeknya itu terus dibangun dan diamini oleh teman-temanku
ini.
Aku sebenarnya tidak terlalu peduli waktu itu, namun
cipratan konstruksi pakaian warna hitam itu tentunya juga mengenaiku. Iseng,
aku pernah menghitung jumlah kaus warna hitam yang kupunya. Mendekati sepuluh.
Bahkan pernah suatu kali aku mencuci lalu menjemur sejumlah kaus yang semuanya
berwarna hitam. Suatu kali, aku akhirnya menyadari kondisi itu dan mulai
memikirkannya baik-baik dan iseng-iseng. Ada apa rupanya dengan warna-warna
gelap ini?
Aku tidak ingat kapan persisnya, namun bisa jadi titik balik
itu diawali oleh inisiatif ibuku untuk memperbaiki penampilanku. Ia mengirimiku
paket. Isinya sebuah kaus oblong warna hijau dengan motif tengkorak kecil-kecil
dan kaus berkerah berwarna merah jambu. Aku sungguh tidak paham dengan
pilihannya kali ini. Bukan merah jambunya, tapi motif tengkoraknya. Aku menduga
ibuku tidak memerhatikan bahwa motif di kaus itu adalah gambar tengkorak.
Selain itu, ibuku bersikeras mengatakan bahwa kaus berkerah itu bukan berwarna
merah jambu, melainkan salem. Aku tahu persis, ia melakukan hal itu untuk
mengantisipasi aku menolak mentah-mentah pakaian berwarna merah jambu. Ia
mengaburkannya menjadi warna salem. Aku menghargai usaha yang membuatku geli
itu. Namun, sebenarnya ibuku tidak perlu berusaha sekeras itu. Kaus salem alias
merah jambu itu baik-baik saja. Malah terlihat sangat manis dan menarik untuk
dipakai.
Sejak aku punya kaus merah jambu itu, aku merasa ada baiknya
aku mencoba sesuatu yang baru untuk hidupku. Aku jadi terlihat berbeda. Sudah
terbukti satu kali ketika aku berangkat kuliah mengenakan kaus pemberian ibuku
itu. Seusai kuliah, aku dan teman-teman mengunjungi seorang ibu teman kami di
rumah sakit. Setibanya di kamar rawat inap, barulah aku tersadar karena
dikomentari oleh orang-orang di kamar itu. Dalam rombongan penjenguk itu, hanya
aku yang mengenakan baju berwarna cerah, merah jambu. Sisanya, seperti biasa,
hitam. Ini mulai menarik.
Pelan-pelan, aku mulai punya sejumlah barang yang warnanya
tidak lagi hitam atau cokelat. Ada yang berwarna merah jambu, biru muda, hijau,
oranye, kuning, dan lain-lain. Aku memutuskan demikian karena sepertinya
hal-hal ini terlihat dan terasa lebih bagus dalam ragam warna-warni.
Sesungguhnya memang ini hal praktis saja, semata-mata karena ingin melihat
sesuatu jadi lebih baik. Akan tetapi, di balik pilihan praktis itu, aku
melakukan sebuah dialektika besar dengan diri dan hidupku sendiri. Aku belajar
mencoba sesuatu yang baru, yang lebih banyak warnanya, yang lebih banyak
risikonya. Sepele sekali sepertinya, ya. Aku memang kadang berlebihan, maaf.
Namun, memang begitulah kenyataannya. Butuh sekitar dua puluh tahun untukku
berani mengambil tindakan yang berbeda dari rutinitas. Tidak seharfiah itu
pastinya, tapi maksudku ini termasuk momen besar dalam hidupku karena utamanya
aku belajar menerima lebih banyak hal, lebih banyak ragam, lebih banyak varian
yang memang bagus dengan sendirinya. Aku merekonstruksi citra warna-warna dalam
hidupku.
Nah, apa kaitan semuanya ini dengan sepatu merah?
Untuk yang satu ini, memang aku baru tertarik padanya kurang
lebih satu tahun belakangan. Dulunya aku tidak pernah suka dengan pilihan warna
merah untuk alas kaki. Siapapun yang mengenakan benda macam itu tadinya tidak
pernah terlihat menarik buatku. Aku selalu berpendapat: norak. Namun ternyata
pandangan itu ikut jungkir balik bersama citra warna-warna tadi.
Seorang teman laki-laki dulu pernah berujar, “Semua cewek
pasti punya minimal satu pasang sepatu warna merah. Soalnya itu bikin mereka
kelihatan seksi.” Aku langsung menyahut, “Aku tidak punya.” Ia menjawab pasti,
“Kamu kan bukan cewek.” Aku tidak tersinggung, malah mendapat sebuah pengertian
yang cukup menjawab keherananku atas pilihan warna merah untuk sepatu. Supaya
terlihat seksi rupanya. Lama-kelamaan, sepertinya aku pun melihatnya demikian.
Tidak ada yang salah dengan sepatu warna merah. Malah, aku belakangan kagum
pada mereka yang mengenakannya. Aku tidak punya keberanian untuk sekadar pakai
sepatu merah, apalagi memilikinya.
Sekarang, aku
jadi ingin punya sepasang sepatu merah. Dulu sudah sempat hampir membeli, namun
ternyata keberanian itu belum cukup. Bukan karena ingin terlihat seksi, tapi
aku ingin mencoba punya keberanian yang besar untuk melakukannya. Aku jauh
lebih tertarik untuk menguji keberanianku ketimbang mencari tahu seberapa
efektif efek seksi akan muncul jika aku mengenakan sepatu merah. Sudah ada
sangat banyak orang yang telanjur mengidentifikasiku lewat cara berpenampilan
yang seperti laki-laki. Jika aku muncul dengan dandanan feminin, aku sudah
pasti (dan sering) kebanjiran komentar heboh, tawa, dan rasa tidak percaya.
Sudah biasa. Inilah mengapa mengenakan sepatu merah adalah sesuatu yang akan
sangat memacu adrenalin buatku. Aku akan berhadapan dengan orang-orang yang
bereaksi. Keberanian inilah yang sedang kupupuk sembari memilih-milih sepatu
merah yang ingin kumiliki.
Sepatu merah kini
jadi representasi keinginan-keinginan pribadiku untuk mencoba pilihan-pilihan
hidup yang lain. Makin kemari, makin relevanlah keinginan itu mengingat
hidupku pun sudah mulai berubah di sana-sini. Pastinya perlu penyesuaian.
Siapapun boleh tidak sepakat denganku mengenai sepatu merah ini. Terutama mungkin
yang merasa bahwa penanda keinginan-keinginan hidupku yang lebih esensial itu
adalah sebuah hal yang amat sangat sepele. Tentu saja penanda ini kupilih untuk
alasan yang sangat personal, untuk peristiwa-peristiwa yang bersinggungan
langsung denganku.
Keinginan untuk memiliki sepatu merah ini masih harus
kupupuk cukup lama mengingat aku bukanlah orang yang dapat dalam waktu singkat
mengumpulkan keberanian untuk melakukan hal-hal di luar kebiasaan. Intinya, aku
punya niat untuk beranjak dari posisiku yang cenderung stagnan selama ini. ada
banyak hal-hal di luar sana yang akan sangat menarik untuk dijamah. Alasan lainnya
yang membuatku sangat ingin melakukannya adalah untuk belajar mengerti. Belajar
memahami bahwa sering kali aku menghindar atau tidak menyukai sesuatu justru
karena aku tidak tahu apa-apa tentangnya. “That
is just the way with some people. They get down on a thing when they don’t know
nothing about it.” Begitu kalau Huckleberry Finn yang bilang.
Toh kini aku berpendapat bahwa benda-benda berwarna merah
jambu itu tidak menjijikkan, melainkan manis. Pun kuning, cerah dan ceria.
Oranye pun membuatku tampak lebih berani dan keren. Sepatu hijauku pun sangat bergaya dipasangkan
dengan celana jeans mana pun. Jaket
merah menyala juga tetap enak dipandang. Hitam, cokelat, dan putih dan apa pun
itu, semuanya baik-baik saja. Jadi, aku tidak sabar memakai sepatu merah.
Kadang-kadang monokrom itu seru loh, kadang-kadang
warna-warni itu seru loh.
Libur Lebaran 1435 H
kamar sudah berubah
kamar sudah berubah
Komentar
Posting Komentar