Adek
21 tahun.
Beberapa hari
yang lalu, adik semata wayangku berulang tahun yang ke-21. Jauh. Kami sudah
lama tidak bertatap muka. aku pun tidak tahu harus mengucapkan selamat dengan
cara bagaimana.
Sudah beranjak banyak juga usianya.
Hal yang selalu diingat orang-orang tentang Christian adalah
tubuhnya yang gendut. Tidak aneh memang, sejak kecil dia memang kuat sekali
makan. Dalam sehari dia bisa bersantap sampai empat atau lima kali. Dia pun mulai rajin minum susu ketika aku
mulai rajin minum susu. Namun, ketika aku berhenti, dia tidak ikut berhenti.
Hingga SMA, tubuhnya tidak kunjung susut. Gemuk dan terus
tambah gemuk. Ketika mau masuk SMA, mama membelikannya sepeda untuk sarana
berangkat ke sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Mama sampai bolak-balik
mengonfirmasi pedagang sepedanya bahwa rangka sepeda tersebut cukup kuat untuk
menahan bobot tubuhnya. Setelah punya sepeda, Christian jadi rajin bersepeda ke
mana-mana, meski sempat dalam beberapa hari ketika aku berlibur di rumah ia
membangunkanku pagi-pagi dan minta diantar ke sekolah naik sepeda motor. Kini,
sepeda itu ada bersamaku di Yogyakarta. Dikirimkan menjelang ia melanjutkan
pendidikan ke seminari. Sepeda itu dinamai Mustafa oleh pacarku, lantaran di
masa lalu oleh pemilik sebelumnya (Christian), the bike must (be) tough.
Kemauan adek berolahraga besar sekali. Dia main basket sejak
SMP, main musik dol (yang jelas menguras energi), ikut klub sepeda, main
bulutangkis, dan lain-lain. Tetap saja, tak kunjung kurus. Namun, lihatlah
kini. Sudah berapa puluh kilogram menguap dari tubuhnya. Siapa pelakunya? Jelas
seminari. Hehehe.
Iya, sejak memantapkan hati dan memutuskan untuk melanjutkan
pendidikan ke seminari, adek beranjak kurus (akhirnya). Jelas saja, dia tidak
bisa lagi sesukanya membuka tudung saji dan makan besar setiap saat. Ia harus
patuh pada jam makan. Dan porsi makan. Di awal masa-masa belajarnya di
seminari, mama tertawa setiap kali mendengar cerita soal porsi makannya yang
sudah tidak bisa semena-mena lagi itu. Menjelang, tengah tahun, mama ganti
memasang muka cemas ketika membahas hal itu. Beliau malah khawatir,
jangan-jangan adek malah jadi tidak sanggup melanjutkan di sana. Ya ampun, aku
ganti menertawakan mama.
Jujur saja, ketika Christian mengambil keputusan untuk
menjadi calon imam, aku sempat khawatir. Khawatir dia akan kesulitan menghadapi
kehidupan di tahun-tahun awal di seminari. Salah satu kekhawatiran jelas sama
seperti yang digelisahkan ibuku sebelumnya: makanan. Hahaha. Aku lalu
membayangkan bagaimana ia akan bertahan tanpa televisi, telepon genggam,
internet, blablabla.
Aku juga sudah sempat kenal beberapa teman lulusan seminari
semasa awal kuliah. Nah, mereka bercerita padaku bahwa hiburan mereka
sehari-hari adalah membaca (selain kenakalan-kenakalan konyol tentunya). Aku
langsung sedikit panik. Christian jarang membaca. Maka, ketika mudik sekitar
satu tahun sebelum ia berangkat ke seminari, aku mewanti-wantinya untuk mulai
membiasakan membaca sebab ia akan selalu belajar dan belajar. Christian sempat
diam sejenak. Enam bulan berikutnya, ketika aku pulang lagi ke rumah, kutemukan
rak buku kecil di kamar tidurnya. Ada beberapa buku tersusun di sana dan di
halaman dalamnya ada nama Christian. Ah, serius ternyata anak ini.
Sejak ia meninggalkan rumah untuk melanjutkan pendidikan,
sudah berlalu waktu hampir tiga tahun. Kami sekeluarga pun jarang sekali
berkomunikasi dengannya karena memang ada batasan toleransi komunikasi dengan
orang-orang di luar biara. Bingung juga kadang kalau sedang rindu. Apalagi
mama, ia pasti yang paling gelisah. Aku bolak-balik menyampaikan pada beliau
bahwa pada akhirnya, hidup adek akan dipersembahkan untuk orang banyak. Mulai
saat ini, kami harus mulai berlapang hati mempercayakannya pada orang-orang
yang kini mendampinginya di pendidikan. Mulai percaya bahwa Christian pastilah
bisa menyelesaikannya dengan hati mantap dan tekun.
Kami sekeluarga pernah mengunjunginya di postulan ketika
natal. Aku masih ingat, wajahnya begitu sumringah mendapati aku dan mama sudah
berdiri di depan pintu postulan. Ia lalu menyambar kunci mobil dan
memarkirkannya ke belakang gedung. Ia tampak sehat. Dan kurus. Hahahahaha.
Hanya sekitar dua jam kami bisa menemuinya sebab kami harus segera pulang ke
rumah nenek. Waktu tempuhnya empat jam. Hehe. Tapi, layaklah itu dilakukan
untuk si gendut yang selalu dirindukan.
Di ulang tahunnya kali ini, aku sebenarnya berniat
mengiriminya sebuah foto ketika kami bergambar di kapel postulan. Namun, memang
kakak perempuannya ini sialan. Begitu banyak hari berlalu dan pada akhirnya
tanggal 27 Februari pun berlalu. Aku tak kunjung menyiapkan hadiah tak seberapa
(dan tak jadi dikirim pula!) itu. Maka, jadilah tulisan ini sebagai penebusan
rasa bersalahku lantaran tak bisa mengucapkan apa pun.
Paruh tahun kedua nanti, ia akan berangkat ke kota ini,
Yogyakarta. Melanjutkan pendidikannya. Tak sabar menunggunya di sini. Semoga
lancar semuanya.
Jalan yang dipilihnya ini, tak ada yang menduga. Christian
memang sudah lama menginginkan dan merencanakannya. Tentunya, kami sekeluarga
senang sekali menyambut niat ini. Pun tak lepas doa untuknya supaya jalan
panjang ini ditapakinya dengan besar hati dan ia senantiasa tumbuh dalam iman
dan kedewasaannya.
Terima kasih untuk semua yang selalu mendoakan Christian,
aku dan keluarga selalu merasa bungah tiap mendengar ataupun membaca
harapan-harapan itu. Christian pun selalu mendoakan kita semua.
Selamat ulang
tahun, ya Dek. Berbahagialah!
untuk Jonathan Christian Munthe
sudah Maret, yo
ben
Komentar
Posting Komentar