Gendot
Jarak adalah yang
kerap kali kusesali dalam rindu yang menyesakkan. Namun, dari jaraklah aku
belajar mencintai. Pun aku belajar menghitung waktu, memutar balik ingatan
tentang yang sudah mereka dan aku berikan, menghargai kehadiran mereka di tiap
hariku, memikirkan hari depan bersama mereka, dan akhirnya belajar menjaga dan
merawat mereka.
Aku punya beberapa teman. Dua di antaranya gendut. Mereka
pun menyadari kondisi fisik itu. Tak pelak, mereka pun saling memanggil satu
sama lain “Gendot”. Oh ya, nama mereka Anik dan Febi. Ketika pertama kali
mengenal mereka, aku sudah melihat mereka bersama. Saat itu, aku sempat takut
untuk kenal mereka lantaran mereka tampak gaul sementara aku tidak. Beberapa
tahun sesudahnya, mereka pun mengaku padaku bahwa mereka juga sempat takut
ketika melihatku pertama kali, dikira preman. Duh.
Dan… jadi kira-kira sudah enam tahun kami saling mengenal.
Jika ditanya apa yang terlintas di kepalaku pertama kali jika nama mereka
disebut, aku akan menjawab, “Seksi konsumsi.” Di bidang itulah mereka punya
keajaiban yang tak terjawab dan tak tertandingi hingga hari ini. Febi dan Anik
(dan Lolo yang tidak gendut) pernah memasang wajah panik sembari bicara padaku
bahwa kami tak lagi punya stok makanan untuk melalui malam berbadai di sebuah
bumi perkemahan di Kulonprogo sana, padahal ada sekitar 150-an perut yang
rentan masuk angin. Aku mencoba tidak panik, tapi nyatanya memang usaha itu
sia-sia. Kutemukan dua kardus arem-arem dan dua kardus nasi bungkus di
kerumunan orang-orang yang rawan masuk angin itu. Ketika kutanyakan kepada Febi
dan Anik (dan Lolo yang tidak gendut) mengenai kemunculan tiba-tiba arem-arem
dan nasi bungkus itu, mereka menanggapi, “Iya, Pit. Kita cuma punya itu.” Biar
kekinian: (((cuma))). Mungkin standar kami soal “tak punya stok makanan” itu
berbeda. Nyatanya, tak pernah ada yang kelaparan selama dua gendot itu memegang
tampuk kekuasaan seksi konsumsi. Tak pernah kelaparan, selalu ada kudapan
tambahan, dan uang anggaran yang bersisa. Ajaib dan tak terjelaskan. Kalau ada
yang bisa menjelaskan, mending tidak usah saja. Biar aku tetap percaya mereka
ajaib.
Dengan karier yang gemilang di bidang konsumsi, dua gendot
itu tak lantas tak berani mencoba tantangan yang lain. Febi ialah mitra
permanenku jika kami harus mengurusi pertunjukan hajatan kami sendiri. Selain
itu, dia juga jadi mitra permanenku untuk latihan olah tubuh gara-gara berat
badan kami yang saling mendekati (ujung batas angka timbangan). Entah bagaimana
caranya, kami berdua selalu berhasil saling menjerumuskan untuk menduduki
posisi yang itu-itu lagi. Febi selamanya adalah pimpinan proyek terbaik dalam
hidupku. Hahaha. Berlebihan sedikit, biar dia senang. Jika tekanan dalam
garapan itu sudah mencapai puncaknya, tidak ada lagi yang bisa menolong Febi
memperbaiki penampilannya. Ia akan tidak peduli bahwa celananya sudah sobek di
sana-sini lantaran tubuhnya mekar, ikat rambutnya sudah meluncur sampai
menjelang ujung rambut, wajahnya kumal, bulu ketiaknya mencuat ke sana kemari,
ah, banyaklah pokoknya. Febi tidak akan peduli. Jika teman-teman menghinanya
soal itu, dia hanya akan tertawa, tak peduli pokoknya.
Anik? Dia melebarkan sayap cukup luas sebenarnya. Meski ia
tak pernah pindah dari lahan konsumsi, Anik mulai belajar jadi aktor. Aku tak
akan pernah lupa dua penampilannya yang gemilang dan memukau penonton. Penampilannya
sebagai aktor untuk yang pertama kali dilaluinya dalam kesesakan. Ya, semua
kostum yang berhasil dipinjam tim untuk dikenakan Anik ukurannya selalu
beberapa nomor di bawah ukuran tubuhnya. Nah, kuberi tahu sesuatu yang jadi
rahasia umum: Anik punya punuk. Penampilannya kali itu membuat punuknya makin
terpapar perhatian. Mumpung tokoh yang diperankan Anik dalam pertunjukan itu
belum bernama, oleh sutradara tokoh ini diberi nama Camelia (dengan kata dasar “camel”). Nama itu langsung disepakati
secara aklamasi. Hanya Anik yang bersikeras menggantinya, ia ingin bernama “Angelique”.
Nama itu pun langsung ditolak secara aklamasi.
Penampilan kedua Anik di atas panggung sandiwara jauuuuuuh
lebih di luar dugaan. Saat itu ia harus memerankan tokoh orang kulit hitam
berusia dua puluhan. Entah mengapa, tim penata rias selalu kesulitan ketika
harus mendandani Anik jadi hitam. Riasan tidak bisa menempel rata di wajahnya. Alhasil,
ada bagian yang lebih hitam, sementara bagian lain masih kecokelatan. Anik
bagai habis kejeblukan sesuatu. Nah,
berbeda dengan penampilan pertama, kali ini Anik muncul dalam pakaian yang
tidak sesak, malah cenderung kedodoran. Aku sampai tak habis pikir bagaimana ia
dan tim penata busana bisa sepakat untuk membiarkan Anik mengenakan kostumnya
kali itu. Kalau kamu kesulitan membayangkannya, nanti kuberikan fotonya di
akhir tulisan ini.
Jadi, mengapa membahas Anik dan Febi? Hehehe. Ya, kalian
tahu sendirilah alasannya. Tanggal 4 Mei 2015 pagi, mereka akan lepas landas
menuju belahan dunia yang lain. Merajut cerita hidup lainnya. Ke negeri yang
jauh sekali dari Yogyakarta. Dan untuk waktu yang tak singkat pula, satu tahun.
Aku merasa tak perlu cemas, sebab Anik sudah kondang sebagai praktisi LDR dan
Febi adalah penasihatnya. Maka, jarak yang lebih jauh ini akan mengantar mereka
naik ke tingkat yang lebih tinggi dalam bidang LDR. Kali ini, tidak hanya LDR
sama kekasih, tapi juga sama bapak, ibu, kakak, adik, teman-teman, rumah,
penjaja siomay langganan, dan banyak lagi.
Apa yang akan kurindukan dari Anik dan Febi? Yang jelas:
kehangatan. Mereka berdua adalah teman yang amat hangat, entah ketika memeluk
maupun tidak. Kami pernah melalui masa bertemu setiap harinya, bahkan sampai
berhari-hari hanya menghadapi wajah mereka melulu dan tidak bertemu dengan
keluarga. Di saat yang lain juga kami pernah tak saling bersua hingga berminggu-minggu.
Namun, kehangatan mereka tak pernah berkurang. Justru, semakin lama tak
bertemu, semakin hangat mereka memeluk ketika akhirnya tiba waktunya untuk
bertatap muka dan bertukar pelukan. Mereka juga bukan teman yang selalu lembut,
hahaha. Sudah beberapa kali kami mengobrol sembari diiringi tatapan mata orang
di sekitar yang keheranan, mengira itu arisan preman. Namun, di saat yang lain,
Anik dan Febi bisa membuatku amat menye-menye
karena pernyataan cinta yang tak diduga.
Anik dan Febi adalah teman-temanku bertumbuh menghadapi
waktu-waktu yang tak ramah yang mengantarkan kami beranjak ke jenjang hidup
yang selanjutnya. Teman-teman untuk berbagi hal yang kami sendiri belum bisa
jelaskan mengapa terasa demikian. Teman menggerutu atas sekian banyak hal yang
amat membingungkan belakangan ini. Teman menertawakan kedunguan diri kami sendiri
dan kekacauan hidup yang embuh kenapa
bisa begitu. Pertemanan dengan merekalah yang mengajariku bahwa kita selalu
bisa memilih untuk bersikap hangat meski diterpa kebingungan, ditimpa
kesesakan, dihajar kelelahan, dan bahkan diliputi kemarahan. Tak lain karena di
mataku, Anik dan Febi adalah dua gendot yang tampaknya tak punya udel. Tak ada
lelahnya mereka itu. Seliweran ke sana kemari melintasi beberapa kabupaten
dalam satu hari, memenuhi janji dengan si itu dan si ini, makan segala macam
kudapan dalam satu waktu (hahahahaha), namun tak pernah lupa tertawa dan
membuat orang-orang yang ditemuinya bahagia pula.
Perjalanan mereka menyeberang ke benua lain ini kuyakini
akan jadi kisah hidup yang indah buat mereka. Bukan berarti segalanya akan
mudah. Jelas tidak pernah mudah. Pindah ke rumah lain yang jaraknya begitu jauh
dari orang-orang yang dicintai akan menimbulkan perasaan yang amat kecu. Hahaha. Dan “rindu” itu juga bukan
hal yang mudah diselesaikan. Perasaan yang satu itu bisa mengobrak-abrik
segalanya dalam waktu singkat. Namun, bukan berarti tidak bisa diurusi. Nik,
Feb, percayalah, kalau kalian di sana rindu, kami di sini setiap hari juga
rindu sama kalian.
Meski langit yang kita pandangi sama (tsaaah), tidak usah
membohongi diri, kita sedang tidak sama-sama, mau bertemu pun susah. Kalau
kalian sedang selo sore-sore di sana
dan ingin iseng telepon keluarga di Yogyakarta, belum tentu keluarga di sini
betah melek larut malam untuk menjawab telepon kalian.
HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA. Bukan jahat, ini cuma
tidak mau sekadar ngeyem-yemi ati.
Jaraknya memang jauh, komunikasi bisa jadi tidak begitu mudah, tapi semoga
kalian yang di sana dan kami yang di sini semuanya mau bersabar dan berusaha
tetap menyediakan waktu untuk melepas rindu.
Hati-hati di perjalanan kalian, ya. Tetaplah menjaga satu
sama lain. Kalian tidak perlu saling dititipkan dengan kalimat semacam, “Nik,
titip Febi, ya” atau “Feb, titip Anik, ya”. Kalian kan bukan kantong plastik
yang harus dititipkan kalau mau masuk supermarket. Kalian masing-masing adalah
pribadi yang bisa jaga diri. Gentho, je.
Jangan syedih-syedih, ini perjalanan yang kalian pilih, jadi berbahagialah!
Porter : Whatever happened, don’t you fret none. Life is too short.
Mama : Oh, I’m gonna fret plenty! Do you know what I wrote to Florence?
Porter : No, Ma’am. You don’t have to tell me.
Mama : I said, “Keep trying.”
Marge "Anik" Whitney |
Iya, ini Febi. Dia mah gitu orangnya. |
Wajah blong harian |
You both are always our gendots, our beloved gendots! :* <3 o:p="">3>
Komentar
Posting Komentar