Berhala


The Name of the Rose[i]. Saya menjemput buku ini dari rak perpustakaan kampus di kala sedang tidak jenak belajar. Sembarang saja saya tarik, karena melirik nama Nin Bakdi Soemanto sebagai penerjemahnya. Ternyata, keisengan ini mengirim saya ke sebuah perjalanan membaca yang campur aduk rasanya: hanyut, bingung, ngeri, panik, tergelitik, tertohok, patah hati, tegang, malu, sedih, dan seterusnya. Tapi, di catatan ini saya ingin membagikan dua hal yang membekas benar dari perjalanan itu.

Saya akan mengawalinya dengan catatan pertama. Demikian kira-kira. Novel The Name of the Rose ditulis oleh Umberto Eco, diterbitkan pertama kali pada tahun 1980. Ketika membacanya di tahun 2018—38 tahun setelahnya—saya sering senyum-senyum karena mendapati banyak percakapan di dalam novel ini memberi tawaran cara membaca realitas yang kini saya—dan saya yakin Anda juga, setidaknya dalam beberapa aspek—hidupi.

“Menurutku, banyak dari orang bidah ini, lepas dari dok[t]rin yang mereka pakai, memperoleh sukses di kalangan orang biasa karena menyarankan suatu kemungkinan kehidupan yang lain kepada orang biasa seperti itu. ... Banyak yang bergabung dengan suatu kelompok bidah, sering hanya sebagai cara lain untuk meneriakkan keputusasaan mereka.”

Belakangan, sekitar saya riuh dengan tuduhan, debat panjang, serapah yang menilai pilihan laku spiritual sesamanya. Di tengah situasi macam begini, perkataan tokoh William Baskerville dalam novel itu membuka kemungkinan—setidaknya bagi saya—untuk memahami secuil dari kerumitan itu. Doktrin, apa pun yang dibelanya, jarang sekali memberi ruang dialog. Buat saya, doktrin mulai bermasalah ketika dijadikan berhala. Dianggap sebagai kebenaran mutlak. Apa yang tertulis, tetap tertulis. Padahal, manusia dan kehidupannya selalu dinamis. Sebaliknya, mungkin “bidah” setidaknya memberi alternatif hidup yang lain, yang “meneriakkan keputusasaan” kita sebab tidak berhasil menemukan jawab untuk persoalan hidup yang riil dalam doktrin.

Saya ingat pernah dengar kalimat ini dari seseorang—yang mungkin juga mengutipnya dari orang lain, “Jika kamu dihadapkan pada pilihan menjadi benar atau menjadi baik, pilihlah baik.” Kita tidak perlu seragam bersepakat pada hal ini. Tapi perkataan itu mengingatkan saya bahwa kita tidak pernah bisa menyenangkan semua orang. Pilihan menjadi baik pun tidak luput dari risiko itu. Akan ada tentangan tentang mengapa tidak menyuarakan kebenaran. Tapi, sekali lagi, seberapa banyak kebenaran yang saya tahu? Adakah itu benar pula untuk yang lainnya?

Beralih ke catatan kedua, mungkin favorit saya. Salah satu tokoh protagonis novel ini bernama William Baskerville, seorang biarawan Fransiskan, yang menemani tokoh narator, Adso dari Melk, biarawan Benediktin muda. Cerita ini mengambil latar sebuah biara Katolik tua yang didera teror pembunuhan para rahibnya. Biara ini terkenal dengan perpustakaannya yang megah nan menakjubkan, baik dari segi ukuran maupun koleksi. William dan Adso terpikat pada perpustakaan itu, namun secara tragis harus merelakan kehancurannya pula.

Dalam berbagai percakapan selama menyelidiki kasus-kasus pembunuhan biarawan itu, William dan Adso berulang kali berhadapan dengan sejumlah biarawan tua yang mati-matian memuja kebesaran perpustakaan yang konon mengarsipkan segala macam pengetahuan yang pernah dicatat manusia. Dan sebagaimana klasik kita dengar, selalu ada pengetahuan, buku, maupun catatan yang aksesnya ditutup. Kabarnya, buku itu adalah pengetahuan agung, maka ia harus dilindungi, bahkan dengan nyawa sekalipun.

Singkatnya, laga mendebarkan yang terjadi di perpustakaan itu menjelang penghujung cerita “memenangkan” pilihan Jorge de Burgos untuk membawa mati pengetahuan yang ditutup itu. Perpustakaan itu terbakar. Habis. Saat membaca adegan ini, saya merasa patah hati, sebab William Baskerville, si serbatahu-bijaksana-pemberani itu, bahkan menangisi hilangnya perpustakaan itu dan segala isinya. “Mustahil, kita tidak bakal pernah memadamkannya, bahkan bersama semua rahib di biara ini. Perpustakaan itu sudah hilang.”

Fragmen ini menghantam saya begitu rupa. Ada sejumlah waktu di mana saya juga hampir menjadikan pengetahuan sebagai berhala. Merasa diri lebih tinggi dari yang lain hanya karena dapat kesempatan sekolah lebih. Mendewakan pengetahuan, mengabaikan nilai dan empati. Tapi apa artinya memelihara kepandaian yang tak seberapa dan tak ada ujungnya itu, hanya demi kebanggaan individu dan malah tak jadi guna buat hidup itu sendiri? Buat saya, pengetahuan mestinya mampu ditransformasi agar dapat menolong kita memahami hidup, mencari jalan untuk bertahan, dan jadi berguna buat sesama.

Cukup dengan berhala. Pemujaan lebih sering membuat kita buta, daripada percaya. Hidup lebih pandai mengajari soal itu.



[i] Eco, Umberto. 2003. The Name of the Rose. Terj. Nin Bakdi Soemanto. Yogyakarta: Bentang Budaya. Diterjemahkan dari The Name of the Rose (2004) versi bahasa Inggris terbitan Harvest Books.

Komentar

Postingan Populer