rendah hati (gagal di usaha kali ini)
Ternyata menjadi rendah hati itu bukan niat yang bisa diwujudkan dalam tempo satu kerjapan mata. Pun bukan sebuah keinginan yang dapat begitu saja tercapai meskipun telah mengusahakannya sepenuh hati.
Memang benar, ketika pohon tumbuh makin tinggi, angin yang menerpanya akan semakin kencang. Maka, tak semua pohon dapat bertahan dalam hempasan badai. Sulur-sulur akar yang berbonggol-bonggol dan membelit erat tanah yang menjadi landasan pijaknya tak menjadi jaminan bahwa badai pasti tak mampu menggoyahkannya. Bahkan tak jarang hembusan badai membuat akar-akar besar itu bergemeretak lalu kemudian tercabut sepenuhnya. Batangnya yang tinggi dan berdiri gagah perkasa itu diluluh lantakkan oleh angin yang bahkan tak berwujud kasat mata. Begitulah bagaimana sosok yang selama ini dipandang orang-orang dengan mendongak kini rebah kehilangan dayanya.
Namun, lihatlah pohon kecil yang tak sampai setinggi dada orang dewasa. Ia yang batangnya mampu melengkung ke sana kemari ketika dijadikan bahan mainan anak-anak yang kebetulan lewat atau memang sering bermain di sekitarnya. Ia yang daunnya sering kali dipetik seenaknya karena dapat dijangkau oleh tangan. Ia yang akar-akarnya belum merambat begitu jauh darinya, yang penting cukup untuk menyerap hara pelega dahaganya lalu kemudian dijalarkan keseluruh bagian tubuhnya. Lihatlah bagaimana ketika badai menghempasnya. Batangnya yang mungil dan hijau menggeliat dan meliuk mengikuti ke mana angin mendorongnya. Akar-akarnya pun tak ketinggalan dalam upaya mempertahankan pohon itu agar tetap berdiri di tempatnya. Hempasan badai menuntutnya untuk belajar meliukkan diri agar mampu bertahan. Maka, ketika badai berlalu, pohon kecil pun masih tetap berdiri. Pohon kecil yang selama ini dipandang orang-orang dengan menunduk mampu bertahan karena rendah.
Ketika aku memilih untuk belajar menjadi rendah hati, aku sudah memikirkan bagaimana sulitnya melawan keinginan diri untuk tetap terlihat tinggi. Namun, tak aku sangka bahwa dalam diriku sendiri aku masih belum bisa berdamai dengan respon pribadi ketika menghadapi sebuah masalah. Masih saja ada kekecewaan ketika orang lain bisa melakukan sesuatu yang lebih dibandingkan dengan apa yang telah aku lakukan. Mungkin jika aku memandangnya sebagai sebuah pancingan untuk lebih keras berusaha melakukan sesuatu yang lebih baik lagi itu tak menjadi masalah, namun kini aku kecewa kenapa bukan aku yang melakukannya duluan. Bodoh. Padahal aku sudah dibantu demikian mudahnya untuk dapat mengatasi masalah itu, akan tetapi masih saja muncul pikiran bahwa aku seakan-akan dikalahkan. Memalukannya lagi, aku tak terima akan hal itu. Aku malu pada diriku.
Hidup di lingkunganku selama ini, aku dipaksa menjadi orang yang mau mendengarkan. Aku tidak diberi banyak ruang untuk bicara mengenai apa yang tengah membebani hidupku. Jika aku diberi waktu untuk bicara, itu haruslah merupakan momen di mana aku memberikan solusi dan bantuan. Aku tidak diizinkan untuk bilang, “Tidak tahu.” Aku nyaman akan keadaan ini selama bertahun-tahun belakangan. Aku menikmati memandangi wajah puas dan lega mereka serta mendengar nada bicara yang gembira ketika ternyata masalah mereka teratasi. Kali ini, aku harus belajar untuk tidak terus menerus membiarkan hal ini terjadi. Aku berada dalam kondisi berbeda yang memaksaku untuk berani bicara dan mengambil sikap untuk kemudian mempertahankannya. Setelah proses penerimaan diri dan menata hati setelah mengalami kekecewaan tadi, aku akhirnya berjanji pada diriku untuk berusaha dan belajar berubah ke arah yang lebih baik.
Aku mau menjadi rendah hati.
Memang benar, ketika pohon tumbuh makin tinggi, angin yang menerpanya akan semakin kencang. Maka, tak semua pohon dapat bertahan dalam hempasan badai. Sulur-sulur akar yang berbonggol-bonggol dan membelit erat tanah yang menjadi landasan pijaknya tak menjadi jaminan bahwa badai pasti tak mampu menggoyahkannya. Bahkan tak jarang hembusan badai membuat akar-akar besar itu bergemeretak lalu kemudian tercabut sepenuhnya. Batangnya yang tinggi dan berdiri gagah perkasa itu diluluh lantakkan oleh angin yang bahkan tak berwujud kasat mata. Begitulah bagaimana sosok yang selama ini dipandang orang-orang dengan mendongak kini rebah kehilangan dayanya.
Namun, lihatlah pohon kecil yang tak sampai setinggi dada orang dewasa. Ia yang batangnya mampu melengkung ke sana kemari ketika dijadikan bahan mainan anak-anak yang kebetulan lewat atau memang sering bermain di sekitarnya. Ia yang daunnya sering kali dipetik seenaknya karena dapat dijangkau oleh tangan. Ia yang akar-akarnya belum merambat begitu jauh darinya, yang penting cukup untuk menyerap hara pelega dahaganya lalu kemudian dijalarkan keseluruh bagian tubuhnya. Lihatlah bagaimana ketika badai menghempasnya. Batangnya yang mungil dan hijau menggeliat dan meliuk mengikuti ke mana angin mendorongnya. Akar-akarnya pun tak ketinggalan dalam upaya mempertahankan pohon itu agar tetap berdiri di tempatnya. Hempasan badai menuntutnya untuk belajar meliukkan diri agar mampu bertahan. Maka, ketika badai berlalu, pohon kecil pun masih tetap berdiri. Pohon kecil yang selama ini dipandang orang-orang dengan menunduk mampu bertahan karena rendah.
Ketika aku memilih untuk belajar menjadi rendah hati, aku sudah memikirkan bagaimana sulitnya melawan keinginan diri untuk tetap terlihat tinggi. Namun, tak aku sangka bahwa dalam diriku sendiri aku masih belum bisa berdamai dengan respon pribadi ketika menghadapi sebuah masalah. Masih saja ada kekecewaan ketika orang lain bisa melakukan sesuatu yang lebih dibandingkan dengan apa yang telah aku lakukan. Mungkin jika aku memandangnya sebagai sebuah pancingan untuk lebih keras berusaha melakukan sesuatu yang lebih baik lagi itu tak menjadi masalah, namun kini aku kecewa kenapa bukan aku yang melakukannya duluan. Bodoh. Padahal aku sudah dibantu demikian mudahnya untuk dapat mengatasi masalah itu, akan tetapi masih saja muncul pikiran bahwa aku seakan-akan dikalahkan. Memalukannya lagi, aku tak terima akan hal itu. Aku malu pada diriku.
Hidup di lingkunganku selama ini, aku dipaksa menjadi orang yang mau mendengarkan. Aku tidak diberi banyak ruang untuk bicara mengenai apa yang tengah membebani hidupku. Jika aku diberi waktu untuk bicara, itu haruslah merupakan momen di mana aku memberikan solusi dan bantuan. Aku tidak diizinkan untuk bilang, “Tidak tahu.” Aku nyaman akan keadaan ini selama bertahun-tahun belakangan. Aku menikmati memandangi wajah puas dan lega mereka serta mendengar nada bicara yang gembira ketika ternyata masalah mereka teratasi. Kali ini, aku harus belajar untuk tidak terus menerus membiarkan hal ini terjadi. Aku berada dalam kondisi berbeda yang memaksaku untuk berani bicara dan mengambil sikap untuk kemudian mempertahankannya. Setelah proses penerimaan diri dan menata hati setelah mengalami kekecewaan tadi, aku akhirnya berjanji pada diriku untuk berusaha dan belajar berubah ke arah yang lebih baik.
Aku mau menjadi rendah hati.
Selasa, 27 Juli 2010 tengah malam – Rabu, 28 Juli 2010 dini hari
00.10
In The Arms of The Angel is being played
Komentar
Posting Komentar