Jalan-jalan ke Rumah Pengasingan Bung Karno di Bengkulu

Oke…ini satu lagi kegiatan saya pada liburan mahapanjang ini. Saya memang pernah meniatkan ingin melakukan wisata sejarah ke beberapa situs sejarah yang ada di kota kelahiran yang sedang saya sambangi untuk berlibur ini. Walaupun situs-situs yang saya rencanakan tersebut sudah pernah saya kunjungi semasa saya masih sekolah, namun kini saya punya ketertarikan lebih untuk mengunjunginya lagi. Hitung-hitung mengingat-ingat apa isinya karena sudah banyak juga tahun berlalu sejak terakhir kali saya mengunjunginya.

Kali ini saya mau berbagi beberapa gambar yang saya ambil (lagi-lagi dengan sembarangan dan tanpa teknik sama sekali) di salah satu situs sejarah yang saya pikir sangat penting dalam sejarah bangsa ini. Dua minggu yang lalu saya mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno. Lokasi tepatnya di daerah Anggut kota Bengkulu (maaf, saya lupa nama jalannya).

Rumah ini dulunya digunakan sebagai tempat tinggal Soekarno (presiden pertama Republik Indonesia) dan beberapa tokoh yang ikut diasingkan oleh pemerintah Belanda. Rumah ini mereka diami selama beberapa tahun sejak tahun 1938 sampai dengan 1942. Di kota inilah Soekarno menemukan belahan hatinya (entah yang keberapa, saya tidak tahu persis) yang kemudian menjadi ibu negara. Tak lain tak bukan, ialah Fatmawati yang juga dikenal sebagai penjahit bendera kebangsaan –Bendera Merah Putih.

Rumah ini tidak terlalu besar, terdiri dari beberapa ruangan yang sepertinya dulunya berfungsi sebagai kamar tidur para penghuninya. Di bagian depan ada sebuah beranda kecil yang asri –kini digunakan sebagai loket penerimaan pengunjung. Untuk memasuki dan berkeliling di bangunan ini, pengunjung dikenakan biaya Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah). Inilah potret rumah pengasingan tersebut ketika masih ditempati oleh Soekarno dan teman-teman.



Seperti rumah lainnya, sederet dengan beranda terdapatlah sebuah ruang untuk menjamu para tamu. Ruangan ini dilengkapi dengan satu set kursi dan meja tamu terbuat dari kayu.


Di bagian kanan beranda ada sebuah ruangan yang memajang sepeda ontel tua dalam kotak kaca. Konon, sepeda ini dulunya digunakan oleh Soekarno dan para penghuni rumah tersebut.


Dua ruangan lainnya memuat ranjang yang dahulu digunakan sebagai tempat tidur oleh Soekarno dan tokoh-tokoh lain yang diasingkan. Layaknya kamar tidur lainnya, salah satu kamar juga menjadi lokasi bertenggernya meja rias.



   




























Seperti dikenal orang banyak, Soekarno adalah seorang cendekiawan pula. Bolehlah kita menduga bahwa ia adalah seorang yang gemar membaca. Rumah ini pun masih menyimpan dua lemari kaca berisi buku-buku yang dulu dibaca oleh Soekarno. Sayangnya, saya dan teman saya sempat bertanya pada penjaga tentang izin untuk membuka lemari dan melihat buku-buku itu namun, tidak dikabulkan. Pihak pengelola mengaku bahwa lemari itu hanya dibuka selama enam bulan sekali untuk perawatan. Alasan lainnya adalah kondisi buku yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk dibaca oleh umum berkenaan dengan usianya yang sudah sangat tua dan sejumlah buku mengalami kerusakan yang cukup parah.





Teman saya memiliki ketertarikan yang lebih pada buku-buku ini. “Mari kita lihat, buku macam apa yang dibaca Pak Karno ini,” begitu katanya dengan takjub. Ia sempat mencatatkan beberapa judul buku yang masih bisa terbaca oleh kami, seperti: Het Post Zegelboek, Jong Java’s Lief en Leed, Mia Bruyn-Buwehand, de Rhynmonders, The Automatic Letter Writer, Plammarion-in Het Stervensuur, dan Katholieke Jeugdbubel. Saya dan dia benar-benar tidak bisa menebak apa arti judul-judul buku itu kecuali The Automatic Letter Writer.

Saya belum pernah benar-benar tahu jika Soekarno ialah juga seorang pemusik, atau paling tidak mempelajari musik, atau tertarik pada musik, atau apa pun di sekitar musik. Saya menemukan sederat buku –yang saya tebak dari judulnya– bicara tentang musik.


Oh iya, saya menduga Soekarno ialah juga seorang seniman. Dalam masa pengasingannya di Bengkulu, ia menulis naskah tonil berjudul Monte Carlo. Hebatnya lagi, naskah itu tak hanya jadi sekedar naskah, melainkan juga dipentaskan. Di rumah ini disimpan beberapa lemari yang memuat kostum-kostum pemeran sandiwara Monte Carlo tersebut.



Selesai dengan ruangan-ruangan di dalam rumah, saya dan teman saya menjenguk ke halaman belakang. Lagi-lagi ada sebuah beranda kecil yang nyaman (saya benar-benar suka beranda itu) yang menghadap ke pekarangan belakang. Di sudut sebelah kanan, terdapat hal yang menarik perhatian saya. Sebuah sumur dengan papan bertuliskan banyak kata. Silakan dibaca sendiri.



     
Rumah pengasingan ini pun dilengkapi dengan sejumlah foto yang dipajang secara acak di beberapa ruangan.



    
     





 




















Tak lupa pula foto keluarga Soekarno bersama Fatmawati.


Namun, dari sekian banyak foto, di bawah ini adalah favorit saya.


Surat cinta Bung Karno untuk Ibu Fatmawati


Kurang lebih, begitulah isi rumah yang dulunya didiami Soekarno dan beberapa temannya dalam masa pengasingan di Bengkulu. Rumah ini dipugar oleh pemerintah setempat dalam beberapa tahun belakangan (saya lupa tepatnya kapan). Halaman depan yang sangat luas ditambah lagi dengan pekarangan belakang yang juga lengang tetap dipertahankan. Kini, keduanya ditanami bunga-bunga dan pohon-pohon. Keadaannya jadi jauh lebih asri daripada sebelum dipugar.



    
Maka, berakhir sudah tur saya di situs sejarah yang satu ini. Tulisan ini fungsinya hanya untuk berbagi cerita sekaligus pamer. Terima kasih.

Komentar

Postingan Populer