Jika hidup harus berputar, biarlah berputar...

Hidup makin lama makin menjadi hanya rentetan hari-hari tanpa makna. Akan selalu tanpa makna kecuali aku sendiri yang berusaha memaknainya.


Hari ini ak baru saja kembali lagi ke Jogja setelah liburan lumayan panjang di rumah. Beda sekali atmosfir dan emosi yang terbentuk antara ketika aku akan meninggalkan kota ini dan ketika aku kembali dari rumah. Wajar saja mungkin ya, rumah memang terasa lebih nyaman bagiku. Sebenarnya, ini bukan peristiwa luar biasa. Toh, aku sudah melaluinya beberapa kali. Dalam beberapa hari setelah aku tiba lagi di kota ini, hidup rutinitasku segera kembali dan berputar lagi.

Tadi malam aku masih tidur di kamar yang menjadi tempat istirahatku selama 17 tahun. Tadi pagi aku masih menyuruh adikku membelikan sarapan bubur ayam yang dulu adalah langganan kami. Tadi siang aku masih menonton televisi di rumah, masih mengambil makan siang di meja makan yang usianya juga sudah belasan tahun, masih mandi di kamar mandi kecil yang dulu selalu menjadi rebutan antara aku dan abangku. Tadi siang aku masih di rumah. Namun, malam ini aku kembali harus tidur sendiri, mengunci pintu dan memasang alarm. Aku sudah tidak lagi di rumah. Aku melewati perubahan yang begitu cepat ini (super duper cepat, malah) tanpa rasa berarti. Aku tidak menafikan bahwa aku sedang berusaha menafikan sesuatu. Aku yang membuatnya jadi seperti itu. Aku menolak merasakannya terlalu dalam karena aku masih (lagi-lagi) belum bisa menguasai diri jika peristiwa ini terjadi lagi. Padahal, aku sudah melaluinya berkali-kali dan sadar sepenuhnya (sungguh-sungguh sepenuhnya) bahwa memang beginilah hidup harus berputar.

Aku belajar satu hal malam ini: mengebaskan rasa sakit menuntut untuk sungguh-sungguh siap dengan sentilan sekecil apa pun yang mampu menyentuh ego. Malam ini aku menangis sebentar. Bukan karena meninggalkan rumah atau sendiri lagi malam ini. Aku tadi sedang menunggu seorang teman dan karena ia tiba begitu lama aku meneleponnya lagi. Sebelum aku sempat mengatakan apa pun, dia membentak, “Sabar!” beberapa kali. Aku diam. Lalu berusaha menjawab, meski terbata, di tengah hujan kata-katanya. “Iya, nggak apa-apa.” Dia tidak sungguh-sungguh, dari dulu memang begitulah nada bicaranya. Hanya saja, inilah yang kusebut sentilan kecil yang ternyata menyentuh egoku. Mengalirlah air mata sebagai akumulasi dari semua rasa yang berusaha kukebaskan seharian ini. Aku kehilangan semangatku. Aku menjadi lesu malam ini. Mudah-mudahan besok akan segera mengembalikanku seperti semula.

Aku hanya tidak pernah membayangkan bahwa untuk menjadi dewasa terkadang aku butuh berpura-pura. Aku butuh menutupi satu dan lain hal karena satu dan lain alasan. Aku adalah anak yang tak terbiasa bilang cinta, bilang rindu, bilang sayang pada orang-orang terdekatku, dalam hal ini keluarga. Maka ketika aku merasakannya, aku hanya bisa menahannya dan sungguh-sungguh tidak berani mengeluarkannya.  Meskipun kali ini tidak ada suara bergetar, namun hatiku yang bergetar hebat. Aku seperti belum siap, padahal hidup tak pernah peduli aku sudah siap atau belum. Ia akan terus berputar, berputar, dan terus berputar. Bagi mereka yang terbawa olehnya, akan sangat sulit untuk berusaha menemukan sesuatu yang berarti di balik putaran-putaran itu. Yang ada hanya ikut berputar, ikut berputar, agak tidak terlindas.

Namun, sungguh, aku tidak bisa menafikan apa yang sedang berusaha kunafikan. Bahwa kepulangan ke kota ini adalah sesuatu yang biasa, yang dilalui kebanyakan orang, dan dimengerti pula oleh banyak orang. Aku tidak semudah itu menerimanya. Aku masih merasa ini hal yang besar dan jarang terjadi. Aku masih merasa perlu pengecualian dan pembenaran untuk merasa sedih dan khawatir jika waktu-waktu seperti ini tiba. Ketika aku berusaha meyakinkan diri bahwa hidup memang harus berputar dan aku tidak punya kuasa untuk menghentikan itu, hal ini hanya makin membuatku gelisah. Aku tidak bisa melepaskan bayangan ketika aku harus melepaskan abangku berkeluarga, ketika adek harus meninggalkan rumah untuk melanjutkan sekolah, ketika mama harus menghabiskan waktu sendirian di rumah setiap harinya, ketika kami makin sulit menemukan waktu yang pas untuk berkumpul bersama lengkap, ketika hidup terus berputar makin jauh, jauh sekali. Bagaimana aku harus melalui hari-hari itu? Apakah aku akan cukup kuat? Ternyata aku masih belum bisa berdamai dengan keadaan. Belum bisa.

Sakit juga ya ternyata. Apakah semua orang dewasa juga melalui ini semua? Atau pada akhirnya hidup memang hanya jadi guliran waktu tidak bermakna? Sungguh aku tidak pernah membayangkan akan ada rasa ini.

Bolehkah aku memilih? Aku tidak bisa tidak percaya bahwa hidup akan terus berputar, aku akan tambah tua, semua orang tambah tua, hal-hal berubah, segalanya berubah. Jika memang demikian, aku memilih untuk belajar berdamai dengan hidup. Biarkanlah aku bisa menyadari di titik mana kini aku berada dalam tiap putaran hidup. Biar aku bisa menikmatinya, bisa memaknainya sekecil apa pun perubahan yang terjadi itu. Satu setengah bulan aku berada di rumah ternyata menjadi waktu yang luar biasa. Aku sungguh menikmati dan hanya ingin menghabiskan waktuku di rumah bersama orang-orang di dalamnya. Tiap hal yang kurasa berbeda kunikmati, kuhargai sepenuhnya, kuucapkan syukur untuk semuanya. Ada waktu ketika kami bepergian bersama, nyekar bersama, mengobrol bersama, menonton televisi bersama, makan bersama, merayakan ulang tahun bersama, hanyut dalam haru doa bersama, tertawa bersama, mendengarkan omelan bersama, waktu-waktu keluarga.

Tak hanya itu, dalam libur kali ini pun aku (dipertemukan) menemukan sejumlah orang yang sehari-hari hanya jadi bagian kecil dari perputaran hidup yang keterlaluan besarnya ini, orang-orang yang kadang nyaris terlempar (padahal sudah ada di pinggir) dari hidup yang berputar. Mereka ‘mengetuk hati’ku untuk tak hanya memikirkan cara bertahan di dalam putaran hidup, melainkan menjenguk sekitar yang hampir lepas dari roda besar ini. Mereka punya bagian besar dalam perputaran hidupku. Melanjutkan pilihanku tadi, aku mau belajar bernegosiasi dengan putaran hidup atasku. Meski memang putarannya tak akan pernah berhenti, aku meminta supaya aku diberi waktu dalam tiap titik pada putaran itu untuk melihatnya dengan sungguh, merenunginya, menghargainya, belajar darinya, dan akhirnya mengenangnya. Kalaupun hidup tak memberiku waktu untuk itu, aku yang akan memaksanya. Aku tidak mau melepaskan guliran ini dalam ketidak bermaknaan. Aku percaya semua titik pada putaran itu bermakna besar dan amat menentukan. Aku pernah membuktikannya.

Jika hidup harus berputar, biarlah berputar
Akan ada harapan, sekali lagi, seperti dulu

Ya, itulah yangmenjadi peganganku. Tuhan, terima kasih  untuk kesempatan belajar yang selalu ada tiap saat ini, terima kasih pula karena mataku dibukakan untuk menangkap pelajaran-pelajaran itu. Terima kasih.
Doakan aku ya.



9 Februari 2011, 23.25
Sudah di kamar kos lagi, memaknai hari

Komentar

  1. Soe Hok Gie pernah berkata kalau dia ingin menjadi pohon Oak yang berani menantang angin. Saat sebuah pohon semakin besar akan banyak angin yang menerpanya. Pada akhirnya pohon itu mempunyai 2 pilihan, menancapkan akarnya dalam-dalam melawan terpaan angin atau memilih tetap menjadi tunas tanpa tahu rasanya memandang dunia dari atas. Saat pohon tersebut memilih jalan pertama, pohon itu tidak akan tumbang karena tubuhnya telah terbiasa melawan angin, begitu juga manusia yang sedang menuntut ilmu di tanah rantau.

    BalasHapus
  2. terima kasih :)
    saya setuju dengan hal itu, tapi saya pernah punya pandangan yang lain. pohon yang besar lebih riskan tumbang dibandingkan dengan pohon yang kecil. bukan karena ukurannya, tetapi yang saya bicarakan adalah tentang sifat keras atau lenturnya. pohon besar 'terkadang' tak lagi mampu meliukkan badan berdamai dengan angin, sebaliknya pohon kecil mampu dengan leluasa melenturkan batangnya ke sana kemari supaya tidak terseret badai. :)

    intinya, sudah sejauh apa pun saya berjalan, saya masih dan akan selalu ingin belajar menjadi rendah hati. terima kasih ya, saya akan belajar menantang dan sekaligus berdamai dengan angin :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer