lagi-lagi 19
Aku pernah merasa
seperti ini. Persis 4 tahun yang lalu. Ketika aku baru saja mau menikmati satu
tahun yang kukira akan jadi terakhir untuk bersama dengan seseorang. Nyatanya,
tahun itu tidak pernah ada. Apa yang sudah kulewati, itulah tahun yang terakhir.
Ia berdiri di
pinggir keramaian, mencoba mengatakan hal yang berkebalikan dari kebenaran
hanya untuk membuatku tenang. Tapi, aku tahu. Aku tahu kebenarannya. Terlanjur
tahu. Aku membiarkan semuanya lepas. Biar dia tahu betapa besar cintaku untuknya
yang sebelumnya selalu kutopengi dengan hinaan, ejekan, dan caci maki. Biar dia
tahu betapa besar porsinya dalam hidupku. Aku tak pernah melalui momen yang
seromantis itu dengannya sebelum hari itu. Yang melintas di otakku hanyalah
sosoknya ketika mengenakan seragam TK. Sudah berapa banyak waktu yang berlalu?
selama itulah aku memupuk cintaku untuknya. Aku menangis karena membayangkan
hari tanpanya. Sepi sekali.
Namun, apa yang
lebih terasa menyenangkan daripada menuruti kata hati? Ia memilih sendiri jalannya
dengan keinginannya sendiri. Lantas, apa yang bisa lebih membahagiakan dari itu
baginya? Maka, akulah yang melapangkan hati untuk melepasnya berlabuh ke
tujuan citanya. Jika aku menahannya pun aku tak yakin bisa memberi sesuatu yang
dapat membuatnya bahagia. Maka, kuiringi ia dengan doa dan tawa saat ia akan
beranjak. Aku siap menyaksikan ia bahagia.
Suatu kali ketika rindu berkunjung, kusebut dirinya dalam
sebuah cerita. Ia mendengar cerita kecil itu dan mengatakan padaku bahwa ia
teman selamanya. Manis sekali. Waktu terus menghanyutkan kami. Kami bertumbuh
selama 4 tahun di tempat yang berbeda. Sesekali masih kuterima pesan singkatnya
yang menggodaku tentang masa lalu. Aku selalu gembira mendengar gurauannya yang
dari dulu selalu menyakitkan itu. Aku rindu wajahnya, tawanya, kebodohannya.
Ketika satu kali dalam setahun menjelang, aku pasti
semangat. Aku melintas di depan bekas rumahnya. Pohon mangga, halaman rumput,
semuanya menceritakan tentang berapa banyak waktu yang telah berlalu. Kini, aku
bisa tersenyum ketika mengenangnya, mengingat hal-hal manis, dan mengetahui ia
bahagia dengan pilihannya. Hidup harus berlanjut, bukan?
Nah, ternyata perasaan 4 tahun yang lalu itu kini terulang
lagi. Aku sudah tahu bahwa air mata malah akan membuat langkahnya lebih berat.
Maka, biarlah aku yang belajar melapangkan hati lagi. Biarlah aku yang
menyiapkan diri menyaksikan ia bahagia, asalkan ia sendiri juga memilih
jalannya untuk bahagia.
Dua kali merasakannya untuk dua orang yang berbeda, ternyata
masih tetap sulit dilalui. Hahaha…tapi aku bisa pada akhirnya. Aku bisa karena
aku ingin kamu bahagia. Tulus. Terima kasih. :)
—lagi-lagi 19—
kenangan... ah kenangan... selalu banyak yang ingin di tulis kalo sudah mengenai hal itu :)
BalasHapusapa kabar te?
hahaha....begitulah.
BalasHapussehat2 saja! :D hehehe