kucing
Ada lima ekor kucing yang bersejarah dalam hidupku. Tak cuma
bersejarah sih, melainkan juga
meninggalkan kesan paling dalam. Di antara begitu banyak kucing yang hilir
mudik seumur hidupku, sejauh ini hanya lima ekor itulah yang sungguh membekas
di hati. Aku ingin bercerita tentang mereka. Akan tetapi, maaf sebelumnya bahwa
aku ialah penyuka dan pemilik kucing yang tak pernah memusingkan nama panggilan
untuk mereka. Untuk menyederhanakan banyak hal, aku selalu memanggil mereka
dengan nama warna rambut di tubuhnya, atau yang kemudian akan kita sepakati
disebut bulu supaya lebih akrab di telinga.
Kucing pertama ialah si Kuning. Ya tak lain tak bukan
bulunya berwarna kuning. Ekornya pendek dan membulat. Kucing ini agak bodoh
sebenarnya. Suatu hari ketika hujan deras, ia terjebak di dalam rumah. Entah mengapa, ia takut lalu berusaha
mencari jalan keluar dari rumah. Aku mengejarnya kesana kemari untuk dapat
menggendongnya, tapi ia terus berlari menghindar. Hingga akhirnya ia berlari
menuju pintu depan yang tertutup. Di sebelah pintu terdapat jendela kaca yang
besar sekali. Menyadari bahwa ia sudah terpojok (karena aku berada persis di
belakangnya), si Kuning memutuskan untuk mencoba peruntungan dengan jendela
kaca. Ia melompat menghantam kaca itu. Aku kaget bukan kepalang. Aku tahu
persis ia adalah seekor kucing yang paham bahwa kaca macam itu tak dapat
ditembus tanpa terluka. Masih jadi misteri bagiku alasan ia tetap mencoba
menerobos jendela kaca rumah.
Kucing bersejarah kedua ialah si Hitam. Beruntung sekali aku
pernah memelihara seekor kucing hitam mutlak yang sangat cantik dan
menyenangkan. Ia seekor betina dan induk yang sangat subur. Entah sudah berapa
kali ia beranak. Sedihnya, tak satu
pun dari anaknya dapat bertahan di rumahku. Nasibnya selalu kandas sebelum
mereka tumbuh besar. Sekalinya ada seekor yang dapat bertahan, aku harus
menghadapi kenyataan bahwa orang tuaku tak suka kenakalan anak kucing itu.
Meski sudah remaja, aku diam-diam menangis di kamar mandi ketika mengetahui
bahwa si anak kucing telah dipindahkan alias dibuang oleh bapakku. Si
Hitam adalah yang paling manis di antara lima kucing bersejarah itu. Ia adalah
sosok ibu panutan dan teladanku nomor dua setelah ibuku. Tak bohong, ia
melakukan tugas yang sama dengan yang dilakukan ibuku tiap pagi. Membangunkanku
untuk sekolah. Jika aku kesiangan sedikit saja, ia akan masuk ke kamarku dengan
yakin dan mengeong yakin pula supaya aku bangun. Suatu kali, abangku pernah memangkunya di teras
rumah malam hari. Tangan abangku digigit nyamuk. Karena gatal, ia menggaruk
bekas gigitan itu. Ternyata eh ternyata, si Hitam tiba-tiba menjilati bekas
gigitan itu dengan lidahnya yang bergranula (mempunyai bulatan-bulatan timbul)
supaya rasa gatalnya hilang. Astaga, rasanya aku kangen sekali dan ingin
mengecup si Hitam.
Kucing ketiga
ialah seekor anak kucing yang kutemukan di dekat sekolah dan kuasumsikan telah
kehilangan induknya. Awalnya aku hanya berniat mengelus-elus si anak kucing
ini, namun ternyata mbak Memes benar, aku terlanjur sayang. Aku melawan benakku
yang mengkhawatirkan jika saja induknya akan kebingungan mencari nanti.
Kuboyong ia ke rumah dan berdalih bahwa ia datang sendiri supaya aku tak
dimarahi orang tuaku. Beberapa hari sempat kuajari dia melompati selokan kecil
dan memanjat anak tangga yang rendah. Senang sekali melihatnya punya
progres dalam melakukan hal-hal itu. Namun, sayang seribu sayang, suatu siang
sepulang sekolah, aku dikabari bahwa ia sudah dikubur di belakang rumah karena
tadi pagi terlindas kendaraan entah apa di dekat rumah. Habis sudah riwayat
anak kucing manis yang bahkan belum sempat kuberi nama itu.
Cerita pindah ke kucing keempat. Mungkin ada baiknya aku
menjelaskan sebuah fakta menarik tentang riwayat pemeliharaan kucingku. Selama
di rumah, kucing yang datang silih berganti selalu berwarna kuning dan hitam.
Ya ampun. Entah bagaimana itu bisa terjadi, tapi tiap kali ada kucing yang
bertahan untuk dipelihara pastilah warnanya kuning atau hitam. Maka, kucing
keempat ialah si Kuning (lagi). Ialah yang bertahan paling lama di antara yang
lain. Seekor jantan yang persis tokoh kartun kucing Garfield. Kuning, gendut,
berekor pendek, malas, dan senang dimanja. Hal yang menarik dari kucing yang
satu ini ialah ia mengerti kapan harus pulang ke rumah dan kapan tidak. Suatu
kali, ia pernah pulang dalam keadaan berwarna abu-abu. Isi rumahku kaget bukan
kepalang, bagaimana bisa hewan ini berubah warna. Setahu kami ia adalah kucing
dan bukan bunglon. Yakin kok, bukan bunglon. Tapi, sungguh, ia pulang dan jadi
abu-abu. Lalu ditemukanlah alasannya, si Kuning baru saja berguling-guling di
abu bekas pembakaran sampah. Ibuku marah dan tidak mengijinkan si Kuning masuk
rumah. (Mungkin) Ia sedih, lalu berjalan meninggalkan rumah. Selama seminggu ia
tidak kembali. Aku sudah sempat kesal pada ibuku, gara-gara dimarahi, si Kuning
jadi tak mau pulang. Baru saja aku mulai belajar mengikhlaskan kemungkinan si
Kuning tidak kembali, ternyata ia pulang. Sudah berwarna kuning lagi. Seisi
rumah menyambutnya dengan gembira. Kucing yang hilang telah pulang. Demikian seterusnya,
jika ia sedang dalam keadaan sangat kotor atau sakit, ia tidak akan ada di
rumahku. Nanti setelah ia bersih atau sembuh, ia akan kembali bergulung di
rumah. Menyenangkan sekali.
Nah, sekarang kucing kelima. Ia sudah sempat kusebutkan di
cerita sebelumnya. Ialah anak si Hitam yang sempat bertahan namun, akhirnya
dipindahkan oleh bapakku. Dia istimewa sebab namanya bukan berdasarkan warna
bulunya. Ia bernama Epan, singkatan dari Ekor Panjang. Ceritanya, ketika si
Hitam beranak lima, tiga di antaranya
mati. Dua yang bertahan berwarna hitam dengan beberapa bercak putih di daerah
perut dan kaki. Karena mereka mirip, cara membedakannya adalah dengan mengenali
ukuran ekornya. Yang berekor panjang bernama Epan dan yang berekor pendek
bernama Epen. Pada awalnya, Epen lahir dan bertahan dengan sehat walafiat. Si
Epan malah sempat kritis dan hampir tidak bisa bertahan setelah dilahirkan. Lucunya,
ketika mereka lahir, ibuku sudah cerewet mewanti-wanti supaya setelah mereka
bisa berjalan aku harus memindahkan mereka dari rumah. Aku pura-pura tidak dengar. Akan tetapi, ternyata
si Epen malah jatuh sakit. Ketika si Epan mulai bisa melompati selokan kecil,
si Epen selalu terlihat tak bersemangat dan tidak menemani si Epan bermain. Ia
sampai berhenti menyusu pada induknya. Suatu hari ketika si Epen benar-benar
tidak sanggup berdiri lama, ibuku tiba-tiba menyuruhku membuatkan susu putih
hangat. Ternyata…dengan sendok kecil ibuku menyuapkan susu itu ke mulut
si Epen. Katanya biar ia bisa bertenaga lagi. Aku terharu sih, tapi agak lucu juga jika mengingat ibuku selalu menyuruhku
membuang mereka. Sayangnya, Epen tak bisa bertahan. Maka, tinggal si Epanlah
yang menjadi anak kucing tunggal yang sangat menyenangkan. Tapi, memang iya, ia
agak nakal, suka buang kotoran di sembarang tempat di rumah.
Beberapa minggu tutup kuping atas perintah memindahkannya,
ibuku sudah tak tahan. Suatu hari, aku menitipkan pada bapakku seberkas tulisan
untuk dikirimkan ke sebuah kompetisi. Siangnya, sepulang aku dari sekolah,
bapak dan ibuku belum ada yang sampai di rumah. Adikku membocorkan rahasia yang
juga pasti menyakitkan hatinya (itulah sebabnya ia melaporkannya padaku). Si
Epan juga turut diboyong ke kantor pos oleh bapakku. Terjawablah sudah mengapa
si Epan tak menyambutku pulang di depan rumah seperti biasanya. Aku diam saja.
Sore harinya, bapak dan ibuku minum teh di rumah. Tanpa rasa bersalah, ibuku
bertanya, “Si Epan mana? Tumben nggak
pecicilan.” Aku diam saja, pokoknya aku mogok bicara tentang Epan. Aku kesal
sekali dibohongi seperti itu, jadi aku beranjak mandi dan menangis lama sebelum
akhirnya aku mandi sungguhan. Sesudah makan malam barulah bapakku mengaku
dengan intonasi bicara yang sangat lembut. “Tenang saja, tadi sepertinya si
Epan melangkah menuju rumah makan. Dia pasti nggak akan kelaparan.” Bapakku memang suka bercanda tapi, kali ini
tidak terasa lucu sama sekali. Aku masih mangkel.
Namun, setelah beberapa hari aku tidak ngambek
lagi. Kuikhlaskan si Epan dan tetap menyayang si Hitam seraya berharap suatu
hari ia akan beranak lagi.
Selain lima kucing bersejarah di atas, pernah ada si Mbah,
si Mbah Buyut, si Belang, Maesaroh, dan banyak kucing lainnya yang tak bernama.
Memang banyak yang bilang kucing itu hewan yang menyebalkan dan suka mencuri
tapi, buatku kucing punya satu hal menyenangkan. Kucing tak menolak disayang. Aku sangat menikmati melihat kucing
memejamkan matanya dan menggosok-gosokkan bagian tubuhnya ketika aku mengelus
bagian atas dan bawah kepalanya, atau perutnya. Itulah intinya, kucing tak
menolak disayang.
Menurut ramalanku, kucing selanjutnya adalah "se-ekor" manusia. Ia akan senang menyambutmu datang pulang kerja dan lebih piawai memijit dan menggaruk , ketimbang si hitam. Ia juga sanggup mendengar keluh kesahmu dan kenyinyiranmu dengan orang lain. Ia akan dengan sabar menasehatimu lantaran sikap sinismu dengan orang yang belum kamu kenal. Tapi, ia juga punya pamrihnya sendiri, yakni selalu menggelayut manja bila malam terasa dingin.
BalasHapusSuatu ketika, kau akan menamainya: suami. Tanpa "seekor" lagi. Sebab, kau begitu menyayanginya. Meski awalnya dia sempat jadi korban sinismu.
amin amin amin amin amin amin....hahahahahaha! kok bisa dia jadi korban sinisku??
HapusBisalah te. kamu kan galak.
BalasHapusgalak kalo sama kamu itu dibenarkan. tapi kalo buat yang lain mah aku nggak pernah galak. aku lembut hati.
Hapus