Waisak Punya Cerita
Akhir
pekan lalu bertepatan dengan hari raya Waisak, saya mengunjungi Borobudur. Lima
orang lainnya turut menyertai perjalanan yang terasa ‘penuh’ dengan sebuah
mobil sedan. Yah, hidup mati sama-samalah. Hal yang membuat saya tertarik untuk
datang ke sana sebenarnya adalah ritual perjalanan dari candi Mendut, ke Pawon,
dan terakhir ke Borobudur. Apa daya, karena kondisi kesehatan yang kurang
memadai, saya harus berpuas diri dengan cukup mengunjungi perhentian terakhir
ritual perjalanan tersebut.
Bukan
main ramainya jalanan menuju Borobudur. Dengan segala usaha, kami berhasil tiba
di sana. Hujan rintik kami tembus seraya berjalan kaki menuju candi. Sepanjang
jalan itu, saya bergumam dalam hati, “Yungalah, banyak sekali orang yang mau
menonton ritual hari raya ini.” Ketika akan memasuki gerbang candi, saya sempat
terhimpit kerumunan orang yang tetap saling dorong meski sudah dibentak-bentak
oleh Satpol PP. Saya sempat khawatir, jangan-jangan ini acara konser grup band
kondang di Borobudur. Setibanya di dalam kompleks candi, hujannya makin deras.
Orang-orang berteduh di sejumlah tenda yang entah fungsinya apa (karena di
hari-hari biasa tenda macam itu tak pernah ada). Namun, banyak pula yang tak
gentar diguyur hujan demi melihat entah apa. Saya makin khawatir, jangan-jangan
benar ini konser musik grup band kondang.
Tadinya
kami memang hanya mengikuti arus pejalan kaki, tetapi akhirnya kami kebingungan
sendiri sebenarnya orang-orang ini mau ke mana. Beruntung kami membawa seorang
teman yang seharusnya ikut merayakan Waisak namun ia merayakannya dengan
caranya sendiri. Ialah yang menuntun kami mencari jalan ke lokasi ibadah
dilaksanakan. Lagi-lagi, saya membatin, “Yungalah, Idul Fitri, Natal, maupun
Nyepi tidak pernah disaksikan oleh begini banyak orang yang tidak merayakannya.
Ada apakah gerayangan dengan Waisak?” Salah seorang teman saya yang beragama
Buddha yang juga ikut perjalanan ini malam sebelumnya sudah sempat membahasnya.
“Mungkin dikira eksotis. Ada banyak botak-botak berjubah yang sedang berdoa,”
demikian ujarnya. Bentuk orang-orang ini macam-macam. Ada yang cantik dan
tampan, ada yang kelihatan seperti fotografer, banyak pasangan kekasih, ada
yang lusuh dan basah kuyup (kami ada di antaranya), dan lain macamnya.
Saya
lantas teringat komentar seorang teman semalam sebelum kami berangkat, “Itu
perayaan Waisak kapitalis.” Entah apa persisnya yang ia maksudkan mungkin saya
belum paham, namun ia memang menyarankan kami untuk melihat dan mengalami
sendiri ketimbang termakan pendapatnya. Setelah melihat kondisi di Borobudur,
saya dapat pemahaman sedikit. Tiba-tiba saya merasa kasihan pada orang-orang
yang beribadah di sana. Jadi semacam tontonan. Entah apa yang sebenarnya
ditonton. Saya sendiri membayangkan jika saya ada dalam kondisi seperti itu,
pasti merasa sangat terganggu. Ingin beribadah, namun tempat itu jadi sangat
riuh, sesak oleh orang-orang yang mungkin tidak berkepentingan. Susah juga ya.
Saya kembali membatin, “Sepertinya tahun depan saya tidak perlu kemari lagi.”
Seraya
hujan terus mengguyur, sejumlah umat Buddha masih meneruskan ibadah mereka.
Saya bersyukur dalam hati bahwa hujan turun malam itu. Jika saja tidak hujan,
mungkin situasinya akan jauh lebih berisik dan orang-orang yang beribadah akan
makin tidak khusyuk. Teman saya yang berguna tadi sesekali menjelaskan ritual
dan doa yang sedang dilakukan di sana. Menjelang akhir doa, (semacam) pembawa
acara mengumumkan sesuatu lewat pengeras suara. Ia meminta supaya orang-orang
tidak naik ke panggung karena doa masih berlangsung. Saya menoleh ke arah
panggung dan menyaksikan sejumlah panitia membuat barikade dan bersusah payah
memblokir rombongan penonton. “Kok ini jadi benar-benar seperti konser musik?”
ujar saya dalam hati. Makin tak tega saya membayangkan perasaan para peserta
ibadah.
Sejak beberapa
tahun terakhir, perayaan Waisak di Borobudur memang diimbuhi dengan pelepasan
seribu lampion. Sejumlah foto yang beredar tentang peristiwa itu memang
terlihat sangat indah dan romantis. Tahun ini pun direncanakan demikian. Para
peserta ibadah baru saja memulai ritual Pradaksina, memutari dan mendaki
bangunan candi seraya berdoa. Semacam pembawa acara itu tadi kembali
mengumumkan sesuatu lewat pengeras suaranya. Bunyinya kira-kira bahwa jika
dalam waktu setengah jam ke depan hujan tidak reda, dengan sangat terpaksa
pelepasan lampion dibatalkan. Sejurus kemudian, terdengar koor, “Huuuu…” dari
sebagian pesar penonton. Saya dan teman-teman menimpali dengan tawa geli. “Kana bubar kabeh kana, lampion e ra sido. Do
bali wae ndang,” begitu kata seorang teman. Benar saja, kerumunan orang di
sekitar kami tiba-tiba menipis. Tak lama, segerombol anak muda melewati kami
dan tertangkap kalimat, “Uh, kita di-PHP-in.” dari tengah-tengah mereka. PHP
adalah singkatan dari ‘Pemberi Harapan Palsu’ yang sedang marak disuarakan.
Kami tergelak makin semangat. Ooouu…ternyata…
Kami
menunggu sampai ritual Pradaksina selesai baru akhirnya beranjak meninggalkan
kompleks candi. Sayangnya ritual itu
tidak dapat diselesaikan seperti biasanya hingga puncak tingkat bangunan candi
sebab hujan mengguyur cukup deras. Kami menyudahi perjalanan itu menjelang dini
hari.
Sehari
sesudahnya, muncul sejumlah hujatan dan kritik atas perilaku para penonton perayaan
Waisak di Borobudur. Sebagian besar ditujukan untuk para fotografer, atau sebut
saja orang-orang yang membawa kamera dan mengambil gambar. Ada sebuah foto
beredar lewat jejaring sosial yang memuat gambar seorang fotografer menaiki salah
satu stupa candi untuk memotret seorang biksu yang sedang berdoa. Jelas sudah
tertulis di peraturan bahwa bangunan candi tidak boleh diduduki atau dipanjat.
Caci maki ramai menimpali foto itu. Sedih juga mendengarnya.
Saya
merasa menjadi salah seorang yang kemarin juga turut menyesaki lokasi ibadah. Yah,
untuk pengalaman dan belajar dari sana. Mungkin tahun berikutnya saya memilih
untuk tidak ke sana lagi. Saya merasa lebih baik candi itu menjadi lokasi
ibadah yang tenang dan khidmat bagi para peserta ibadahnya. Mudah-mudahan para
penonton kali berikutnya lebih berbesar hati untuk menghormati perayaan ini
sebagai sebuah upacara ibadah. Supaya semoga semua makhluk berbahagia, begitu
kata Buddha. J
purna Waisak, 27 Mei
2013
Komentar
Posting Komentar