Berlibur ke Rumah Nenek
Karangan Usai Liburan
Nama : Maria Puspitasari
Kelas : XVI A
No. Absen : 22
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Sebagai warga Negara Indonesia yang pernah mengemban
pendidikan di Sekolah Dasar, saya sangat terbiasa dengan kegiatan membuat
karangan seusai liburan. Tentulah banyak dari kita yang juga akrab dengannya. Biasanya,
ibu atau bapak guru akan meminta murid-muridnya untuk menuliskan cerita liburan
mereka.
Entah bagaimana asal-muasalnya, contoh karangan seusai
liburan yang dicantumkan di buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar
pada masa itu berkisah tentang seorang anak yang berlibur ke rumah nenek. Di sekitar
rumah neneknya terhampar banyak sawah. Tak lupa dibubuhkan cerita perasaan hati
bahwa lingkungan sekitar rumah nenek adalah hal yang memberikan kesenangan. Cerita
senada tentang liburan juga muncul di lagu anak-anak berjudul “Paman Datang”. Demikian
sepenggal liriknya: “Padaku paman berjanji, mengajak libur di desa. Hatiku girang
tidak terperi. Terbayang sudah aku di sana, mandi di sungai, turun ke sawah,
menggiring kerbau ke kandang.” Desa, sungai, sawah, ternak, dan nenek adalah
kata kunci yang melekat erat pada kebiasaan bercerita tentang liburan.
Saya tahu persis bahwa tidak semua murid SD punya nenek yang
tinggal di desa dengan kondisi lingkungan demikian. Saya juga mengerti bahwa
banyak teman saya yang kala itu lebih sering berlibur ke ibukota negara,
mengunjungi taman bermain terkenal, dan berbelanja baju-baju bagus yang
distribusinya tidak sampai ke kota kami. Meski demikian, buku pelajaran Bahasa
Indonesia sudah terlanjur menanamkan gambar yang kuat di kepala kami bahwa
salah satu liburan menyenangkan adalah: berlibur ke rumah nenek dan melihat
sawah.
Saya adalah –dengan subyektif saya berani bilang– salah
seorang murid SD yang beruntung sebab dapat mengalami liburan seperti yang
diceritakan oleh bocah di buku pelajaran Bahasa Indonesia itu. Rumah nenek saya
memang berlokasi di desa yang jauh dari hal-hal yang dianggap sebagai
tanda-tanda modernitas pada umumnya. Jika saya mengunjungi desa nenek, saya
memang menemui hamparan sawah. Setiap hari saya menyaksikan warga sekitar
menggiring ternak, pagi ke ladang, sore ke kandang. Murid-murid berangkat sekolah
mengendarai sepeda. Pak tani dan ibu
tani juga mengendarai sepeda menuju sawah, kadang-kadang sambil memanggul
pacul. Sedemikian miripnya desa nenek saya dan desa si bocah di buku Bahasa
Indonesia membuat saya merasa sedikit bangga saat itu.
Demi menemui desa impian sebagian murid SD di Indonesia itu,
saya dan keluarga harus menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 600 kilometer. Bapak
saya selalu jadi orang yang terjaga paling lama sepanjang perjalanan karena
ialah yang menyupir. Saya bisa tidur kapan saja, terutama ketika kepala mulai
berputar dan perut mual karena jalan yang berliku-liku. Setibanya di rumah
nenek, lelah saya selalu tergantikan oleh perasaan bahagia yang meluap-luap
karena rindu akan rumahnya nenek dan segala atributnya itu terobati. Saya selalu
sudah siap makan ketupat dan opor natal, memetik rambutan dan salak, berburu
nanas, naik sepeda ontel, memberi makan ayam, dan menjerang air dengan tungku.
Nah, pengalaman berlibur ke rumah nenek setelah umur saya
beranjak lebih banyak ketimbang siswa SD ternyata memberikan kesan lain. Saya mulai
menyadari seberapa luas lahan milik kakek dan nenek saya itu yang menampung
bangunan rumah, kandang sapi, kandang ayam, pelataran untuk menjemur padi,
lumbung, kolam ikan, kebun salak, dan halaman depan yang ditumbuhi rambutan dan
nanas. Pikir saya dalam hati, kakek dan nenek saya ini ternyata kaya raya. Bagaimana
tidak, saya pusing menghitung nilai beli tanah seluas itu pada masa sekarang. Tidak
mungkin keluarga kami mampu membeli lahan semacam itu saat ini. Sementara kakek
dan nenek saya dulu mendapatkannya dengan cuma-cuma sebagai fasilitas bagi transmigran.
Namun, pada kenyataannya kakek dan nenek saya tidak pernah kaya raya. Cerita masa
kecil ibu saya dan saudara-saudaranya berkutat soal perjuangan mereka untuk
hidup nyaman. Nah lho…
Masih ada banyak sawah di desa ini. Saya begitu gemar
melemparkan pandang ke sisi-sisi jalan untuk menikmati jarak pandang yang
jauuuuh sekali yang dimungkinkan oleh sawah-sawah ini sebab di perkotaan
pandangan saya selalu mentok membentur tembok. Klise memang kegembiraan saya
berkunjung ke rumah nenek ini. Tapi, kesempatan bersinggungan dengan kemajuan
teknologi dan pembangunan di daerah tempat saya belajar membuat sejumlah hal
jadi terasa sulit ketika berlibur di desa. Saya memperhatikan bagaimana anggota
keluarga saya mulai garuk-garuk kepala yang tidak gatal jika sinyal HSDPA
memburuk, mengumpat kecil jika rumah nenek kena giliran pemadaman listrik,
memaki jauhnya jarak menuju sarana hiburan belanja, mengambek karena bau
kotoran babi yang tak hilang seharian, serta meratap ketika ban mobil harus
kena becek tanah setiap kali hujan. Padahal dulu kami semua kalem.
Makin banyak tahu, makin frustasi. Ketika masih kecil,
perjalanan ke rumah nenek adalah hal yang menyebalkan buatku. Jarak tempuh yang
jauh, medan yang berliku-liku, jurang dan tebing yang mengerikan, dan hutan
lindung sepanjang jalan adalah alasanku untuk tidur sepanjang hari di mobil. Tapi
sejak sering begadang baik dengan terpaksa maupun sukarela selama masa kuliah,
tidur tidak lagi jadi hal gampang buat saya. Saya tidak kunjung tertidur selama
perjalanan ke rumah nenek yang lalu. Alhasil, saya harus menghadapi semua hal
yang selama belasan tahun saya hindari itu. Nah, di perjalanan itu saya
menyaksikan ibu saya sebagai penumpang dan abang saya sebagai supir tertekan. Kondisi
sebagian jalan lintas Sumatera: tidak layak guna. Lelah berserapah, kami
bertiga berdiskusi. Penduduk Sumatera beruntung masih bisa menikmati barang-barang
yang didistribusikan dari Pulau Jawa lewat jalur darat dalam kondisi jalan
utama yang demikian parah karena prioritas pembangunan yang terbalik.
Sekarang saya sadar bahwa karangan usai liburan yang saya
tulis setelah saya menyelesaikan kuliah berbeda sekali nadanya dengan karangan
usai liburan SD dahulu. Tidak ada keceriaan meriah. Saya mulai mengenal rasa
lelah. Meski demikian, bukan berarti saya tidak gembira. Tentu saja saya
berbahagia bisa kembali berlibur ke rumah nenek. Kegembiraan ini berwujud
syukur saya atas rehat hangat yang dengan rela saya bayar dengan beberapa waktu
tanpa menyentuh internet. Jelasnya, saya bangga masih bisa bercerita tentang
berlibur ke rumah nenek di desa yang seperti dalam buku pelajaran Bahasa
Indonesia. :)
Komentar
Posting Komentar