Mati Rasa

Apakah bertambahnya usia sungguh membuat manusia mati rasa?

Sudah Januari lagi. Sudah jalan setengah bulan pula. Ini Januari pertama yang mengajakku pulang ke Yogyakarta lebih awal dari biasanya. Tanggung jawablah yang membawaku kembali. Aku berusaha tidak menggerutu dengan terus menjejali pikiranku dengan keyakinan bahwa Januari panjang di Yogyakarta ini akan menarik.

Aku memeluk ibu dan bersalaman dengan abang, lantas berlalu. Seperti biasa, aku menghindari drama yang beresiko membuatku enggan berangkat. Kubuat kebas perasaanku. Aku membiarkan diriku tidur selama perjalanan dan turun dari pesawat tanpa berbenah diri. Ah, mau memikat siapa memangnya? Itulah alasan untuk menguncir rambut sekenanya dan berjalan tanpa menatap orang-orang. Aku baru tersenyum ketika melempar pandang ke deretan orang yang menjemput penumpang penerbangan dan menemukan kekasihku di antaranya. Kami pulang.

Aku menemukan kamar tempat tinggalku dalam keadaan bersih dan rapi, padahal aku meninggalkannya dalam keadaan berantakan dan jorok karena kegiatan dan demam yang menjepit. Laki-laki yang mengantarku pulang inilah biang keladinya. Berbekal kunci kamar yang kutitipkan padanya, ia menyapu lantai, membersihkan sarang laba-laba, merapikan tumpukan sampahku, dan mengganti sprei. Aku hanya bisa menanggapi dengan, “Kamu curang.” Ia tertawa kecil.

Seusai makan malam, kepalaku mulai berdenyut menyebalkan. Ini masih sore, pikirku geram. Kami akhirnya sepakat untuk singgah di rumah kontrakan teman-teman agar bisa beristirahat sejenak dengan bertemu mereka. Sakit kepala itu membuatku malas dan menggeletak di hadapan televisi. Makin lama, rumah itu makin ramai. Satu per satu teman yang lain datang. Ada apa, aku juga tak tahu. Ke sana kemari kami mengobrol hingga akhirnya sampai pada topik Vicky Prasetyo (aku yakin topik ini tidak direncanakan). Tiba-tiba mereka bersahut-sahutan, “22 my age.” Tanpa prasangka aku mengoreksi, “29 my age, ya.” Mereka tidak berhenti bersahutan. Aku tidak peduli dan tetap menatap televisi.

Aku dipaksa bangun. Menoleh. Tersenyum malu. Hanya demikian. Laki-laki pembersih kamar kost itu menyodorkan kue ulang tahun dengan lilin bernyala. Mereka memintaku membuat permintaan dalam hati. Aku tiup saja lilin itu. Permintaannya tidak sempat kubuat. Mereka menungguku memberikan potongan pertama kue itu. Dengan yakin aku melahap sendiri potongan pertama. Seseorang nyeletuk, “Kowe ki pancen ra seru (Kamu ini memang tidak seru).”

21 hari ulang tahun lainnya sebelum ini selalu kujalani dengan kondisi benak tidak henti mendaraskan, “Ini tanggal 3. Besok sudah tanggal 4, tidak lagi istimewa. Habiskan baik-baik.” Pikiran itu masih lewat terus-menerus di kepalaku di tanggal 3 Januari tahun ini sembari aku memberadabkan tempat tinggal yang aku tinggalkan dua minggu. Lalu aku tidur. Lalu aku dijemput pacarku untuk main ke kampus lain. Lalu sudah.

Aku jadi takut. Rasanya beda. Iya, aku tetap bahagia. Tapi, ya…ada yang tidak ada. Semua jadi kebas rasanya. Aku rindu menjerit, terbahak, menangis sampai sesenggukan, melompat, berlari menghindari tangkapan, basah kuyup kehujanan, gemas, deg-degan, jatuh cinta, menghampiri penjual es krim lalu girang, duduk mengobrol sore, dan… dan…. Aku sampai lupa. Aku rindu punya rasa dan berani merasakannya. Aku harap ini bukan karena bertambahnya usia.

Sepertinya sudah waktunya membuang gengsi. Aku akan menghampirimu lagi, rasa.




menjawab pertanyaan lagi dengan tetap berbahagia

Komentar

  1. maaf belum bisa membawa yang spesial...

    BalasHapus
  2. Hey, ini bukan tentang ulang tahun. Ini tentang perasaan yang kebas. Terima kasih karena ceritamu atas tulisan ini. Terima kasih sudah mengajakku bisa 'merasa' lagi. :')

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer