Ordinary and Safe
“Rosemary : What’s the matter by being ordinary and
safe?” –Doris Lessing
Saya
petikkan kalimat itu dari sebuah naskah drama yang ditulis oleh Doris Lessing
berjudul Each His Own Wilderness. Doris
Lessing ialah seorang penulis asal Inggris yang cukup kondang. Saya sedang
menonton gladi sebuah pentas drama yang dibuat teman-teman sebagai ujian akhir
mata kuliah Staged Performance ketika
kalimat itu saya dengar. Saya terkikik dalam hati.
Dalam
naskah itu, kalimat tokoh Rosemary di atas disebutkan setelah terjadi sebuah
konflik antara dirinya, Tony Bolton (seorang pemuda yang baru saja menghabiskan
masa wajib militernya), dan Myra Bolton (ibu Tony, seorang aktivis dan
demonstran yang flamboyan). Myra menentang Rosemary dan Tony yang menganggap
tindakan Myra turun ke jalan untuk demonstrasi itu omong kosong. Salah satu
adegan sebelumnya menampilkan Tony yang dengan sinis menyindir ibunya yang
melakukan aksi massa untuk memperjuangkan pengentasan kemiskinan dengan
bertanya, “Have you seen the poverty? I
mean, the real one.” Dalam Bahasa Indonesia kurang lebih berbunyi,
“Pernahkah Ibu melihat kemiskinan? Yang nyata.” Ibunya hanya diam. Jelas saja
Tony bertanya demikian, ibunya hendak berangkat ke demonstrasi dengan
mengenakan seperangkat busana mewah dan rapi.
Di
bagian akhir drama, Myra begitu marah dengan pilihan Tony dan dukungan Rosemary
untuk berdiam diri saja di rumah mengurusi kehidupan mereka supaya tenang. Myra
menuduh mereka ingin menikmati revolusi yang diperjuangkan orang-orang di luar
sana, namun dari tempat yang aman. Itulah alasan Rosemary mempertanyakan
mengapa rupanya jika hidup aman dan biasa-biasa saja.
Nah,
ingatan tentang drama ini membawa saya pada kondisi yang tengah saya pikirkan
sekarang. Pernahkah kamu merasa kebingungan ketika harus mengambil keputusan
untuk menyudahi atau mempertahankan sesuatu? Kondisinya, hal itu sudah patut
disudahi karena tidak lagi memberikan manfaat apa pun. Jika dipertahankan,
hanya akan ada segelintir orang yang harus mati-matian memelihara kehidupannya
yang sudah hampir tanpa napas. Dalam kekalutan itu tetap ada usaha untuk
berpikir jernih, yakni dengan memerinci hal-hal yang akan jadi bahan
pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Jika
berusaha jadi optimis, bisa jadi keputusan untuk mempertahankanlah yang diambil.
Mungkin keputusan ini juga akan dibela dengan keyakinan bahwa manusia itu
berubah. Sayang sekali jika ternyata kesempatan untuk berubah dan memperbaiki
keadaan itu malah ditutup. Romantisisme masa lalu juga jadi halangan yang cukup
berat untuk menyudahinya. Kebanggaan atas kemenangan dan kejayaan tidak akan
dengan mudah lepas dari ingatan. Belum lagi jika itu semua dicapai lewat
berbagai kekalahan, lelah, sakit, dan cerita-cerita sumbang dari orang-orang.
Dramatis. Setelah semuanya itu, bagaimana mungkin bisa disudahi begitu saja?
Selain itu semua, tidak ketinggalan pula cita-cita luhur dan mulia (jangan
sebut ini gombal karena memang ada yang dengan tulus berpikir demikian) untuk
berusaha jadi berguna buat kehidupan orang lain. Benar-benar tega menyudahinya?
Nah,
ternyata semua alasan untuk mempertahankan itu adalah juga alasan untuk
menyudahi. Iya, manusia memang berubah. Berubah jadi apa dan bagaimana, tidak
ada yang bisa memastikan bukan? Kalau
kondisinya sudah begini buruk, adakah yang dapat menjamin bahwa manusia tidak
akan justru jadi lebih buruk lagi? Masa lalu yang romantis itu juga adalah
bayang-bayang yang malah menguntit dan membuat manusianya ketakutan sendiri.
Segala macam dramatisasi cerita lampau itu hanyalah tanggungan yang dijamin berat
untuk dipanggul. Itu kan masa lalu, coba saja rasakan kondisinya sekarang. Bisa
apa? Tentang cita-cita mulia itu, keinginan muluk yang tidak perlu
dibesar-besarkan. Lebih baik disudahi, bukan?
Pikiran
macam itulah yang berseliweran di otak saya tiap kali saya berusaha mengambil
sikap atas kondisi ini. Itu belum
semua, masih ada beberapa pendapat dari orang lain yang saling bertentangan.
Ada yang bilang bahwa satu-satunya cara menuntaskan kebobrokan ini adalah
dengan menghancurkan bentuknya sekarang. Sehabis-habisnya. Jangan ada sisanya.
Biar nanti dimulai lagi dari awal tanpa dendam dan pengaruh masa lalunya. Tapi
pikir saya, apa iya tidak akan ada sisanya? Memangnya ada hal yang tidak dapat
pengaruh dari mana pun? Pendapat lainnya menuturkan kekhawatiran yang lebih
mengerikan: jika ini disudahi, siapa yang mau memulai lagi? Tapi pikir saya,
bukankah demikian siklusnya: sesuatu yang dimulai suatu saat akan berakhir,
maka sesuatu yang baru dapat dimulai lagi.
Sampai di titik ini, saya
teringat pada kalimat yang diucapkan Rosemary dalam drama yang saya jabarkan
singkat di awal. Banyak manusia yang mendambakan kehidupan yang aman dan
tenang. Ordinary and safe. Mereka
mungkin ingin hidup dengan alur yang biasa-biasa saja tanpa perlu terlalu
banyak mempertaruhkan batang leher mereka untuk dapat makan hari ini. Hidup
bersisian dengan mereka sebagian lainnya yang terus bergejolak dan berontak.
Orang-orang ini menilai bahwa keadaan saat ini parah dan busuk sehingga perlu
dilakukan perubahan besar-besaran supaya semua manusia bisa hidup sejahtera. Di
antara mereka juga tumbuh orang-orang yang percaya pada keniscayaan. Niscaya
semua hal (yang dianggap) buruk itu akan terjadi sebagai suksesi. Maka, niscaya
akan lahir hal lain yang bisa jadi lebih baik.
Apa
urusannya semua ini dengan kondisi membingungkan yang saya alami tadi? Saya
sepakat dengan keniscayaan macam itu, bahwa kadang memang dibutuhkan kehancuran
untuk memulai lagi sesuatu yang baru. Tapi, hal itu tidak akan pernah dengan
serta merta terjadi tanpa campur tangan siapa pun, apa pun. Saya tidak masalah
dengan pilihan untuk hidup ordinary and
safe seperti yang diinginkan Rosemary dan Tony. Wajarlah jika manusia
menginginkan itu mengingat sudah begini berat hal-hal yang harus mereka hadapi
setiap harinya untuk tetap bertahan hidup. Sementara itu, saya juga belajar
banyak dari mereka yang memilih mengusik sedikit (atau banyak) hidup mereka
yang memang tidak pernah baik-baik saja untuk memperjuangkan sedikit (atau
banyak) kesempatan untuk menghidupi sesuatu yang lebih baik. Jika tidak ada
yang berani melakukannya, entah bagaimana sebagian manusia akan menjalani hidup
yang manusiawi. Inilah yang membuat saya percaya bahwa keniscayaan yang saya
sebutkan tadi tidaklah akan dapat terjadi apabila tidak ada manusia yang
bergerak. Tidak ada manusia yang menghancurkan. Tidak ada manusia yang
membangun kembali.
Saya
percaya bahwa setiap manusia selalu punya kegelisahan yang baik disadari maupun
tidak menggerakkan manusia itu untuk terus bergerak dan mencari. Saya tidak meragukan
itu sama sekali. Jika demikian, mengapa saya begitu lamban dalam mengambil
pilihan menyudahi atau mempertahankan? Bukankah pada akhirnya siapa pun yang
menjalaninya akan turut merasa gelisah? Nah, inilah bagian yang selalu membuat
saya berhenti karena benar-benar kehabisan keberanian. Iya, saya memang percaya
bahwa kegelisahan itu selalu menghinggapi masing-masing manusia. Namun, hal
yang membuat saya tidak berani taruhan adalah kemauan dan keberanian manusianya
untuk menjawab kegelisahan itu. Siapa yang bisa menjamin hal semacam itu?
Inilah
kekhawatiran yang saya pikirkan dalam hidup semacam ordinary and safe. Situasi tenang dan aman bisa jadi membuat
manusia enggan untuk bergerak lagi. Manusia khawatir akan capek, jatuh,
tersandung akar pohon, terbentur meja, kejatuhan tangga, lecet dan tergores,
kehujanan, serta lainnya jika harus keluar lagi dari rumah yang tenang dan
nyaman. Nah, apa jadinya jika ternyata kegelisahan dan jawabannya itu berada di
luar rumah? Beranikah manusianya mengambil semua resiko sakit dan terluka itu
deminya?
Sesuatu
yang hanya terus-menerus membuntuti masa lalunya yang jaya tapi tak bisa
berdamai secara rasional dengan kondisinya saat ini yang sudah tidak lagi sehat
pastilah melelahkan untuk dihadapi. Ia sibuk bicara tentang masa lalu dan tidak
mudah baginya untuk mendengarkan suara zamannya kini. Jelas saja banyak yang
menganjurkan untuk menyingkirkan hal macam itu. Namun, tidak bisa dipungkiri
bahwa sejarah hidupnya itu memberi pelajaran bagi mereka yang mengenalnya. Ketika
inilah segelintir dari teman lama itu merasa berat hati jika harus merelakan ia
diistirahatkan. Orang-orang ini keberatan bukan karena sirnanya jasad,
melainkan hilangnya semangat. Mereka akan tetap bergairah menantikan sesuatu
yang baru. Adakah yang mau dan berani memulainya?
Rosemary
dan Tony dalam drama Each His Own
Wilderness mungkin jengah dengan hiruk pikuk peperangan dan demonstrasi
yang memenuhi hidup mereka setiap hari. Ditambah lagi mereka kecewa pada Myra
yang terlibat dalam itu semua tapi sungguh tidak tahu apa-apa pada
kenyataannya. Ya, terlibat tapi
tidak tahu apa-apa. Lalu buat apa? Atau mungkin Myra memang tidak pernah ingin
tahu apa-apa karena ia merasa hidupnya berkecukupan dan memungkinkan ia untuk
jadi demonstran tanpa harus ikut jadi miskin? Lantas, siapa sebenarnya
yang hidup ordinary and safe ?
Tidakkah Myra juga merasa aman dengan kondisinya saat itu ?
Jadi,
begitulah. Tulisan ini adalah jawaban saya untuk pertanyaan Rosemary. Masih
adakah keberanian manusia untuk menjawab kegelisahannya? That is the matter by being ordinary and safe.
sangat kontekstual
meski tidak disebutkan konteksnya
Jogja, penghujung bulan kesayangan
Jogja, penghujung bulan kesayangan
Komentar
Posting Komentar