Meragukan Pilihan

"…bagaimana akhir dari suatu keraguan, orang akan menjadi kurban. Kalau orang toh jadi kurban, jadilah setelah menaklukkan keraguan sendiri.”


yeah, ini kata Pramoedya Ananta Toer. Saya mengutipnya dalam euforia telah menyelesaikan buku ketiga tetralogi pulau buru. Akhirnya, setelah berbulan-bulan…
Beberapa hari yang lalu seorang sahabat lama mengungkapkan suatu hal pada saya setelah sebelumnya ia mengumpulkan keberanian untuk mengatakan hal itu; hal yang diduganya akan membuat saya sakit hati. Nyatanya saya sama sekali tidak sakit hati mendengarnya, malah bersyukur karena saya mengerti betapa dia menyayangi saya sedemikian rupa sehingga tidak berani melakukan apa pun yang dapat menyakiti saya. =)

Dalam perbincangan itu, ia memaparkan sebuah prediksi hasil pemikirannya setelah memperhatikan gerak-gerik saya dari kota lain di mana ia tinggal. Isinya : saya pasti sedang dalam keadaan down dan belum mau bangkit dari kejatuhan itu. Menanggapi ini, saya juga kebingungan. Mungkin saya tidak merasakan suatu apa pun yang mengubah hidup saya belakangan ini, tapi saya tahu pandangan saya tidak sepenuhnya benar. Ia juga mengenal siapa saya, jadi sebuah hal yang wajar ketika ia mengenali bentuk-bentuk transformasi kepribadian, meskipun kecil tapi kentara baginya. Untuk hal ini, saya benar-benar berterima kasih padanya. Dialah kontrol sosial saya. Tolong pernyataan ini jangan diprotes, karena memang benar itu adanya. Jika saya berlari berbelok menjauhi garis prinsip hidup saya, dengan segeranya dia akan menarik kerah baju saya untuk mengembalikan ke jalur yang sudah saya pilih. Bukan, saya tidak menyebutnya sebagai jalur yang benar. Benar dan salah itu relatif dan sangat subyektif. Dasar dari perbuatannya meluruskan langkah kaki saya adalah sepenuhnya menghindarkan saya dari inkonsistensi. Karena dia tahu saya benar-benar tidak menyukai hal itu dan berusaha keras menghindarinya, sekalipun pada kenyataannya sejauh ini saya masih sering menghidupi inkonsistensi tersebut…

Saya pikir inilah situasi di mana saya punya alasan untuk mengutuki tumbuh jadi dewasa. Oke memang akhirnya saya punya kebebasan untuk menentukan apa yang saya mau, tapi jalan hidup bukan hal sepele yang bisa dipilih dalam sekejap mata, dijalani, lalu jika nanti tidak cocok dapat dengan mudahnya ditinggalkan. Lalu pertanggungjawabannya bagaimana? Butuh bimbingan pastinya untuk akhirnya dapat memilih jalur yang sesuai (bagus belum tentu sesuai) dan menjalaninya dengan ikhlas dan konsisten. Lalu kaitannya dengan kutipan Pram tadi? Lha ini dia, kutipan ini menyusupi pikiran saya sehingga akhirnya saya menyadari inilah bentuk keraguan. Hidup di dua alam yang berbeda adalah hal yang ampun-ampunan sulitnya. Begitu banyak kepentingan yang harus dikedepankan, demikian pula banyaknya wajah yang harus dibuat tersenyum. Kemudian, pertanyaannya: bagaimana menentukan kepentingan siapa yang diletakkan paling depan; dan wajah siapa yang harus disunggingkan senyumnya terlebih dahulu? Kalau ini hanya masalah waktu, yakinkah saya bahwa nanti tidak akan terlambat untuk dia yang dinomorduakan dalam keputusan saya? Maaf kalau pernyataan barusan mengesankan bahwa hidup saya buat orang lain sepenuhnya. Hidup saya ya milik saya, bukan milik siapa-siapa. Tapi, berhubung saya pun hidup dari orang lain, saya merasa perlu mendedikasikan sebagian darinya untuk mereka yang telah membantu saya hidup itu.

Sayangnya, saya dulu tidak punya kesadaran untuk mengenali konsekuensi yang menyertai hidup yang saya pilih sekarang ini. Maaf, jangan disalahartikan sebagai penyesalan. Saya mencintai pilihan saya ini karena saya tahu ini membawa saya pada kemajuan dan peningkatan kualitas. Tapi, ternyata nilai-nilai di dalamnya berbenturan dengan riwayat hidup saya yang dimengerti orang-orang. Ragu-ragu? Ya, saya ragu. Ragu untuk menapakkan kaki ke depan padahal saya tidak punya waktu untuk lama-lama berhenti. Jadi saya memilih untuk berjalan pelan sambil berpikir pula, memikirkan tiap langkah yang telah saya jejakkan, supaya jika langkah itu salah saya tidak perlu terlalu jauh berbalik untuk menghapusnya. Tak lupa sambil berspekulasi menentukan jalur mana lagi untuk ditapaki. Pilihan hidup saya kali ini ternyata bukan jalan aman yang ditumbuhi bunga di tepinya dan selalu tersedia rambu untuk menuntun arah. Cukup banyak likuan dan simpang tanpa penunjuk yang akhirnya memaksa saya untuk sepenuhnya menyerahkan keputusan ini pada rasio dan nurani sendiri. Belum lagi kerikil tajam sepanjang jalan dan kawat duri yang membatasi kebebasan saya. Gawat sekali jalan ini…

Mereka yang selama ini menuntun saya pun perlahan telah menyadari bahwa jalan pilihan saya ini agak berat dan beresiko. Puji Tuhan, mereka masih konsekuen dengan tanggung jawabnya mengangkat saya jika saya jatuh, malah sering pula membersihkan lukanya. Akh…kalau sudah begini hati saya pasti luluh oleh emosi dan dengan segera mengucapkan janji untuk tidak jatuh lagi supaya mereka tidak lagi direpotkan. Di jalan ini saya berguru. Berguru pada siapa pun, pada apa pun, demi apa? Demi obyektifitas. Sudah kapok saya hanya mendengarkan satu orang guru lalu menutup telinga pada guru lainnya. Sudah kapok saya mengorbankan sekelompok orang demi bercengkerama dengan segelintir orang lainnya (walaupun memang harus selalu begitu kenyataannya). Hancurlah sudah kebanggaan saya yang dulu selalu terangkat ke permukaan setiap kali mengucapkan kalimat, “Jadilah diri sendiri.” Teman saya bilang, tidak ada ‘diri sendiri’. Seperti apa kita sekarang adalah hasil dari bentukan masyarakat dan lingkungan. Ada banyak orang kan di dalam lingkungan itu? Nah, kita meniru mereka dan menjadi produk hibrid yang terbentuk dari begitu banyak pengaruh. Jadi ketika kita menghidupi alam yang berbeda, kita pun akan menjadi pribadi yang berbeda pula.

Saya membuka hati seluas-luasnya untuk belajar. Saya berusaha menekan pemikiran bahwa saya sudah pintar dan mati-matian mengucapkan pengakuan tulus bahwa saya masih awam dan amatir. “Betapa mengharukan melihat dua orang, yang seperti bumi dan langit pendidikan dan asal kelahirannya itu, duduk berhadap-hadapan. Yang seorang mengajar, yang lain belajar.” Masih dalam rangka euforia tadi, saya kembali mengutip kata-kata Pram, harap maklum. Nah, pelajaran yang saya jalani ini memang menjanjikan sebuah utopia tapi, selama proses belajarnya saya harus siap menghadapi kekecewaan karena banyaknya white lies yang terbongkar. Pun mesti siap menjadi korban demi mencapai tujuan utopis itu. Tolong…saya tidak mau jadi seorang idealis tanpa perbuatan apa-apa.

Siapa tidak mau jadi seperti Soe Hok Gie? Seorang revolusioner yang pada akhirnya memang sanggup meninggalkan sesuatu yang berarti untuk bangsa ini. Sayang sekali, ia mati muda. Tak sempat dicecapnya popularitas dan puja-puji dari orang-orang yang bahkan kini memfilmkan hidup dan perjuangannya. Ia rebel. Ia mengambil resiko, mendedikasikan hidup sepenuhnya untuk mencapai tujuan utopisnya. Tapi, ia mati. Kalau seandainya saya memilih jalan seperti jalannya nanti, apakah saya akan mati muda juga? Ya kalau hasilnya dihargai seperti kontribusi Hok Gie sendiri, lha kalau saya tidak dikenal siapa-siapa bagaimana? Siapa yang akan bangga? Orang tua dan teman-teman saya pasti malah menangis dan menyesali kebodohan dan kenekatan saya. Hok Gie ini menurut saya representasi yang sesuai dengan kutipan Pram di awal. Ia jadi kurban setelah menaklukkan keraguannya sendiri. Salut! Tapi kan tidak semua orang adalah Pram. Pasti ada saja celetukan “Bodoh!” dan “Tolol!” untuk orang-orang seperti Hok Gie. Haduhhh….makin pusing jadinya saya!

Oh ya, lain lagi teman saya yang sekarang jadi salah satu teman seperjalanan. Ia menyatakan bahwa kami sedang memasuki zaman Rennaisance atau pencerahan di mana begitu banyak ilmu dapat ditimba. Saya sendiri tidak sepenuhnya setuju. Saya pikir ini adalah jalan menuju Rennaisance sekaligus Dark Age. Okelah, bukan dark…hmmm, blur age mungkin lebih tepat. Di mana segala hal terlihat kabur, semuanya abu-abu. Saya mulai meragukan banyak hal. Dalil-dalil dalam hidup saya sebelumnya harus kembali dibuktikan kebenarannya dengan teorema-teorema (sok matematis lagi, padahal nilai ujian matematika hanya 2,75) baru yang saya peroleh di jalan ini. Akh, rumit sekali…padahal saya memilih fakultas sastra salah satunya karena saya tidak mau berhadapan dengan kerumitan-kerumitan matematika. Atau yah…mungkin memang saya yang membuat sendiri kerumitan itu…sudahlah, saya benci jadi rumit (karena saya akhirnya harus bertanya pada teman saya untuk memastikan mana yang benar: membuktikan dalil dengan teorema atau membuktikan teorema dengan dalil, yah supaya tulisan bodoh ini tidak terlihat lebih memalukan).

Saya mau berusaha menyederhanakan kerumitan yang saya ciptakan sendiri itu. Hitung-hitung meringankan sedikit beban pikiran yang bercokol sekaligus menghindari kesan sombong dan sok-sokan. Haduh, hidup memang tak semudah kelihatannya…tapi memang indah. Hahahahahahahahahahahaha……
………..jangan dibantah, karena memang indah. Buktinya saya bisa tertawa lepas setiap hari karena bertemu dengan orang-orang gila masa SMP, SMA, dan kuliah yang saling menertawakan hidup satu sama lain. Tapi, justru orang-orang gila inilah yang mengajari saya banyak hal untuk tidak jadi gila sehingga dapat menikmati hidup ini… =)

Komentar

Postingan Populer