Gelisah

    Perubahan lingkungan sosial tempat aku tumbuh kini ternyata membawa begitu banyak perubahan padaku. Awalnya memang kaget (pun sampai saat ini aku masih kerap kali kaget) ketika dihadapkan dengan hal-hal yang selama ini bahkan tak pernah kupikirkan ada di dunia ini. Mataku seperti dibukakan dengan begitu lebar. Tiba-tiba aku mampu melihat menembus sekat-sekat atau tirai-tirai yang selama ini menyelubungi begitu banyak hal yang kini terungkap ini. Tidak, aku belum apa-apa. Aku hanya seorang anak kecil yang baru saja keluar dari kandangnya seraya membawa keinginan untuk menyaksikan dunia luar yang katanya atau semasa kecil kudengar begitu menarik dan bebas. Ini dia aku saat ini, berdiri di tengah besar dan liarnya dunia yang kuidam-idamkan untuk dijalani dulu. Pertanyaannya, masihkah aku benar-benar mengharapkan hidup di dunia seperti ini?    Berhadapan dengan dunia berserta isinya yang kini kutinggali, aku memang mengalami goncangan yang cukup besar ketika berjalan dalam proses penyesuaian diri yang cukup ekstrim. Tak pelak, keterkejutan ini membuatku lebih banyak diam dan mendengarkan ketimbang harus bicara namun tak bisa mempertanggung jawabkannya. Siapa aku selama ini hancur berantakan. Aku sadari sepenuhnya aku bukan siapa-siapa. Akan tetapi, aku mengerti bahwa ini adalah sebuah proses belajar. Seiring waktu berjalan, aku mencoba membuat diriku meletakkan “belajar” sebagai orientasi sekaligus jalan. Ya, aku bergerak maju sedikit demi sedikit.    Apa yang kualami malam ini adalah hal yang sangat tidak mengenakkan. Aku gelisah. Bukan gelisah yang hanya sekejap karena suatu hal yang insidental, melainkan gelisah yang telah cukup lama muncul di otakku tapi tak kuberi cukup tempat untuk dipikirkan lebih lanjut. Perasaan gelisah ini timbul karena suatu hal besar yang kurasa berada di luar jangkauanku. Kegelisahan ini memang tidak kemudian menyita waktu dan menghancurkan konsentrasiku dalam beraktivitas, hanya saja secuil demi secuil berusaha menjejalkan diri dalam keheningan malam atau ruang kecil untuk berdiskusi sejenak dengan teman-teman seperjuangan. Pengalaman berbincang dan menjalani aktivitas dengan teman-teman baruku membuka mataku pada hal-hal yang selama ini terabaikan olehku.    Obrolan di bawah keremangan pohon kamboja atau langit malam di salah satu pojok kecil kota ini perlahan membongkar satu per satu dari begitu banyak kejanggalan dalam hal-hal yang selama ini kuanggap lazim. Tak jarang, mimik wajah tercengang atau teriakan tak percaya muncul dari diriku setiap kali obrolan-obrolan insidental ini    berlangsung. Yah, awalnya memang sulit untuk menerima betapa banyak kebusukan yang bersembunyi di balik kehidupan yang selama ini kujalani. Meskipun aku ialah seorang konservatif yang sering kali harus dengan susah payah diyakinkan, namun pada akhirnya aku percaya bahwa hal itu ada. Tiap kali obrolan ini membahas panas kebobrokan sendi-sendi kehidupan, aku selalu merasa gelisah. Kebobrokan yang hidup dalam sebuah sistem yang juga merupakan bagian dari kehidupan seutuhnya. Kehidupan yang secara hampir menyeluruh telah terseragamkan sehingga antarbagian tersebut satu sama lain hampir selalu menghadapi persoalan yang sama.    Ya, aku gelisah. Pada awalnya aku berpikir bahwa kegelisahan ini hanyalah efek dari euforia ketika mata ini akhirnya terbuka pada setidaknya sedikit hal baru yang tengah kupelajari. Namun, lama kelamaan aku mencoba merefleksikan kegelisahan macam apa yang sebenarnya mengisi pikiranku ini. Ketika bicara tentang sebuah institusi kecil dalam hidup sehari-hari, kami menemukan kejanggalan. Kejanggalan ini ternyata dipicu oleh tekanan yang tak kelihatan dari dinamika sosial di luar institusi ini. Karena hal ini, kerap kali sebuah bentuk tudingan dan penyalahan atas suatu pihak tidak bisa sepenuhnya kami layangkan. Banyak pihak lain (baik dalam kuantitas besar maupun kecil) yang turut punya andil dalam kejanggalan ini. Pada akhirnya, penyalahan justru akan menyudutkan diri kami sendiri karena kami pun masih hidup dalam lingkaran sistem ini. Tapi, tidak lantas kemudian kegelisahan itu raib tak berbekas.    Inilah titiknya ketika aku menyadari kegelisahan macam apa ini. Aku geram (bahkan sangat geram) tiap kali ada kebobrokan lain yang diungkapkan. Geram pada mereka yang berkutat di dalamnya, geram pada jalan pikiran mereka, geram pada dugaan bahwa mereka enggan mendengarkan kata hati, geram pada dugaan bahwa mereka tak lagi punya kepedulian untuk sejenak memandang orang lain di sekitarnya. Aku tidak suka akan itu semua. Sebagai seorang muda yang kerap kali naif, aku memang punya keinginan untuk memperbaiki itu semua. Di sinilah kegelisahanku ini menemui ruangnya, ruang di mana aku menyadari bahwa aku belum bisa melakukan sesuatu yang berarti untuk mengubah itu semua. Inilah kegelisahanku. Aku gelisah karena aku mengerti hal ini salah namun, aku tak punya daya untuk mengubahnya. Akh, sial! Aku gelisah karena ilmuku belum cukup dan aku masih butuh waktu sangat lama untuk belajar. Aku gelisah karena khawatir jangan-jangan aku hanya jadi seorang pembual yang bicara tanpa henti tapi tak memberi solusi. Aku gelisah karena merasa tak mampu melakukan sesuatu yang berarti untuk memperbaiki kejanggalan-kejanggalan tadi. Akh, aku benci menjadi tidak berdaya!
    Aku memang butuh lebih banyak kesempatan untuk belajar. Aku mau belajar untuk pada akhirnya mendedikasikan diriku untuk membuat dan mempersembahkan sesuatu yang berarti bagi hidup. Aku mau belajar bersama dengan teman-temanku agar langkahku untuk membuat mimpi dahsyat nyaris naif ini setidaknya mampu sedikit didekatkan pada kenyataan dengan lebih ringan. Semoga kegelisahan ini memacuku untuk terus bergerak. Semoga kegelisahan ini suatu saat dapat terobati, entah kapan pun itu.




12 Agustus 2010, 02.36
berlagu-lagu dialunkan selama mengetik tulisan ini di dini hari yang lelah

Komentar

  1. wah...calon soe hok gie masa kini ki...haha...gelisah...gelisah...basah...haha...

    BalasHapus
  2. risau menantikanmu, tiada lagi cinta bersemiiii aku tetap sendiri jeng jeng jeng jeng

    BalasHapus
  3. wah, kok ada yang komen pake akun saya? nggak asik nih...

    @leo: kamu kamu kamu lagi, kamu kamu kamu lagi...
    selalu saja tidak jelas...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer