jarak

Selama ini, kata ‘jarak’ selalu menimbulkan prasangka yang nyaris selalu buruk bagiku. Begitu mendengarnya seketika aku menjadi gadis melankolis yang senang sekali meratapi keadaanku saat ini. Hal yang kubayangkan ketika mendengar kata ‘jarak’ adalah tak lain sebuah keterpisahan dari orang yang aku ingin ada di dekatku. Jarak hampir selalu saja menyakitkan buatku. Jarak adalah yang kerap kali kusesali dalam rindu yang menyesakkan. Jarak jugalah yang membuatku tak akan lagi bisa mengindera sesosok cinta dalam hidupku. Jarak membatasi keinginanku untuk bergelut di dalam situasi yang kuharapkan. Namun, di saat yang sama, jarak selalu memaksaku menghentikan tangis dan memulai hidup.

Hari ini (dan hari-hari yang lalu) aku mulai menemukan bahwa jarak tak selalu menyakitkan. Dalam waktu-waktu tertentu di mana aku ‘dipaksa’ berjarak dengan sesuatu yang kucintai, aku mampu merasakan bahwa di balik rasa sakit karena keterpisahan itu aku mendapatkan waktu untuk memandanginya dari jauh dan merenunginya. Hasilnya, aku bisa menghargai sesuatu yang aku cintai (kadang-kadang secara tidak sadar) itu.

Sudah dua kali aku menemukan peristiwa di mana aku dengan sungguh sadar menikmati keberadaanku yang terpisah sejumlah satuan jarak dari mereka yang kucintai. Kedua peristiwa ini (entah kebetulan atau memang diriku hanya menyadari bagian-bagian seperti ini) selalu berkaitan dengan dunia bermain dan tingkah anak-anak. Aku menikmati duduk di suatu tempat di mana mereka hanya mampu memandangi sosok kecilku tanpa bisa menebak gerak mata maupun mimik wajahku, sementara aku dengan egoisnya menyaksikan kegembiraan mereka seorang diri. Aku bahagia sekali ketika itu. Semuanya terlihat dan terasa sangat mengharukan karena kerap kali aku menemukan tingkah anak-anak mereka itu di tengah himpitan dan tekanan sehari-hari. Mereka tak menyadari bahwa yang mereka nikmati saat bermain itu menyembuhkan luka-lukaku dan memulihkan kelelahan-kelelahanku. Mereka tak tahu bahwa senyum dan gelak tawa polos merekalah yang pada akhirnya juga membuatku tergelak gembira (bahkan kadang menitikkan air mata di saat yang sama).

Dari jaraklah aku belajar mencintai. Pun aku belajar menghitung waktu, memutar balik ingatan tentang yang sudah mereka dan aku berikan, menghargai kehadiran mereka di tiap hariku, memikirkan hari depan bersama mereka, dan akhirnya belajar menjaga dan merawat mereka. Hanya saja, aku belum bisa menemukan cara untuk menerima dan bertahan hidup ketika justru jaraklah yang memisahkanku dari mereka.




Minggu, 27 Maret 2011, 22.17
Lelah dan mengantuk sejadi-jadinya

Komentar

Postingan Populer