Mengejar Matahari

Mengemas sebuah cerita konyol dalam tenang teduh, membuka hati…

Kemarin, aku akhirnya ke pantai lagi. Kali ini melakukannya tak sama mudahnya dibanding dengan jika aku berada di kampung halaman. Jarak yang harus ditempuh, waktu yang harus dihabiskan, dan polah menghabiskan waktu itu pun berbeda jauh, jelas berbeda. Ini hanya sebuah perjalanan tanpa rencana matang yang diawali dengan celetukan, “Ayo ke pantai.” Ternyata ditanggapi dan dilakoni sungguhan. Baiklah.

Setelah sempat bersandiwara kecil menghindari tuntutan dari orang lain, menunggu seorang teman —yang selalu saja tidak tepat waktu— menghampiri, aku menggabungkan diri dengan tim perjalanan impromptu ini. Hari sudah menjelang senja ketika kami akhirnya berangkat. Aku tahu persis, bahwa kampung halaman dan kota ini sungguh-sungguh berbeda untuk urusan bersantai ke pantai. Aku tahu persis matahari tenggelam jauh lebih cepat di sini. Aku tahu persis hari akan segera gelap, juga jauh lebih cepat dibanding dengan di kampung halaman. Namun, aku tetap tidak bisa menolak keberangkatan ini karena aku pun ingin.

Kami menyebutnya sebuah perjalanan Mengejar Matahari. Dengan sengaja sekaligus tidak sengaja kami namai seperti itu. Sebelumnya memang sempat terjadi perdebatan untuk menggantinya menjadi Mengejar Mas-Mas, tapi akhirnya kami berlapang dada untuk menerima bahwa nama itu sama sekali tidak ada hubungannya. Baru kali ini aku mengejar matahari. Sepanjang waktu dalam perjalanan itu kami mengawasi sinar kuning-menuju-merah itu perlahan condong ke arah barat. Kami berpacu dengan matahari; kami mau melihatnya menenggelamkan diri di balik cakrawala. Tak pelak, mobil dipacu bahkan hingga serasa berkendara di Amerika, hanya saja supirnya duduk di sebelah kanan. Aku terguncang-guncang di bangku belakang sambil kadang-kadang meneriaki si supir untuk dengan segera menyadari berapa nyawa yang menumpang di mobil itu. Kami masih berusaha mengejar matahari. Dengan yakin kami bilang, “Masih terkejar.”

Separuh perjalanan terlampaui dan kami mulai lebih tenang ketika mengawasi sinar yang cantik itu makin merendahkan dirinya di balik pepohonan dan gedung-gedung. Seorang dari kami menyebutkan, “Orientasiku sudah berubah. Aku hanya ingin ke pantai.” Menghibur diri, mencoba ikhlas dan mengalah pada matahari yang bagaimana pun cepatnya kami berusaha mengejar tetap saja tak mau —atau mungkin tak bisa?— menunda waktunya untuk menutup hari. Mungkin langit malam beserta jajaran bintangnya sudah komat-kamit dan siap-siap mengisi ruang. Mungkin lho… Kami tetap melaju menuju tempat tujuan.

Tiba juga akhirnya. Kami sempat kebingungan ketika menyasarkan diri ke sebuah landasan pacu yang hingga kini tak terjawab oleh kami apakah ada yang sungguh-sungguh menggunakannya untuk lepas landas. Mobil ajaib itu dengan pedenya berjogrok di pinggir bukit pasir kecil. Kami mengabaikan bagaimana cara mengeluarkannya nanti, yang penting ke laut dulu. Tinggal tersisa semburat-semburat warna-warna senada dalam gradasi: kuning, oranye, merah, ungu. Tetap cantik kok. Aku disapa lembut oleh ombak yang berusaha memanjat gundukan pasir tempatku berdiri menggulung celana yang sesungguhnya tidak bisa digulung. Hanya dengan lembut. Namun, sesekali dia agak agresif juga tapi untung aku pun mengambil keputusan untuk tidak membuat diriku basah hari itu sehingga bisa melarikan diri semampuku untuk menghindari hempasannya. Langit pelan-pelan menghitam dan gugusan bintang yang juga jadi bahan perkelahian malam itu sudah mulai menampakkan dirinya. Kami melanjutkan perjalanan ke pantai tetangga untuk bergeletakan di pasir, menikmati jagung bakar, mendengarkan lagu-lagu romantis, dan memandangi langit yang —terima kasih Tuhan— bersih sekali malam itu. Obrolan mengalir mulai dari cinta, pengalaman bodoh, cinta, hinaan, cinta, film romantis, cinta, JAKSA, cinta, fobia, dan masih banyak lagi (seperti bunyi sampul kaset kompilasi). Terlalu banyak yang dibicarakan malam itu, terlalu banyak yang ditertawakan. Langit berbintang, kerlap-kerlip lampu menara, pijar-pijar lentera minyak, dan air laut tetap saja sibuk dengan dirinya sendiri. Kami terus saja tertawa dan bicara, mungkin kami lupa diri…

Ah, mari pulang, anginnya mulai tambah dingin dan tidak nyaman. Aku berguncang-guncang lagi di jok belakang, kali ini sambil memandangi deretan lampu jalan. Selain itu juga sambil membayangkan sejumlah imajinasi yang keterlaluan. Ah, jangan-jangan memang aku absurd.

Tapi, ternyata malam masih panjang. Mari mampir ke daerah yang belakangan ini agak mencuat namanya akibat munculnya fenomena aneh di lahan padinya. Oh, si supir agak mengkhawatirkan keadaannya. Untunglah akhirnya bisa diantarkan pulang dengan selamat. Perjalanan ini berakhir ketika hari berganti.



Untuk matahari,
Mungkin akan ada waktu lainnya untuk aku kembali mengejarmu
Jika saja waktu itu kamu bisa menunda atau bahkan menolak untuk bergerak sebelum aku tiba,
aku bisa mengawasimu melepas hari itu dalam semburat merah yang baru satu kali kutemui di kota ini.
Hanya satu pertanyaanku, kamu tidak mau atau tidak bisa?
Aku jadi berpikir adakah kamu juga punya kesempatan untuk memilih.
Lain kali aku akan mengejarmu lagi…tunggu saja…


“Ketika matamu terpejam, diam, memandang surya…” bolak-balik terngiang
Akhirnya menulis lagi, 3 Maret 2011, 23.37

Komentar

  1. "Matahari"mu yang sebenarnya bukanlah matahari yang kau cari saat dia mulai bersembunyi dibalik lautan. "Matahari" itu sudah kau temukan saat kau pergi melihat matahari sungguhan. Yaitu adalah teman-temanmu.

    BalasHapus
  2. hmmm...sepertinya ini anonim yang sama ya? :)
    ya, memang tulisan ini saya tulis dengan maksud bercerita secara harfiah dan sekaligus secara konotatif. saya suka matahari, baik yang berupa bola panas besar itu maupun yang bukan berupa itu. satu hal yang saya tahu, kedua-duanya indah. matahari itu indah :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer