Tapak kaki, Pikiran, dan Hati

       Tapak kaki, pikiran, dan hati ternyata tak selalu seiring sejalan. Kerap kali aku harus mendamaikan ketiganya agar apa yang aku inginkan dapat tercapai. Tak sekedar mencapai keinginan itu, yang lebih penting lainnya adalah mencapainya tanpa menyakiti siapa-siapa, baik diriku sendiri maupun orang lain.
                Aku selalu berkata bahwa hidup ini abu-abu, sampai-sampai gelar “abu-abu” melekat di identitasku. Namun, hari ketika tapak kaki, pikiran, dan hatiku tak sejalan memaksaku sedikit memudarkan keabu-abuan. Masih, aku masih saja abu-abu (dan aku tidak yakin aku ingin menjadi sebaliknya, *jika memang ada sebaliknya), hanya saja aku harus sedikit mengurangi kepekatannya. Aku kembali melakukan sesuatu tanpa perencanaan matang. Bekalku hanya pertimbangan-pertimbangan situasional dan keputusan sepenuhnya ada padaku. Apapun jawabanku atas 2 pilihan yang diajukan tidak akan berpengaruh banyak dengan rencana teman-teman. Maka, sekali lagi, ini adalah pergulatan pribadi yang sepenuhnya sangat pribadi. Pencapaianku akan menjadi sebuah prestasi pribadi jika aku mampu menaklukkan semua keragu-raguanku. Meski begitu, masih ada satu hal yang tidak pribadi. Pengorbanan. Ketika aku menjawab ya, orang-orang yang mendampingiku mempertaruhkan usaha mereka untuk pencapaian mereka masing-masing. Itu semua karena aku akan membuat mereka menghentikan perjalanan tapak kaki mereka jika di tengah jalan aku mundur. Namun, jika aku menjawab tidak, aku tidak bisa membayangkan kapan lagi aku bisa menapakkan kakiku untuk pencapaian ini. Bukankah memang kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang ? Maka kini pertanyaannya, siapa yang lebih banyak berkorban jika nanti aku menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ ?
                Aku akhirnya menjawab ‘ya’. Kali ini, pikiran dan hatiku telah berdamai dengan tapak kaki yang siap memulai perjalanannya. Tidak, mungkin belum sepenuhnya berdamai. Pikiran ternyata masih meneriakkan kemungkinan-kemungkinan bahwa aku akan mundur karena situasi yang kurang memadai dan nantinya aku akan sangat merepotkan teman-temanku. Sementara itu, hati juga tak kalah kencang menekanku. Ia menghadirkan masa-masa ketika aku masih memimpikan perjalanan ini dan justru akulah yang mengajak teman-teman untuk sungguh-sungguh mewujudkannya. Mereka berdua masih saja terus bergulat. Tapak kaki sudah terlanjur memulai langkahnya dan tak bisa berhenti karena tapak kaki lainnya juga beriringan dengannya. Apa-apaan ini. Hey tapak kaki, pikiran, dan hati, kalian sungguh-sungguh menyakitiku malam itu.
                Seperempat waktu perjalanan telah terlewati, pikiran dan hati masih saja tidak akur. Tidakkah mereka pernah bertanya pada tapak kaki, “Bagaimana pendapatmu?” Siapa pun yang menang di antara pikiran dan hati, tapak kaki seakan tak punya kuasa apa-apa untuk menolak. Sejauh ini ia masih terus melangkah menunggui keduanya mencapai titik temu. Tibalah aku dan teman-temanku di separuh waktu perjalanan. Tapak kaki mulai bersuara. Ternyata ia terluka. Aku pun mulai berjalan tertatih untuk mengurangi rasa sakit. Seorang teman mendampingiku berjalan perlahan di bagian belakang rombongan, sementara yang lain di depan mengurangi kecepatan untuk mengimbangiku. Apa kubilang, jangankan mundur, aku memperlambat langkah saja teman-teman yang lain harus ikut berkorban untuk turut memperlambat perjalanan mereka menuju pencapaian. Entah sudah sampai mana pikiran dan hati bertengkar, namun ketika tapak kaki terluka, keduanya terdiam sejenak. Aku berkata pada pikiran bahwa kini kami sudah menghabiskan separuh waktu perjalanan. Pilihan untuk maju atau mundur akan menghabiskan tenaga yang sama, namun pilihan maju akan terasa jauh lebih manis karena tenaga kami akan terbayar oleh sebuah pencapaian. Aku berkata pada hati bahwa memang ini keinginanku sejak dari dulu. Kini langkahku untuk mewujudkannya memang telah dimulai, namun ternyata untuk menjalani sesuatu tak cukup hati saja yang ambil bagian. Nyatanya, jika tapak kaki terluka dan tak mampu melanjutkan aku pun tidak akan mencapai keinginanku.
                Tapak kaki, pikiran, dan hati terdiam karena mulai menyadari keberadaan masing-masing selama ini. Mereka bertiga memang tidak pernah berjalan sendirian. Semua pergulatan tidak pernah dimenangkan oleh siapapun di antara mereka karena pada akhirnya —sama seperti malam itu pula— tapak kaki, pikiran, dan hati akan saling menerima dan saling menopang. Malam itu, aku menyelesaikan perjalananku. Aku akhirnya mampu mencapai keinginanku. Seketika itu juga, tapak kaki, pikiran, dan hati bersorak bersama karena berhasil membawaku pada pencapaian yang kuimpikan sejak lama. Aku pun tersenyum penuh syukur untuk pencapaian luar biasa ini. Aku mampu tiba di titik ini bersama dengan teman-temanku. Tidak ada hal lain yang mampu kupikirkan selain bahwa cinta merekalah yang membantuku melalui semuanya: meredakan pergulatan pikiran dan hati serta mengobati luka tapak kaki. Apakah pergulatan sepanjang perjalanan itu telah dilupakan? Maaf, belum sama sekali; dan aku bilang pada ketiganya untuk jangan pernah melupakannya. Jangan pernah. Semua yang telah kami lalui bersama adalah proses panjang yang tiap detil kecilnya sangat berharga dan menentukan. Bagaimana mungkin sebuah proses dapat dilupakan hanya karena pencapaian yang menggembirakan? Tidakkah justru akan makin manis ketika proses itu dikenang dan aku mampu kembali melihat untuk belajar bahwa aku telah menemui banyak hal?
                Pertanyaan yang tersisa kini: aku ini sebenarnya siapa? Mengapa aku seakan-akan melihat tapak kaki, pikiran, dan hatiku sendiri di luar diriku sehingga aku berusaha mendamaikannya? Tidakkah sebenarnya aku, pikiranku, hatiku, dan tapak kakiku adalah dalam satu tubuh? Beberapa waktu yang lalu seorang teman secara tidak sengaja menjawabnya, “Keluarlah dari dirimu. Terbanglah tinggi ke langit sehingga kamu bisa melihat jauh lebih banyak hal.”

I’ll spread my wings and I learn to fly
I’ll do what it takes till I touch the sky
Make a wish, take a chance, make a change
and breakaway…
Out of the darkness and into the sun
But, I won’t forget all the ones that I love
Take a risk, take a chance, make a change
and breakaway…  —Kelly Clarkson


terima kasih Tuhan, perjalanan ini sungguh-sungguh jadi sebuah perigirinasi
tak percuma menunda menulisnya

Komentar

Postingan Populer