JOG, 19 OKT
Ada banyak doa yang terucap, baik lewat kata maupun bukan. Kepada siapa doa itu didaraskan, itulah yang menjadi urusan masing-masing dari kita. Satu hal yang jelas, kita menyimpan harapan dalam doa-doa itu dan menginginkannya menjadi nyata. Kita mampu mempersembahkan doa-doa itu untuk siapa pun juga, apa pun juga. Namun, ada hal yang seru juga untuk dipikirkan. Pernahkah kita mendaraskan doa yang kita harap tidak akan terkabul dalam waktu singkat ? Bahkan mungkin jangan pernah terkabul.
Aku pernah melakukannya. Aku senantiasa menyimpan satu intensi yang sama dalam banyak doaku selama ini. Kebetulan doa-doa itu kutujukan kepada Yang Dipercaya Esa dan Disebut Dengan Berbagai Nama. Setelah beberapa lama waktu berjalan sejak aku mulai mendoakannya, aku menyadari bahwa aku tidak mau keinginanku ini dengan begitu saja terjadi. Bahkan aku berharap supaya sepanjang hidupku aku tidak akan pernah berhenti mendoakannya.
Menjalani doa semacam itu ternyata melelahkan. Di satu sisi aku mengharapkannya untuk jangan terkabul dalam waktu singkat, namun di sisi yang lain aku juga menunggu waktu doa ini akan terjawab. Ternyata aku mendapat jawaban yang menakjubkan dari doa itu. Aku memang sempat lelah dengan doa itu. Bukan karena tak terjawab, melainkan karena aku sendiri yang tak kunjung memberi kesempatan jawaban doa itu untuk mendatangiku.
Tibanya jawaban itu di hidupku adalah sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Jawaban itu datang dengan —entah membawa atau menimbulkan— rasa sakit. Kata-kata yang kupunya tidak sanggup menjelaskan bagaimana rasanya ‘rasa sakit’ itu menyakitiku, namun mungkin orang lain punya kata-kata yang sanggup melakukannya. Kenapa rasa sakit yang dibawanya? Jawabannya: karena semua rasa sakit itu disembunyikannya di balik punggungnya dan dibawanya bersembunyi selama belasan tahun.
Pikiran tentang jawaban itu baru mendatangiku dalam hitungan beberapa tahun belakangan. Aku terlanjur tumbuh jadi pribadi yang bertolak belakang dengan jawaban itu. Ini adalah salah satu alasan yang membuat rasa sakit itu makin sakit. Bersama doa itu, aku berusaha menghapus identitasku sendiri —identitas yang dibangun dalam diriku selama bertahun-tahun. Aku tahu ada yang salah dengan identitas itu. Jika memang tidak bisa disebut salah, aku mengakui bahwa aku tak menyukai satu bagian tertentu dari identitasku itu. Aku ingin menjadi pribadi yang sebaliknya. Haha…gampang sekali bicara seperti itu.
Saat kesadaran akan identitasku itu muncul, keinginanku yang selanjutnya kulafalkan berulang kali dalam doa itu menyusul muncul. Aku pikir jika aku berhasil mencapai keinginanku ini, aku akan merasa lebih baik. Demikianlah keinginan itu mulai menyusupi doa-doaku sampai saat ini. Beberapa saat berlalu, aku pelan-pelan membuat niat pada diriku sendiri bahwa keinginan ini tak boleh begitu saja terkabul dalam waktu singkat. Malah, bila perlu aku harus terus merasa hal ini belum terkabul sehingga aku tidak akan pernah berhenti mendoakannya.
Namun, di tengah jalan, aku merasa gemas dengan diriku sendiri. Aku sadar sepenuhnya bahwa kesempatan bagi doa itu untuk terkabul ada di tanganku sendiri. Ternyata, usahaku untuk membuatnya terkabul tidak semulus yang kuharapkan. Kemungkinan lain, aku tak sungguh-sungguh berusaha. Marah sekali aku pada diriku sendiri. Orang-orang di sekitarku mulai melihat ada yang berubah dari diriku, tapi mereka tak suka itu. Aku sendiri bingung menjelaskan apa yang sedang kuhadapi pada mereka. Aku sungguh-sungguh tak punya kata-kata yang akan dengan tepat mewakilinya. Pernah kucoba bicara beberapa kali, tapi ternyata apa yang mereka mengerti dari pembicaraan itu tidak tepat seperti yang aku rasakan. Akibatnya, aku memilih untuk berpura-pura tidak terjadi apa-apa dan berusaha memenuhi apa yang mereka harapkan dariku.
Aku mulai lelah dengan doaku sendiri. Namun, justru di tengah kebimbangan itu, doa itu terjawab. Sebenarnya secara perlahan aku sudah menyadari bahwa secara perlahan pula jawaban dari doa itu mendatangiku. Bentuknya: kesempatan untuk membuatnya jadi nyata. Aku telah beberapa kali memutuskan untuk mengambil kesempatan itu. Dan rasanya sakit tak karuan. Puncaknya, aku kembali dihadapkan pada kesempatan untuk meruntuhkan dinding terakhir identitasku yang lama. Kesempatan yang telah berulang kali kuhindari karena aku tidak siap kehilangan peganganku pada dinding itu. Dinding yang selama ini menjadi tempat berlindungku dan menyembunyikan semua kekuranganku hanya untuk bisa merasakan kebahagiaan di tengah teman-teman.
Dinding itu runtuh juga pada akhirnya. Aku meruntuhkannya. Aku menjawab doaku sendiri. Ketika dinding itu kuhancurkan, bersamaan dengan itu hatiku juga hancur. Satu-satunya hal yang bisa menggambarkan rasa sakit yang menekanku adalah air mata. Ya. Itulah jawaban doaku: air mataku. Namun, di tengah tangisku itu, aku teringat doa yang selalu kudaraskan selama ini. Menyadari bahwa aku telah mengabulkan sendiri doaku, aku tersenyum. Basah dan tulus. Aku menerima semuanya, aku mensyukuri semuanya. Aku hanya membatin, “Cara-Mu memang benar-benar aneh, bikin gemas, dan di luar dugaan. Terima kasih.” Ya, kini waktunya menyembuhkan luka.
JOG, 19 OKT
Mirip lagunya Serieus
Komentar
Posting Komentar