topeng


Kini aku tahu bahwa semua orang pakai topeng. Satu-satunya masa di mana aku masih bisa menunjukkan kejujuran sepenuhnya tentang diriku adalah masa kanak-kanak. Beranjak dewasa, tak pelak, mengantarku pada kebiasaan berpura-pura. Sebagaimana kerasnya pun aku berusaha jujur, aku akan selalu terhambat oleh macam-macam kebutuhan dan kekhawatiran semacam: tak ingin menyakiti orang lain. Memang benar, kejujuran sering kali menyakitkan.
               
Demi tidak menyakiti hati orang lain inilah, aku biasanya memilih untuk memakai topeng. Aku menyamarkan diriku, mengurangi kejujuran. Ya, kejujuranku tak sepenuhnya hilang. Aku hanya mereduksinya sesuai keperluan dan membungkusnya di balik topeng supaya tak menyakiti hati. Lagi-lagi. Masalahnya, hati yang tak ingin disakiti itu ada banyak dan di mana-mana. Dan aku masih saja terus berpikir bahwa hati-hati tersebut tidak pantas untuk disakiti. Alhasil, aku punya segudang topeng untuk melindungi atau malah menyembunyikan? kejujuranku.
                
Segudang topeng itu membuatku selalu memilih mau menggunakan topeng yang mana. Pilihan itu tergantung pada siapa yang akan kuhadapi. Maka demikianlah kedewasaan sekali lagi menuntut pengorbanan yang sulit. Aku tidak ingin menyembunyikan diriku di balik topeng, namun kenyataannya aku butuh melakukan itu. Jika memang begitu, aku akan berusaha untuk sejujur mungkin.


Jogja, penghujung bulan 7 tahun 2011
persis tengah malam

Komentar

Postingan Populer