Mahakarya Asli Bangsa dalam Keprihatinan


            Siang hari yang riuh di Yogyakarta, sebuah kota dengan predikat kota kesenian: Kepadatan lalu lintas dan asap kendaraan yang mengepul tebal memenuhi udara. Dalam mobilitas yang cepat, seakan tiada henti, tiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak sempat lagi mereka lirikkan mata barang sejenak ke lengangnya sebuah komplek bangunan berlabel Museum Wayang Kekayon. Jalan raya yang membentang di hadapannya disesaki ribuan kendaraan yang melintas setiap saat. Namun, tak juga ada yang membelokkan setir menyambangi gerbang besar dan megah milik komplek bangunan museum ini. Tim liputan khusus majalah natas siang itu menjadi tamu pertama yang menginjakkan kaki di sana.
Sekilas pandang, tumpukan dedaunan kering di berbagai tempat dan bangkai mobil-mobil besar tua memunculkan reaksi prihatin. Kekaguman yang timbul ketika disuguhi informasi mengenai museum ini di salah satu situs di internet membuat kami menyayangkan kondisi sesungguhnya yang kami saksikan di lapangan. Karena kekeliruan informasi publikasi yang tercantum dalam situs Museum Wayang Kekayon ini, tim liputan khusus majalah natas baru dapat berbincang dengan salah satu staf museum pada kunjungan kedua. Sempat timbul reaksi kecewa ketika untuk kedua kalinya menyambangi museum ini kami tidak menemukan adanya tanda-tanda aktivitas. Seorang pria paruh baya yang kami temui siang itu menyatakan bahwa museum masih buka untuk pengunjung. Ialah yang mengantar kami masuk ke ruang pajang koleksi museum. Akan tetapi, karena beliau harus menunaikan ibadah shalat siang itu, kami berkeliling menikmati koleksi museum tanpa seorang pemandu.
Museum Wayang Kekayon tidak seperti museum pada umumnya dalam hal bentuk dan penataan bangunan. Dalam komplek seluas 11.000 m2 itu, terdapat beberapa bangunan dengan fungsinya masing-masing. Di bagian tengah, berdiri sebuah gedung induk dengan arsitektur Jawa lengkap dengan pendoponya. Fungsinya, sebagai kantor yayasan dan terkadang juga dimanfaatkan untuk memfasilitasi beberapa kegiatan yang membutuhkan latar belakang bangunan khas Jawa. Sementara itu, di sekeliling bangunan induk tersebut terdapat ruang koleksi berupa sembilan unit bangunan yang terpisah satu sama lain, terbentang dari sisi barat ke utara menyerupai bentuk huruf L. Komplek sisi timur diisi oleh bangunan yang berfungsi sebagai kantor dan lahan parkir. Keseluruhan bangunan yang terdapat di dalam komplek ini memakan lahan seluas 3.000 m2. Sisa lahan yang masih begitu luas itu dialokasikan untuk pekarangan dan kebun. Selain itu, terdapat pula replika-replika sejarah Indonesia seperti manusia purba, menara air arsitektur Majapahit, pancuran air bidadari, dan patung tokoh proklamator Indonesia.
Ruang koleksi museum yang terdiri dari sembilan unit itu memuat berbagai macam koleksi wayang dan atribut-atributnya sejak awal kemunculan hingga perkembangannya di masa kini. Koleksi wayang yang dipajang sangat variatif ditinjau dari jumlah jenis wayang yang berkembang di sejumlah daerah, tidak hanya di Indonesia namun juga di manca negara. Unit 1 menyuguhkan koleksi wayang purwa gaya Yogyakarta, unit 2 dengan wayang purwa gaya Surakarta, unit 3 menampilkan wayang madya dan gedhog, sedang unit 4 dengan wayang klithik, krucil, dan beber. Di unit 5 sampai dengan unit 9, koleksi yang dipajang adalah aneka jenis wayang dari berbagai daerah dan negara beserta kreasi-kreasi baru wayang. Kami sempat takjub dengan koleksi-koleksi wayang yang mengambil bentuk tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia dan bahkan figur-figur dalam cerita agama Kristen, seperti Yesus dan keluarganya.
Selama berkeliling melihat-lihat koleksi museum, tak ada seorang pun yang berkunjung ke museum ini selain tim kami. Dalam keheningan dan kelengangan itu, keprihatinan kami kembali muncul ke permukaan. Museum Wayang Kekayon memiliki koleksi yang begitu lengkap dan menarik sehingga seharusnya mampu menggugah minat banyak orang untuk mengetahui lebih jauh mengenai kesenian wayang yang merupakan kesenian asli Indonesia ini. Namun, layaknya kebanyakan museum lain di Indonesia, sebagian besar kunjungan dilaksanakan karena tugas belajar atau sebuah kewajiban. Seusai menamatkan perjalanan mengunjungi sembilan unit ruang koleksi dan mengabadikannya dalam gambar kamera, kami bergegas menemui bapak paruh baya yang mengantar kami masuk sebelumnya. Perbincangan siang itu berlangsung di ruangan kantor yang sekaligus berfungsi sebagai tempat penjualan cindera mata.
Mulyono (68), yang menerima kami siang itu, ialah seorang pekerja sekaligus pemandu di Museum Wayang Kekayon Yogyakarta. Beliau menceritakan sejarah pendirian museum yang dimulai dengan pembangunan pagar bumi ini pada tahun 1981. Proses pembangunan berlangsung selama tujuh tahun. Gedung masih kosong sampai empat tahun berikutnya. Pada tanggal 5 Januari 1991, Museum Wayang Kekayon telah terisi koleksi dan dibuka secara resmi oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Pakualaman. Penggagas pendirian museum ini ialah sekaligus pemiliknya, yakni almarhum Prof. Dr. dr. Suryono Prawirohadikusumo, S.Ps., S.Ph. Beliau adalah seorang dokter saraf dan kejiwaan yang memiliki kepedulian dan perhatian khusus pada kesenian wayang. Selain berprofesi sebagai dokter, beliau juga seorang guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Keterangan ini memunculkan kekaguman karena status kepemilikan museum adalah milik pribadi. Sangat mengesankan bahwa seseorang dengan latar belakang pendidikan yang tidak berhubungan langsung dengan kesenian bersedia mencurahkan perhatian dan kepeduliannya baik dalam bentuk moril maupun materiil pada kelestarian salah satu kebudayaan asli Indonesia ini. “Bapak profesor (pemilik Museum Wayang Kekayon) memang sejak kecil menggemari wayang, sehingga beliau ingin melestarikan kesenian ini,” Mulyono berujar mengenai pemilik museum. Akan tetapi, saat ini kepemilikan museum beralih kepada putra bungsu almarhum. “Pemilik museum jarang ke sini. Kalau ada acara baru berkunjung. Atau kadang-kadang juga sekadar melihat-lihat,” tambah Mulyono.
Museum Wayang Kekayon dibangun dengan tujuan melestarikan salah satu produk budaya Indonesia, dalam hal ini kesenian wayang. Sasaran utamanya ialah generasi muda yang diharapkan dapat mengenal dan mengetahui budaya ini. Kesenian wayang sendiri ialah salah satu kesenian asli Indonesia yang telah muncul sejak sekitar tahun 1500 sebelum Masehi dan terus mengalami perkembangan dalam kehidupan dan dinamikanya hingga saat ini. Transformasi yang menyertai perkembangan-perkembangan wayang ini diakibatkan oleh masuknya pengaruh-pengaruh dari berbagai kebudayaan lain ke Indonesia. Perubahan-perubahan dalam kesenian wayang dari segi bentuk dan perwujudannya ini disuguhkan dengan begitu lengkap di Museum Wayang Kekayon. Untuk hal ini, Museum Wayang Kekayon Yogyakarta telah memperoleh sebuah penghargaan sebagai museum wayang terlengkap di Indonesia, mengalahkan Museum Wayang Jakarta. Sayangnya, prestasi ini tak terlalu berfungsi sebagai daya tarik tambahan yang diharapkan mampu mendongkrak minat masyarakat untuk berkunjung.
Menilik Koleksi Museum
Dalam sembilan unit ruang koleksi itu, dapat disimak sejarah perkembangan dalam kesenian wayang. Transformasi bentuk dan wujud wayang yang diakibatkan oleh masuknya pengaruh-pengaruh kebudayaan lain itu terefleksi dalam koleksi yang dipajang di Museum Wayang Kekayon. Sebagian besar koleksi tersebut diperoleh dengan membeli dari pedagang atau pengrajin wayang dari berbagai daerah. Ada pula koleksi yang merupakan hibah dari beberapa pihak baik kolektif maupun perorangan. Contohnya, sebuah wayang pemberian dari seorang dalang terkenal yang dipajang dalam bingkai khusus di unit 9. Sementara itu, pihak kolektif yang menghibahkan wayang biasanya adalah sekelompok orang atau komunitas yang juga bergelut di bidang kesenian wayang dan memiliki perhatian khusus terhadap kelestarian museum. Karena statusnya sebagai milik pribadi, biaya perawatan seluruh koleksi ini ditanggung secara pribadi oleh pemilik museum. “Pemerintah kadang-kadang memberikan bantuan juga, tapi tidak rutin dan jumlahnya tidak terlalu besar. Bapak profesorlah yang menanggung semua biaya perawatan museum dan koleksinya,” ujar Mulyono ketika ditanya mengenai keterlibatan pemerintah dalam pelestarian museum.
Dalam perbincangan santai siang itu, Mulyono membeberkan metode perawatan koleksi wayang. “Satu atau dua bulan sekali koleksi itu dikeluarkan untuk dibersihkan dan diletakkan di tempat yang tidak langsung kena sinar matahari. Lalu, koleksi itu disimpan di dalam kotak supaya bentuknya tidak mleot-mleot (rusak),” jelas Mulyono dalam logat Jawa yang kental. Di dalam kotak penyimpanan koleksi tersebut disertakan merica yang dibungkus kain perban untuk menghindari tumbuh jamur pada permukaan wayang. “Atau bisa juga menggunakan silica gel dan akar loro setu untuk mengawetkan kertas. Wayang itu kan terbuat dari kulit, jadi rawan berjamur,” imbuhnya.
Merawat koleksi museum bukanlah tanpa kendala. Beberapa faktor eksternal dapat mengakibatkan kerusakan pada koleksi wayang, di antaranya usia tua dan serangan dari serangga seperti kecoak. Koleksi Museum Wayang Kekayon memang sebagian besar telah berusia tua mengingat konsep museum yang menampilkan wayang dalam runtut sejarah perkembangannya sejak zaman dahulu. Wayang berusia tua cenderung rapuh dan mudah rusak. Serangan serangga juga dapat menimbulkan cacat pada koleksi. Munculnya serangga disebabkan oleh kondisi lokasi penyimpanan koleksi yang tertutup dan gelap. Bentuk kerusakan lain yang kerap kali terjadi pada wayang adalah benang atau tangkai yang putus. “Kalau rusaknya hanya putus benang atau tangkai, koleksi itu masih bisa diperbaiki,” jelas Mulyono. Sementara itu, untuk koleksi yang telah rusak parah dan tidak layak pajang akan tetap disimpan dan diganti dengan koleksi lain.
Di museum ini tidak hanya terdapat wayang yang lazim ditampilkan dalam pentas-pentas wayang masyarakat, melainkan juga wayang-wayang hasil kreasi baru. Pun ditampilkan tokoh-tokoh dalam cerita wayang dari kitab Ramayana dan Mahabharata yang disuguhkan dalam wujud patung berukuran manusia sesungguhnya. Berkaitan dengan fungsi wayang sendiri sebagai media pendidikan, kreasi-kreasi baru wayang berusaha menempatkan nilai-nilai yang hendak diajarkan melalui kisah-kisah sejarah atau pun peristiwa keagamaan yang tidak berhubungan langsung dengan cerita-cerita asli wayang. Hal ini tampak pada munculnya karakter-karakter wayang yang diwujudkan sebagai tokoh-tokoh sejarah dan keagamaan, seperti proklamator Indonesia dan Yesus.
Kesenian wayang, dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah puppet show. Berdasarkan sebutan ini, ditemukan kemiripan antara kesenian wayang dengan seni pertunjukan panggung boneka yang juga hidup di negara-negara lain, seperti Thailand dan negara-negara Eropa. Inilah sebabnya Museum Wayang Kekayon juga memajang beberapa koleksi boneka yang digunakan dalam seni panggung boneka di negara-negara tersebut, misalnya wayang Thailand dan boneka-boneka dalam dongeng anak-anak berjudul Pinokio. Selain memamerkan koleksi bentuk-bentuk wayang yang pernah ada sejak awal kemunculannya hingga saat ini, terdapat pula koleksi berupa peralatan dan atribut penunjang sebuah pementasan wayang. Pada ruang koleksi unit 1, pengunjung dapat menyaksikan sebuah replika pementasan wayang lengkap dengan dalang, wayang, dan perangkat peralatan lainnya. Sementara itu, di unit lainnya juga dipajang aneka ragam pakaian dan atribut yang biasa dikenakan sang dalang ketika mementaskan pertunjukan wayang.
Publikasi dan Pengunjung
            Mengingat peranan museum sebagai salah satu media pendidikan dan pelestarian kebudayaan sekaligus obyek wisata, merupakan hal yang wajar bahwa museum memerlukan media publikasi yang diharapkan dapat menarik minat masyarakat untuk berkunjung. Museum Wayang Kekayon tak ketinggalan dalam melaksanakan usaha-usaha untuk mempublikasikan keberadaan museum. Usaha-usaha ini berorientasi pada peningkatan jumlah pengunjung dari dalam maupun luar negeri.
            Salah satu jalan yang ditempuh pengelola Museum Wayang Kekayon dalam usaha publikasi ialah Badan Musyawarah Museum (Barahmus) Daerah Istimewa Yogyakarta. Museum Wayang Kekayon telah bergabung menjadi anggota sejak awal pendiriannya. Kegiatan publikasi tersebut dilaksanakan dengan mengikuti musyawarah yang diselenggarakan Barahmus. Tak hanya itu, Museum Wayang Kekayon juga menggabungkan diri dengan Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan meskipun status kepemilikannya adalah milik pribadi, bukan pemerintah. Sementara itu, usaha-usaha lain di luar bidang birokrasi pemerintah juga terus dilaksanakan dengan penyebarluasan informasi mengenai Museum Wayang Kekayon di berbagai media. Beberapa media tersebut misalnya hotel-hotel dan usaha jasa travel yang memang biasa menyajikan informasi mengenai tempat-tempat bersejarah, objek wisata, dan penyedia akomodasi di sebuah kota.
            Kerja sama pihak pengelola museum dengan Dinas Pariwisata juga terealisasi dalam usaha publikasi museum. Dinas Pariwisata Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyertakan informasi mengenai Museum Wayang Kekayon dalam berbagai media publikasi yang disebarluaskan, misalnya dalam kalender kegiatan. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi DIY, Tazbir, S.H., M.Hum menyatakan bahwa kesenian wayang selama ini termasuk dalam komponen promosi yang menarik minat wisatawan. Namun, sayangnya apresiasi yang diberikan wisatawan kurang merata antara wisatawan domestik dan asing. Menurutnya, wisatawan asing lebih berminat untuk menyaksikan pentas wayang dibandingkan dengan wisatawan dalam negeri. Hal serupa juga dilansir pihak Dinas Kebudayaan Provinsi DIY sebagai indikasi nyata kurangnya apresiasi masyarakat dalam negeri terhadap kesenian wayang. Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum. selaku Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DIY menyatakan bahwa setiap tahun pihaknya selalu menggelar empat kali pentas wayang kulit sebagai upaya pelestarian kesenian tersebut. Kegiatan ini masing-masing dilaksanakan dua kali di kantor Dinas Kebudayaan Provinsi DIY, satu kali di kantor Dinas Pariwisata Provinsi DIY, dan satu kali di Taman Budaya Yogyakarta. Selain keempat kesempatan tersebut, Dinas Kebudayaan juga beberapa kali menyanggupi pementasan pada kesempatan lainnya. Dalam pentas wayang yang digelar tersebut, dapat dilihat animo masyarakat terhadap kesenian wayang. Dinas Kebudayaan menyediakan 200 kursi VIP (Very Important Person) yang ditempatkan di balik layar. Kuota tersebut tidak pernah mencapai separuhnya. Selain itu, pengunjung yang hadir sebagian besar adalah orang asing dan mereka adalah orang-orang yang telah dikenal sebagai pecinta kesenian wayang.
            Bentuk publikasi lain juga ditawarkan melalui media massa baik cetak maupun elektronik. Sejumlah leaflet atau brosur yang memuat berbagai keterangan mengenai Museum Wayang Kekayon disebarkan untuk menginformasikan khalayak tentang keunggulan museum ini. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa brosur ini belum beredar luas di masyarakat karena biasanya hanya dibagikan ketika pengunjung memasuki ruang koleksi Museum Wayang Kekayon. Sedangkan di media massa elektronik, sebuah situs resmi Museum Wayang Kekayon memuat profil museum ini lengkap dengan gambar dan informasi pendukung lainnya. Namun, media ini juga masih belum dikelola dengan baik. Tim liputan khusus majalah natas menemukan ketidakcocokan antara data yang tercantum di situs tersebut dengan kenyataan di lapangan. Dalam situs Museum Wayang Kekayon tersebut disebutkan jadwal kunjungan museum yang dimulai dari pukul 09.00 hingga pukul 16.00. Akan tetapi, dalam perbincangan kami dengan Mulyono, beliau meralat jadwal itu menjadi pukul 09.00 hingga pukul 14.00. “Kalau bukanya sampai jam 4 sore, museum baru bisa dikosongkan setelahnya. Padahal yang menjaga hanya saya,” ujar Mulyono memberi keterangan seraya tersenyum. Mengenai bentuk publikasi yang ditujukan ke luar Indonesia, dia mengaku tidak banyak tahu.
            Berbagai usaha publikasi ini dilakukan secara berkesinambungan oleh pihak pengelola Museum Wayang Kekayon. Akan tetapi, impresi memprihatinkan yang muncul ketika pertama kali mendatangi museum ini menimbulkan pertanyaan: seberapa efektifkah usaha-usaha publikasi tersebut bagi masyarakat? Sebuah museum dengan koleksi yang lengkap dan menakjubkan merefleksikan konsistensi pihak pengelola museum untuk melestarikan berbagai jenis wayang yang disuguhkan di Museum Wayang Kekayon. Tapi, suasana lengang masih saja sering meliputi komplek gedung ini.
            Mengenai hal ini, baik pihak Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata Provinsi DIY mengemukakan kemungkinan penyebab yang nyaris serupa. Minimnya apresiasi masyarakat dalam negeri terhadap kesenian wayang kemungkinan merupakan implikasi dari proses modernisme yang saat ini terus berlangsung. Degradasi apresiasi ini dominan terjadi di kalangan generasi muda. Hal ini merupakan indikasi kerenggangan antara generasi muda dengan kebudayaan bangsanya yang diduga disebabkan oleh minimnya intensitas mereka menjalin kontak langsung dengan kebudayaan yang dimaksud. Pesatnya perkembangan media hiburan lainnya, seperti televisi telah mengalihkan perhatian sebagian besar masyarakat dari daya tarik kebudayaan tradisional. Selain itu, budaya hidup praktis pun turut mempengaruhi kurangnya minat masyarakat untuk menyaksikan pentas wayang yang biasanya digelar semalam suntuk. “Pentas wayang semalam suntuk tentu agak sulit ditonton oleh orang-orang dengan jadwal ketat dan tidak punya banyak waktu luang,” ujar Tazbir. Djoko Dwiyanto pun mengemukakan bahwa, “Hal yang lebih memprihatinkan adalah tidak tumbuhnya lagi nilai-nilai luhur kehidupan yang diusung lewat kesenian wayang dalam masyarakat kita.” Minimnya apresiasi dan minat terhadapnya menyebabkan fungsi wayang sebagai media edukasi tidak berjalan dengan baik.
            Ketika ditanyai mengenai statistik pengunjung museum, Mulyono menyatakan bahwa jumlah tersebut tidak menentu setiap harinya. Kebanyakan dari mereka melakukan kunjungan dalam rombongan besar, namun ada pula yang datang dalam jumlah kecil atau bahkan sendiri. Rombongan-rombongan tersebut biasanya berasal dari kalangan siswa sekolah atau pengunjung lain yang jumlahnya bisa mencapai 100 hingga 200 orang dalam satu rombongan. Siswa sekolah tersebut mencakup jenjang SD, SMP, hingga SMA. Selain itu, pengunjung dari kalangan mahasiswa pun beberapa kali berkunjung. “Nggak tentu mas, mbak, kadang-kadang museum kosong. Nggak ada pengunjung sama sekali. Kadang kalau rombongan datang bisa banyak sekali. Anak-anak sekolah kan biasanya berkunjung karena ada tugas dari sekolah. Kalau tidak ada kepentingan seperti itu jarang ada yang mau ke sini,” terang Pak Mulyono. Ia sendiri tidak terlalu mengerti mengenai penyebab pasang surut pengunjung tersebut. Ia menduga bahwa pengunjung tidak betah berkeliling di museum. “Kan lain dengan tempat wisata atau mall. Kalau tempat-tempat seperti itu pasti penuh,” tambahnya.
            Pernyataan Pak Mulyono di atas membumbui keprihatinan kami yang telah timbul sejak awal. Motivasi masyarakat untuk mengunjungi museum memang masih sangat kurang, entah itu karena tidak punya waktu senggang di sela kesibukan yang padat atau memang tidak ada ketertarikan pada usaha-usaha yang dilakukan museum dalam rangka pelestarian budaya atau media pendidikan. Contoh kongkret yang disebutkan Pak Mulyono mengenai minimnya minat siswa sekolah untuk mengunjungi museum bila tidak dipaksa pihak sekolah dalam bentuk tugas yang harus dikerjakan ini tidak dapat disangkal. Mengapa hal semacam ini kini kerap terjadi? Tidak tersisa lagikah perhatian masyarakat terhadap usaha pelestarian budaya? Hal ini terlihat kontradiktif dengan respon yang selalu muncul dari masyarakat yang bisa dikatakan sangat reaktif ketika mendengar isu pengakuan hak milik atas budaya Indonesia oleh negara lain. Dengan cepatnya merebak umpatan dan hujatan atas “pencurian” tersebut seraya menuduh pelakunya sebagai negara tak berbudaya. Tidak disempatkannya terlebih dahulu merenung sejenak untuk menyadari bahwa perhatian dan usahanya dalam menjaga budaya tersebut pun perlu dipertanyakan keseriusannya.
Keprihatinan yang Timbul
            Museum Wayang Kekayon ialah sebuah komplek gedung yang cukup luas sehingga membutuhkan cukup banyak tenaga untuk merawatnya. Selain itu, koleksi yang dimiliki museum ini juga tak kalah sulit untuk dirawat mengingat usianya yang sudah cukup tua. Akan tetapi, jumlah tenaga kerja yang kini melaksanakan tugas harian penyelenggaraan museum belum memadai. Pak Mulyono mengaku hanya ada empat orang pekerja di Museum Wayang Kekayon. Dua di antaranya melaksanakan tugas sebagai penjaga malam sementara dua lainnya bertanggungjawab membersihkan dan merawat gedung serta koleksi. “Ya maklum saja kalau (museum) agak kurang terawat,” tukas Pak Mulyono dengan nada minta maaf.
            Usaha untuk mengajukan permohonan menambah tenaga kerja sudah berulang kali dilakukan oleh Pak Mulyono. Namun, usaha tersebut belum membuahkan hasil karena pemilik museum berdalih: dana untuk menggaji karyawan sangat minim sehingga tidak memungkinkan untuk menambah pekerja lagi. Menanggapi jawaban tersebut, Pak Mulyono berkomentar, “Sebenarnya kalau hanya mencari pekerjanya gampang mbak, asal imbalan yang diberikan layak.” Tersirat kekecewaan ketika ia menceritakan seberapa banyak pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sementara imbalan yang didapatkannya selama ini ternyata belum dapat mencukupi kebutuhan hidup. Pak Mulyono memang menjalankan begitu banyak peran dalam penyelenggaraan harian Museum Wayang Kekayon. Selain membersihkan gedung dan merawat koleksi, ia juga kerap kali diminta untuk memandu para pengunjung yang datang. “Jika pengunjungnya dari luar negeri, kebanyakan dari Amerika Serikat, Belanda, Jerman, dan Jepang; biasanya mereka sudah membawa pemandu sendiri,” imbuh Pak Mulyono.
            Tak dipungkiri, keterbatasan jumlah pekerja yang mengurusi penyelenggaraan kegiatan harian Museum Wayang Kekayon ini ternyata membatasi optimalisasi fungsi museum. Pekerjaan membersihkan lingkungan museum dapat memakan waktu hingga beberapa hari untuk dapat diselesaikan seluruhnya karena tiap pekerja harus berbagi shift kerja. Tidak tersedianya pemandu yang berkompeten dalam bidangnya juga menjadi halangan lainnya. Pekerjaan yang menumpuk dan harus diselesaikan pada saat bersamaan merintangi Pak Mulyono untuk memandu pengunjung yang datang berkeliling museum. Keinginannya atas penambahan jumlah pekerja dengan tujuan meringankan tugas-tugasnya yang saling tumpang tindih itu tak jua membuahkan hasil yang menggembirakan. Sementara ini, beliau terpaksa bertahan dengan kewajiban-kewajiban merawat museum ini.
            Mengenai kurang memadainya pemeliharaan dan perawatan museum, Djoko Dwianto kembali angkat bicara. Beliau menyampaikan keprihatinannya atas kondisi tersebut dan menyayangkan kurangnya koordinasi yang dijalin pihak pengelola dengan Dinas Kebudayaan. “Kadang-kadang orang dengan mudahnya mendirikan museum, tapi tidak dipikirkan dengan matang kesanggupan mereka untuk menyelenggarakan kelangsungan museum,” ungkapnya. Ia juga menyesalkan masih belum berjalannya komunikasi antara pihak pengelola dengan Dinas Kebudayaan sebelum pendirian museum. Hal ini bertujuan untuk merencanakan dengan matang penyelenggaraan dan pemeliharaan museum, termasuk suplai dana untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhannya. “Kasus semacam ini terjadi hampir di semua museum di Yogyakarta, kecuali museum yang dibina langsung oleh Dinas Kebudayaan, yaitu Museum Sonobudoyo,” tambah Djoko Dwianto. Masih menurut Djoko, status kepemilikan museum sebagai milik pribadi juga terkadang menyebabkan kurang optimalnya pengelolaan karena keterbatasan suplai dana. “Sayangnya, jika kondisi museum sudah mulai terlantar barulah bermunculan celetukan-celetukan yang mempertanyakan kontribusi pemerintah dalam pemeliharaannya,” kata Djoko.
            Menurut museologi (ilmu permuseuman), pendirian museum harus disesuaikan dengan jumlah kepadatan penduduk di lokasi yang bersangkutan. Dengan dasar ini, semestinya Kota Yogyakarta yang hanya seluas kurang lebih 3 km2 hanya memiliki dua buah museum. Akan tetapi, menurut data Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta justru menampung empat puluh museum. Untuk mengatasi masalah ini, Dinas Kebudayaan merencanakan pelaksanaan ‘uji petik’ dalam bentuk pembangunan dan pengembangan museum di Yogyakarta untuk meraih label museum bertaraf internasional. Program ini diaplikasikan pada dua buah museum, salah satunya adalah Museum Sonobudoyo yang dikelola langsung oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY dan lainnya adalah museum milik swasta. “Rancang detil bangunan sudah selesai. Tahun 2011 programnya adalah pembangunan fisik dan di tahun 2012 penataan dalam ruang museum,” jelas Djoko. Dengan program ini diharapkan dua museum objek akan menjadi model acuan pendirian museum lainnya.
Wayang Seiring Zaman
            Berawal dari ritual keagamaan masyarakat lokal Indonesia ketika menganut animisme dan dinamisme, wayang perlahan terangkat ke permukaan sebagai kesenian asli Indonesia. Ritual berupa pemujaan terhadap roh nenek moyang yang biasa disebut hyang atau dahyang  ini dahulu dipimpin seorang mediator yang dikenal sebagai syaman. Syaman inilah yang kemudian beralih tugas menjadi dalang dalam pertunjukan wayang hingga saat ini. Meskipun di waktu-waktu berikutnya berbagai budaya dari luar Indonesia turut mempengaruhi bentuk kesenian wayang itu sendiri, jenis seni yang satu ini tak pernah kehilangan jati dirinya. Seperti yang diungkapkan dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 6 mengenai asal-usulnya, wayang mampu bertahan di tengah serangan pengaruh lain karena sifat hamot, hamong, dan hamengkat yang menjadi landasan utamanya. Ketiga sifat ini merupakan kombinasi dari kemampuan untuk menerima pengaruh, menyaring nilai-nilai yang sesuai dari dalamnya, serta memangkatnya menjadi sebuah nilai baru.
            Bentuk pertunjukan wayang yang kini kerap dipentaskan di masyarakat ialah hasil dari akulturasi berbagai macam pengaruh budaya dan transformasi yang terjadi pada kesenian wayang. Fungsi awalnya sebagai ritual keagamaan pun telah berubah menjadi media pendidikan yang membawa pesan etika dan nilai-nilai hidup dalam tiap lakon. Tiap kisah yang dipentaskan selalu berakar dari konsep ‘sangkan paraning dumadi’ yang menggambarkan bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali pada-Nya jua. Berbagai hasil kreasi pemikiran dan adaptasi zaman pada wayang dapat dilihat sebagai buah dari perkembangan yang selalu dijalani kesenian ini demi kokohnya eksistensi.
            Berbincang mengenai perkembangan yang terjadi pada kesenian wayang, Pak Mulyono turut angkat bicara. Pria yang mengaku gemar menyaksikan pertunjukan wayang sejak kecil ini berpendapat, “Kesenian wayang saat ini masih hidup di masyarakat tapi, memang kondisinya tidak seperti dulu. Jarang ada yang mau menanggap wayang karena tidak ada lagi kewajiban untuk itu. Dulu tiap desa harus melakukan upacara bersih desa, salah satu tradisinya ya nanggap wayang.” Akan tetapi menurutnya, ditinjau dari segi variasi bentuk dan pagelarannya, wayang telah mengalami banyak kemajuan. Sayangnya, beberapa kemajuan ini berdampak pada kaburnya esensi kisah yang ditampilkan. Salah satu penyebabnya adalah penyisipan jenis-jenis kesenian lain yang pada awalnya bukan merupakan bagian dari pagelaran wayang, misalnya lawak dan campur sari. Jenis wayang ini dikenal dengan nama wayang garapan. Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DIY mengakui peluang munculnya kontroversi akan keberadaan kesenian wayang yang konvensional dan garapan ini. Namun, pihaknya sebagai pemerintah berusaha membiarkan keduanya bertumbuh dan mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan untuk mempertahankan eksistensinya.
            Pihak pemerintah daerah, dalam hal ini direpresentasi lewat Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata Provinsi DIY, menyatakan masih optimis dengan pertumbuhan dan perkembangan kesenian wayang. Hal-hal yang mengindikasikan pernyataan ini adalah masih banyaknya pelaku dan perajin wayang di Yogyakarta. Dinas Kebudayaan menyumbangkan kontribusinya dalam bidang pembinaan dan pendanaan bagi upaya-upaya pelestarian, tidak hanya bagi kesenian wayang melainkan juga bagi kebudayaan-kebudayaan tradisional lainnya. Kontribusi ini ditujukan pada para penggiat kesenian wayang, baik dalang, perajin, dan lain-lain. Museum Wayang Kekayon diakui Djoko memiliki peranan yang cukup besar dalam rangka pelestarian kebudayaan tradisional, dalam hal ini kesenian wayang. “Museum menyajikan bukti-bukti artefaktual baik itu kebudayaan maupun sejarah,” ujar Djoko.
            Kesenian wayang merupakan salah satu karya seni agung asli Indonesia yang menyajikan nilai-nilai luhur kehidupan. Sejak awal kemunculannya, wayang diminati begitu banyak orang sehingga mampu berkembang menjadi lebih matang dan melalui masa kejayaannya. Namun, ketertarikan masyarakat akan kesenian ini tampaknya semakin memudar seiring dengan perkembangan teknologi dan hiburan yang bergerak tanpa henti di lingkungan sekitar. Menipisnya minat masyarakat tentunya menipiskan pula kesadaran untuk menjaga dan melestarikan produk budaya ini. Sangat disayangkan, mengingat perjuangan para pelaku seni wayang yang begitu gigih untuk tetap berkarya. Meskipun dihimpit berbagai rintangan yang bersumber dari arus zaman, kemauan untuk terus mempertahankan eksistensi tak pernah lepas dari benak mereka yang mendedikasikan dirinya bagi kehidupan kesenian wayang. Baik Kepala Dinas Kebudayaan dan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi DIY menyampaikan harapannya agar para pelaku kesenian wayang tetap berjuang dalam bidangnya karena merekalah ujung tombak kelangsungan kesenian asli Indonesia ini. Pun masyarakat diharapkan mulai kembali menumbuhkan kepedulian dan apresiasi lebih pada kesenian wayang.
            Berbagai alasan yang menimbulkan keprihatinan pada kelangsungan kesenian ini tentunya patut untuk disikapi lebih lanjut. Ironis rasanya menyaksikan sebagian masyarakat Indonesia terus menghujat pengakuan hak milik atas sejumlah produk budaya Indonesia oleh negara lain sementara sebagian lainnya, atau tidak menutup kemungkinan mereka yang memaki itu pula, menelantarkan begitu saja aset kebudayaan mereka. Menumbuhkan kembali kecintaan terhadap tanah air yang mungkin telah meluntur belakangan ini memang tidak mudah, tapi bisa diusahakan bersama. Kesenian wayang dapat terus hidup selama masih ada kepedulian dan kemauan untuk menghidupinya. Melirikkan mata pada sulur-sulurnya, membuka telinga pada rintihannya yang kian melemah, mengulurkan tangan pada hasrat dan semangatnya untuk terus tumbuh meski gulma dan hama modernisme terus menggerogoti nasibnya.

Maria Puspitasari Munthe
Reportase bersama Rechardus Deaz Prabowo dan Richard Ochta David T.

pernah diterbitkan di majalah natas edisi 2010

Komentar

Postingan Populer