to be honest (or not to be)

Suatu Selasa sore, saya dan sejumlah teman berbincang. Rasa-rasanya bukanlah topik yang amat berat, akan tetapi jika diresapi lebih jauh kenyataan yang kami temukan tidak hanya demikian. Bukan berat, tapi berisi banyak sekali.

Perbincangan ini kami lakoni tidak dengan hanya duduk dan bercakap-cakap. Kami sempat bermain bersama. Ya, saya menyebutnya bermain. Bagian pertama disebut dengan 'olah tubuh'. Seorang teman bernama Doni Agung Setiawan yang sudah cukup lama bergulat dan bergulung di dunia olah tubuh mencontohkan sejumlah bentuk-bentuk tubuh untuk kami tiru. Hampir semuanya tak bisa kami lakukan dengan sempurna. Bahkan ada yang tak mampu sama sekali.

Di bagian akhir sesi tersebut, Doni Agung Setiawan mengajak kami bercakap-cakap. Dari pembicaraan tersebut, ketidakmampuan melakukan gerakan-gerakan yang ia contohkan ditengarai disebabkan oleh pikiran kami sendiri yang membatasinya. "Duh, nggak bisa," demikian biasanya kami membatin. Gara-gara satu kalimat ini saja, usaha apa pun bisa kandas dan ketidakmampuan itu akan jadi kenyataan. Inilah yang menurut Doni Agung Setiawan harus kami dobrak. Selama logika tubuh bisa menerima gerakan dan bentuk itu, tidak ada istilah 'tidak mungkin dilakukan'. Hal yang dibutuhkan hanya kemauan untuk mencoba. Tentunya perlu disadari bahwa ada resiko menderita cidera. Akan tetapi, demikianlah prosesnya harus berjalan.

Sesi kedua menjadi waktu untuk mengolah hal lainnya. Suara. Sebagian besar sudah biasa kami lakukan sehingga tidak terlalu menyulitkan untuk diikuti. Tantangan selanjutnya yang harus kami kuasai ialah kemampuan mempertahankan stabilitas suara yang (memang) ingin diciptakan meski harus dikombinasikan dengan gerakan-gerakan yang menghalangi produksi suara seperti biasanya.

Hal yang paling berkesan buat saya muncul di sesi ketiga. Kali ini giliran emosi, ekspresi, dan imajinasi yang diolah. Doni Agung Setiawan menyebutkan bahwa ada dua pilihan gaya yang bisa kami gunakan: alami atau palsu. Ia memaksudkan bahwa bentuk-bentuk emosi dan ekspresi dapat dipalsukan atau dibuat-buat tanpa harus lebih jauh mengutak-atik memori pribadi. Namun, metode pertama yang ia gunakan adalah "menemukan kenangan - mengingat-ingat kenangan - mengalami (mengekspresikan) ulang kenangan".

Nah, di sesi ini, meskipun saya juga harus berkonsentrasi pada diri saya sendiri, tak sengaja terlihat bagaimana teman-teman yang lain melakukannya. Doni Agung Setiawan hanya meminta kami menemukan empat jenis kenangan: gembira, sedih, marah, dan takut. Setelah melalui sesi ini, saya jadi mengerti bahwa ada sejumlah teman yang tidak pernah bisa marah atau bahkan tidak pernah mengalami ketakutan yang bisa diekspresikan. Menarik sekali.

Seusai sesi ketiga, Doni Agung Setiawan melontarkan sebuah frasa yang membuat saya menahan cengiran lebar menjadi hanya senyum simpul. Setelah saya rekonstruksi sendiri, begini kira-kira katanya, "Tujuannya adalah to be honest." Rasa-rasanya saya ingin tertawa terbahak-bahak. Menertawakan diri sendiri tentunya. Ya, to be honest or not to be, that is the question. :) Ya, emosi dan ekspresi bisa kita palsukan atau lebih-lebihkan (semacam yang lazim terjadi di sinetron), namun pertanyaannya adalah 'bagaimana jika kamu harus melakukannya dengan jujur?'

Saya rasa tulisan ini sampai di situ saja.

To be honest or not to be, that is the question.
Bagaimana jika kamu harus melakukannya dengan jujur?


hari kesebelas di bulan juni yang ke-dua ribu tiga belas

Komentar

Postingan Populer