to My Son the Fanatic
Kita pernah punya cerita yang mudah-mudahan tak akan lekang
dimakan usia. Tentang pertemanan yang sungguh seperti kepompong karena hal yang
tak mudah berubah jadi indah.
Ceritanya kita awali dengan sebuah perubahan. Bibir kita
yang biasanya hanya untuk mengumpat dan mengejek satu sama lain, kali ini harus
melafalkan kata-kata berbahasa lain yang kadang masih kita tebak-tebak pula
artinya. Tak cuma itu, mimik wajah yang kita akrabi setiap hari berkutat seputar
tawa dan kejahilan kali ini harus beralih jadi macam-macam rupa.
Kita bermain-main dengan waktu. Selalu begitu. Kita punya
sekian hari untuk dihabiskan dengan usaha-usaha menuju tanggal mainnya. Rasa-rasanya
hari-hari itu tidak beranjak ke mana-mana sebab kita tak sabar menanti ujung
ceritanya. Namun, sesekali si waktu semacam sosok sialan yang tiba-tiba berlari
entah ke mana sehingga tertinggallah kita dalam tumpukan pekerjaan yang juga
sama tak sabar menanti diselesaikan.
“… but one time it would come because the earth moved round
always.” Itu kata James Joyce melalui benak Dedalus. Ya, dan tibalah saatnya
berdiri di panggung sandiwara.
Terus kita berbicara untuk mengusahakan yang lebih baik. Kadang
tak sengaja memojokkan, menuding, berprasangka, bergosip. Maka, pemahamanlah
yang selalu mengantar kita pada kenyataan bahwa kita saling membutuhkan dan
sedang menjalani cerita yang sama.
Meski demikian, masih terus terulang kebodohan-kebodohan
kecil. Semuanya untuk kita tertawakan bersama di kala senggang.
Artifisial. Tentu semua rekayasa kita. Wajah, suara, pakaian,
cahaya, semuanya artifisial. Tapi, cinta yang kita beri untuk semua ini adalah
satu-satunya hal yang tidak artifisial.
Purna sudah satu cerita kita.
Ada lelah dan sedih yang turut terbawa pulang, namun syukur
tulus untuk semua cerita sederhana ini mudah-mudahan tetap bertumbuh di hati. Tumbuh
layaknya kuntum manis dari kekasih hati…
dan semua hal tak mudah
telah kita ubah jadi indah
geng bunga matahari rocks!
Komentar
Posting Komentar