(ke)sepi(an)
Katanya kita kesepian. Kata siapa? Kata kita sendiri
sepertinya.
Sepertinya ini adalah salah satu istilah yang baru aku
temukan ketika mulai beranjak dewasa. Jarang sekali kudengar seorang apalagi
beberapa bocah yang menyatakan dirinya kesepian. Ketika aku bertumbuh menapaki
jenjang usia remaja, saat itulah aku membedakan dengan sadar kondisi yang
bernama ‘kesepian’ dari kondisi lainnya.
Meski kerap diduga tidak nyaman, toh kerap pula kesepian itu
dicari. Biasanya di hari-hari yang terasa terlalu ramai. Dalihnya keinginan
untuk menenangkan diri. Namun, tak jarang pula kesepian dihindari. Kali ini
dalihnya, “Siapa yang tahan berdiam sendiri tanpa kawan?”
Bagaimana jika kali ini aku beri kesempatan untuk kesepian
menjadi teman bicara? Sering kali kesepian berbicara padaku tentang betapa
berartinya teman-teman yang sering mengelilingiku. Kali lainnya kesepian juga
menceritakan kisah tentang kebosanan menghadapi orang yang sama, cerita yang
sama, tingkah yang sama, pemikiran yang sama, dan banyak hal lain yang sama. Sepertinya
ia jujur. Aku percaya ia jujur.
Oh iya, kesepian juga beberapa kali melakukan hal
menyebalkan. Ia melagukan kekosongan besar yang selama ini ditutupi dengan
cengir lebar demi tampak kuat dan orang lain tak akan bertanya tentang
kekosongan tersebut. Kesepian bertanya nyaring, “Mengapa tak berani bermuka sedih?”
Jangan-jangan memang berlari dari kekosongan dan berusaha melupakannya. Mungkin
disusul doa tak sadar supaya berlari dan melupakan dapat menyelesaikannya. Doa
sia-sia.
Buatku kesepian bukan tentang absennya bunyi. Kesepian
justru sering kali berteriak lantang, meneriakkan apa yang selama ini mungkin
ditolak didengar. Kesepian kadang membuatku merasa seperti robot yang terus
bergerak karena program dan bukan karena rasa. Mengerikan. Robotnya yang
mengerikan, bukan kesepiannya.
Ternyata kesepian bisa bicara. Coba balas kata-katanya.
untuk Fauzan
Komentar
Posting Komentar