Sermo: Sebuah Memoar (Bagian 1)
Warnanya cokelat. Setidaknya begitulah yang banyak
tertangkap oleh hasil jepretan lensa kamera. Sesekali hijau.
Saya berkenalan dengannya pertama kali di tahun 2010. Saya
menginjakkan kaki di sana untuk pertama kalinya karena sebuah keputusan bunuh
diri yang terlanjur saya ambil sebelumnya. Tapi, ya sudahlah, saya pertanggung
jawabkan saja keputusan terburu-buru itu. Menurut beberapa orang, ada yang
terlewatkan dalam pertemuan pertama kami dengan Sermo kala itu: kula nuwun. Semuanya masih baik-baik
saja hingga tiba saatnya bersiap bermalam di sana untuk beberapa hari. Kami
menghampiri Sermo dengan serangkaian kejadian nahas. Satu per satu kabar
kecelakaan menyambangi telinga saya. Kabar terakhir di malam itu datang ketika
saya terjebak hujan deras yang memaksa rombongan saya menunda melanjutkan
perjalanan ke Sermo meski hanya sekitar 10 menit lagi kami akan sampai. Saya
lupa bagaimana persisnya perasaan saya saat itu, yang jelas seperti ada yang
memukul dada saya. Saya gagap menjawab kabar yang disampaikan lewat telepon
itu. Setelah telepon itu, tiap ada teman yang melemparkan guyonan, saya hanya
tersenyum terpaksa.
Sebab hujan tak kunjung reda sementara kami harus segera
tiba, saya dan rombongan yang berteduh langsung tancap gas menuju Sermo. Tiba
di sana, saya sungguh kebingungan. Makin terbukti bahwa keputusan yang saya
ambil dulu itu sungguh-sungguh tindakan bunuh diri. Saya tidak tahu harus
berbuat apa, mengarahkan sesuatu pun tidak tepat, meminta sesuatu ditolak,
memberi sesuatu ternyata tidak dibutuhkan. Saya hanya menunggui hujan. Hujan
yang terus mengguyur itu malah membangkitkan kecurigaan teman-teman saya. Mereka
merasa ada yang tidak pas dengan hujan itu. Seakan-akan hujan merupakan pertanda
selamat datang yang tidak ramah. Mereka masih bisik-bisik sehingga saya juga
belum paham. Saya baru mengerti keadaannya ketika segerombol orang keluar dari
ruangan yang tadinya dikunci dan tidak boleh dimasuki siapa pun. Ternyata
mereka habis berdoa, berusaha menghentikan hujan. Satu di antara mereka keluar
dari ruangan sambil menggelengkan kepala dan bergumam, “Susah. Dia nggak mau.” Siapa pula ‘dia’?
Saya mulai paham siapa yang mereka maksud dengan ‘dia’ itu
ketika tercetus sebuah usulan yang disepakati untuk dilakukan berupa memanggil
bala bantuan yang lebih mumpuni untuk mengurusi hujan ini. Datanglah dari ujung
lain kota ini dua orang pemuda—berhujan-hujan—untuk mencoba negosiasi yang
lebih baik dengan si ‘dia’. Beberapa waktu kami menanti sambil berlagak tenang
sementara dua pemuda itu menyalakan dupa di tengah lapangan yang diguyur air
hujan. Nyala kok. Namun, malah tersambar ban mobil yang tidak sadar ada benda
itu di sana. Seketika semua orang kalang kabut: teman saya bernama Samson
berlari mengejar mobil itu untuk menghentikan supirnya, dua pemuda tadi lari
menuju dupa, saya bingung tidak karuan. Si supir mobil diminta untuk meminta
maaf (entah dengan cara apa) pada ‘dia’ yang dihadiahi dupa itu. Setelah itu,
dupa coba dinyalakan kembali. Tak sampai sepuluh menit berselang, baranya mati.
Dinyalakan lagi, mati lagi. Begitu seterusnya hingga akhirnya dua pemuda yang
sudah berdiri di sebelah saya ini menggerutu. Salah satunya berujar, “Wah jan, goro-goro kae lho! Ket mau neng
kono, ra gelem.” Kurang lebih artinya, “Wah, gara-gara itu lho! Dari tadi
di sana, nggak mau.” Saya makin
bingung sebab pemuda itu menyebut ‘kae’
sambil menuding bagian atas sebuah pohon di pojok. Saya mulai paham dan memilih
untuk tidak bertanya apa-apa karena saya memang tidak melihat apa-apa selain
langit.
Singkatnya, hujan sedikit mereda malam itu. Kami bisa
melanjutkan persiapan hingga hari berganti. Siang itu kami menunggu peserta
malam keakraban menyusul kami di Sermo. Tibalah mereka sambil dihujani rintik
gerimis. Kegiatan sore hari itu harus dipindah lokasi bolak-balik dari dalam
ruangan ke luar ruangan serta sebaliknya karena hujan yang turun lalu reda,
lalu turun lagi, kemudian reda lagi. Saya merasa dikerjai. Teman-teman
mengiyakan. Sudahlah, saya tidak terlalu paham hal-hal semacam itu maka saya
mengalihkan pikiran ke hal yang lain.
Pagi hari kedua membawakan harapan yang membuat kami sedikit
berbunga-bunga. Hari ini sepertinya akan cerah. Kami memberangkatkan
teman-teman peserta untuk berjalan kaki menyusuri wilayah Sermo. Setibanya
kelompok pertama di pos paling akhir, tiba-tiba awan hitam menggulung cepat
bergulir dan menghujani kami sederas-derasnya. Acara dibubarkan, semua orang
dikembalikan ke perkemahan. Ternyata perkemahan pun amburadul. Semua orang
basah sore itu. Malamnya hujan sudah reda, tapi kami tetap basah. Beberapa
orang basah air mata karena terpaksa mengantar pulang teman-teman peserta.
Perasaan saya? Remuk.
Keesokan harinya kami menutup perjumpaan dengan Sermo dengan
mengemasi semua barang. Kami sempatkan berfoto di gunungan Sermo yang ternama
itu. Di foto itu, kami tampak bahagia. Tampak bahagia. Dalam beberapa hari
sepulang dari sana, saya mendapati kabar buruk masih terus menyambangi telinga
saya. Seorang teman tertimpa musibah kecelakaan yang cukup parah, seorang
lainnya pingsan dan sakit. Saya teringat cerita teman-teman (entah burung atau
bukan) mengenai pengalaman mengunjungi Sermo dua tahun sebelumnya. ‘Dia’ ikut
pulang bersama mereka. Saya kalut sekali waktu itu. Menemui seorang teman lalu
menangis sejadi-jadinya karena ketakutan. Takut hal yang serupa terulang dan
teman-teman kena akibatnya. Untungnya, semua hal dapat berjalan dalam kendali
kami dan mereka yang sakit dapat segera pulih. Sermo ternyata tidak suka diajak
main-main.
akan ada sambungannya...
ingat sermo pas ini...terjebak di pos kayu putih gak ada yang jemput hahahhahahhaa
BalasHapusSermo yang bagian ini, sungguh mengesankan tapi mengenaskan.hihiii
BalasHapusHahaha....ngangeni kan ya. Iya, sekarang. Dulu pas kejadian ya kalang kabut hampir mati. :')
BalasHapus