Sermo: Sebuah Memoar (Bagian 2)



Tahun berikutnya, kami kembali ke Sermo lagi. Kali ini dengan santun dan persiapan lebih. Kami tak mau lagi diombang-ambingkan badai. Sermo jadi lebih cokelat. Lapangannya sebagian besar botak, bahkan rumputnya pun bersalut debu sehingga warnanya kekuningan. Sermo ternyata jauh lebih bersahabat tahun ini. Kami bermalam di sana 4 hari 3 malam dan tetap sehat. Kami sempat menunggui matahari terbit setiap pagi dan bersenang-senang di malam hari. Teman-teman lama dan tua pun turut mengunjungi kami di Sermo. Dini hari kedua, seorang teman yang biasa dipanggil Mas Sugeng berkelakar. Saya tengah berusaha tidur dalam posisi duduk memeluk lutut di sisi tembok bertangganya Sermo ketika Mas Sugeng berbicara dengan Samson yang juga masih terjaga. Mas Sugeng memprotes arah parkir kendaraan roda empat. “Kuwi ngopo mobil sakmono akeh e parkir madep kono? Piye nek tiba-tiba ono panitia sing titit e kekethok? Ndadak atret! Suwi!” Kira-kira artinya, “Kenapa semua mobil itu parkir menghadap ke sana? Bagaimana kalau tiba-tiba ada panitia yang burungnya terpotong? Harus mundur putar kepala dulu! Lama!” Samson terkekeh keras. Saya lemas, kelelahan. Tapi, saya sadar Mas Sugeng tidak sedang berkelakar, ia justru sedang memprotes keras teknis yang tidak tepat. Posisi parkir yang membuat mobil menghadap ke dalam itu tidak sesuai dengan standar penanganan kondisi darurat. Mestinya kepala mobil menghadap jalan keluar agar mudah digunakan dengan segera. Terima kasih Mas Sugeng.

Belum setengah jam saya tertidur, saya dibangunkan lagi karena memang sudah waktunya bergegas menyiapkan acara selanjutnya. Hari masih gulita, setengah sadar saya berdiri di pinggir lapangan. Menggigil kecil karena anginnya Sermo begitu menggigit. Kami akan memberangkatkan teman-teman peserta makrab ke perjalanan dini hari. Rekan saya yang berkepentingan, Adul dan Sakha, pamit untuk ikut mengiringi dan mendahului peserta menuju lokasi akhir perjalanan. Saya akhirnya memutuskan untuk berjaga di perkemahan, membantu persiapan yang lain. Setelah mereka berangkat, saya duduk sendirian di tepi lapangan. Tibalah Wowok dari dapur melapor pada saya bahwa air sudah mendidih dan siap diantarkan. Dengan polosnya saya berkata pada Wowok, “Oke Wok. Makasih. Dianter ke hutan pinus ya, Adul sudah di sana.” Wowok tidak protes. Ia hanya menimpali, “Ada senter, Pit?” Saya segera mencarikan senter lalu memberikannya pada Wowok yang sudah menenteng satu wadah besar air panas. Setelah senter ada di tangannya, Wowok tidak kunjung berangkat. Lalu ia berujar lagi, “Jaketku yang tadi kamu pakai untuk selimut mana ya, Pit?” Saya bergegas mencarinya. Tidak ketemu. Akhirnya saya menyerahkan jaket saya ke Wowok. Dia tadinya menolak namun, saya berdalih bahwa saya tidak perlu keluar dari perkemahan sehingga saya tidak akan kedinginan di lapangan ini. Wowok akhirnya mau mengenakan jaket saya dan berangkat mengantarkan air panas.

Berbulan-bulan setelahnya barulah Adul bercerita pada saya bahwa suara Wowok lebih dahulu tiba di hutan pinus ketimbang tubuhnya. Wowok ternyata mengumpat sepanjang jalan. Saya lantas bertanya alasan Wowok mengumpat. Ia menjawabnya demikian, “Kowe ki ra peka! Aku ki jaluk dikancani!” Wowok memarahi saya yang tidak peka karena sebenarnya dini hari itu Wowok minta ditemani berjalan ke hutan pinus. Saya tertawa keras-keras dan membela diri, “Lha kan waktu itu kamu cuma minta senter sama jaket, Wok. Lha ya tak kasih.” Wowok kembali mengomel menjelaskan bahwa itu hanya kedok yang gagal saya pahami. Jalur menuju hutan pinus itu berbatu dan diapit pepohonan agak rapat. Memang sudah ada beberapa lampu minyak yang dipasang di sepanjang jalur itu tapi, tetap saja gelap. Ternyata Wowok hanya butuh teman. Senter dan jaket tidak cukup baik untuk jadi temannya. Maaf ya, Wok.

Wowok jadi bintang di Sermo tahun itu. Sebelum kejadian mengumpat di jalan ke hutan pinus itu, ia sempat bikin heboh panitia lewat saluran HT. Sore itu peserta makrab baru saja menyelesaikan trekking. Jadwal selanjutnya buat mereka adalah mandi. Maka, diumumkanlah himbauan pada para peserta untuk bergantian mandi. Lokasi kamar mandi Sermo mengapit dapur—yang tahun itu jadi markasnya Wowok, si koordinator konsumsi. Terang saja Wowok punya banyak interaksi dengan kamar mandi. Nah, setelah himbauan mandi itu tersiar, tiba-tiba Wowok berusaha membatalkan jadwal mandi. Ia mengabarkan lewat HT dengan nada panik, “Peserta jangan disuruh mandi dulu, ada semangka di kamar mandi!” Saya bingung mau jawab apa. Saya tidak paham apa yang dimaksud Wowok. Daripada bingung bincang-bincang lewat HT, saya memilih mendatangi langsung kamar mandi yang menghebohkan itu. Setibanya di dapur, saya menemui Wowok dan bertanya. Ia langsung menjawab, “Iki lho!” sambil menuding semangka di meja dapur. “Ini tadi ada di dalam kamar mandi cewek.” Masalah selesai. Peserta akhirnya boleh mandi lagi. Usut punya usut, semangka utuh itu bisa ada di kamar mandi akibat ulah seorang teman kami bernama Aryo Baskoro. Ia berbelanja semangka (tertipu pedagangnya pula!) lalu berusaha mendinginkannya dengan meletakkan buah itu di kamar mandi. Iya, saya tahu, tindakan itu memang tidak jelas. Namun, masalah masih tersisa berupa kebingungan saya atas perilaku Wowok. Mengapa dia begitu takut pada semangka di dalam kamar mandi sampai-sampai ia melarang peserta mandi? Mengapa tidak langsung dikeluarkan saja (seperti yang akhirnya ia lakukan)? Mengapa Wowok heboh? MENGAPA? Sampai saat ini, setelah hampir 3 tahun berlalu, saya tetap tidak menemukan jawabannya.

Tahun itu saya sempat memanjakan keinginan saya pribadi untuk duduk di puncak gunungan Sermo menikmati sore yang cerah sambil melihat aktivitas di perkemahan. Hanya sebentar memang. Tapi, cukuplah untuk membuat saya punya gambar di kepala mengenai Sermo yang manis.

Ada-ada saja tingkah teman-teman saya tahun itu. Pernah terjadi sebuah tenda dome terbang dari lokasi seharusnya dan mendarat di lapangan bawah. Leo, seorang panitia penjaga keamanan, panik waktu diberi tahu sebab menurut pengakuan Leo ada Amor (panitia lainnya) yang sedang tidur di dalamnya. Saya juga sempat membangunkan teman-teman petugas dokumentasi di pagi hari dan meminta mereka memotret acara senam pagi itu. Kalang kabut mereka bangun. Seorang di antaranya saya temukan sedang berdiri di tepi lapangan, menggenggam kamera di tangannya, dengan mata tertutup. Saya takut Dias (nama bocah aneh ini) tertidur dalam posisi berdiri; dia bisa jatuh. Saya goncang-goncang tubuhnya sambil memanggil namanya. Dias langsung menyahut, “Aku nggak tidur, Mbak!”. Saya makin bingung, “Terus, kenapa merem?” Dias mengeluarkan jawaban ini, “Mataku masih blereng kena sinar, bentar lagi bisa melek kok.” Ada-ada saja.


Sermo baik sekali tahun itu. Cuacanya baik untuk kami beraktivitas. Sempat turun gerimis sebentar di malam kedua. Meski persiapan sedikit lebih baik, darah saya berdesir lagi mengingat tahun sebelumnya. Saya akui, ketika gerimis itu turun, saya kalap. Semua orang yang tersedia saya mintai tolong untuk menyiapkan tempat beratap. Saya berdoa sungguh-sungguh dalam hati, semoga tidak terulang lagi badai macam sebelumnya. Saya berkomunikasi lewat HT dengan siapapun yang memegangnya. Saya dan Sakha sepakat bagi tugas mengurusi lapangan bagian atas dan pendopo bawah. Adul sedang offline sebab ia jadi penampil dua kali malam itu. Saya kaget ketika terdengar suara Adul memanggil lewat HT padahal HT Adul sedang saya kantongi dalam keadaan mati. Saya dan Sakha dipanggil ke tepi panggung. Ketika melihat Adul, saya berusaha menahan tawa. Mukanya serius sekali (nampaknya ia juga panik) namun, pakaiannya sungguh tidak serius. Ia berbicara dengan kami dalam balutan kostum pom-pom boys. Adul pakai rok dan tanktop, wajahnya berrias. Ternyata, hujan tidak jadi turun malam itu. Sermo menjaga kami dengan baik tahun itu.



masih ada lagi sambungannya...

Komentar

Postingan Populer