Sermo: Sebuah Memoar (Bagian 3)


Di tahun 2007 dan 2008, makrab ajaib ini juga diselenggarakan di Sermo. Lalu, di tahun 2010 dan 2011 kami kembali lagi. Pilihan ini bukannya tanpa alasan, justru malah menandakan bahwa Sermo ini cukup pas untuk mengakomodasi hal-hal yang kami rencanakan. Sudah empat kali Sermo disambangi oleh gerombolan beridentitas sama. Tahun berganti, Sermo nampaknya tetap up to date (atau kami yang stagnan?) di tahun 2012. Maka, kami ke sana lagi. Rasa-rasanya memang sudah kenal, sudah mengakrabi setiap sudutnya. Tapi, Sermo tetaplah area di mana kita bisa melihat hewan-hewan (terutama serangga) yang sepertinya baru pertama kali kita lihat. Ada begitu banyak hal ajaib dan baru tentang Sermo setiap tahunnya. Maka, kami sadar untuk tidak main-main menghadapinya terlepas dari keakraban kami di tahun-tahun sebelumnya.

Di tahun 2012, kami menghabiskan waktu yang lebih singkat di Sermo. Biasanya kami bermalam di sana 4 hari, kali ini hanya 3 hari. Sama, cuaca Sermo juga cukup bersahabat di kesempatan ini. Akan tetapi, kali ini kami tiba di Sermo lebih awal. Siang yang amat panas (ngentang-ngentang) membuat kami berpeluh banyak sekali waktu menurunkan berbagai macam barang bawaan dari bak truk yang disewa. Sermo masih tetap cokelat. 2 tahun belakangan, kami selalu melakukan ritual menyiram tanah lapang sebelum semua persiapan dimulai. Tujuannya supaya tidak terlalu berdebu dan mengurangi hawa panas. Tahun 2010, jangan ditanya. Tanah lapang Sermo sudah becek lebih dahulu. Oh iya, bagi mereka yang sudah bertahun-tahun mengunjungi Sermo, pastilah kenal dengan seorang laki-laki yang kerap dipanggil Mas Rianto. Dia adalah pengurus Gerakan Pramuka Kwarcab Kulonprogo yang membawahi pengelolaan Bumi Perkemahan Sermo. Beberapa kali ia menyapa akrab teman-teman angkatan atas yang tentunya juga sudah lama kenalan dengannya.

Secara umum, Sermo berlaku baik juga pada kami tahun itu. Sampai dengan seekor hewan membuat heboh. Semua peserta dan sebagian besar panitia sedang ada di hutan pinus siang itu untuk acara diskusi. Cuacanya memang panas betul, semua orang kipas-kipas. Saya dan beberapa teman memilih untuk leyeh-leyeh istirahat di bawah rindang pohon. Sebagian yang lain mengisi waktu luang dengan menggali umbi tanaman yang saya tidak ingat persis itu jenisnya apa, entah kencur, jahe, atau kunyit. Kemungkinan besar kunyit. Ada banyaaaaak sekali tanaman itu di sana. Mereka baru berhenti membongkar umbi tanaman ketika diingatkan bahwa itu mungkin milik petani sekitar dan lebih baik jangan diambil. Mereka memang berhenti namun, sambil menenteng satu plastik umbi yang telah telanjur dibongkar.

Nah, sementara siang yang terik itu membuat kami malas melakukan apa pun, suara-suara dari saluran HT menggungah kami untuk bangkit. Informasinya tidak terlalu jelas. Saya baru mengetahui ada yang tidak beres ketika seorang teman dari kelompok Kemah Ceria mendatangi kami di hutan pinus untuk mencari Gondes, si koordinator keamanan. Setelah kasak-kusuk, pergilah Gondes kembali ke perkemahan. Saya bertanya pada teman-teman yang ikut kasak-kusuk tadi. Jawabannya, “Ada (orang) yang diseruduk babi.” Saya takjub. Saya tanya lagi yang lainnya, ia menjawab, “Tadi ada yang lagi bawa galon, lalu tiba-tiba ditabrak babi.” Saya tambah bingung, berusaha mencari tahu siapa yang tertabrak babi. Seorang lainnya memberi kabar begini, “Ada babi sebesar galon nubruk orang.” Tidak ada satu jawaban pun yang menolong.

Sementara terjadi kebingungan di hutan pinus, teman-teman yang ada di lahan perkemahan juga sudah berhenti memberi kabar. Entah ke mana atau apa yang sedang mereka lakukan. Seusai aktivitas hari itu, barulah Adul bercerita bahwa setelah berita tentang babi itu tersebar, Eric dan teman-teman lain yang tadinya sedang kelelahan malah jadi bergairah kembali. Eric langsung menghunus golok dan berjalan keluar tenda sambil berkata, “Mana makan malam kita?” Mereka sungguh-sungguh berkeliling mencari hewan yang tiba-tiba jadi kondang itu. Berkaitan dengan berita yang simpang siur, seorang teman lain dari Kemah Ceria yang akhirnya bercerita pada saya mengenai kejadian sesungguhnya. Mereka sedang istirahat siang di sekitar tenda mereka ketika tiba-tiba Dito (salah seorang dari mereka) datang dalam kondisi berkeringat dan langsung menjatuhkan diri di dalam tenda. Lainnya tidak begitu menghiraukan sampai dengan Dito bersuara, “Ono babi neng kene. Aku bar ditubruk.” Artinya, “Ada babi di sini. Aku baru saja ditabraknya.” Hebohlah mereka seketika. Ternyata cerita yang benar adalah: Dito sedang membantu teman-teman konsumsi memindahkan galon berisi air. Ia mendengar suara berkeresak dari semak-semak. Baru berniat mencari tahu, sesuatu dari balik semak itu melompat keluar dan menabrak tubuhnya. Dito jatuh, galon yang tengah dibawanya menggelinding. Babi itu lalu lari meninggalkannya (Kalau ceritanya salah, tolong diperbaiki ya). Sayang, Eric tidak jadi makan malam pakai daging babi. Hewan itu tidak ketemu.

Masih tentang hewan. Pada malam pertama kami menginap di Sermo, saya tidur di mobil bersama Anik dan Sakha. Karena lumayan lelah, saya tidak bisa langsung tertidur. Sambil berusaha tidur, saya memejamkan mata. Tiba-tiba terdengar suara seperti geraman yang cukup kencang. Saya bangun dengan panik. Saya melihat ke arah Sakha dan Anik, dua-duanya kelihatannya sudah tidur. Saya mencoba merem lagi. Suara itu datang lagi dan makin kencang. Ketika saya lihat Sakha bergerak sedikit, saya tahu dia juga belum tidur. Maka langsung saya sambar kesempatan untuk bertanya, “Itu suara apa, ya?” Dengan masih merem, Sakha menjawab santai, “Macan.” Saya tidak terima begitu santainya dia menjawab ada hewan buas di luar sana. Karena tidak ada penjelasan lebih lanjut, saya menyimpulkan itu bohong. Tapi, ya saya tetap tidak paham itu suara apa.

Ketika pagi tiba, saya menceritakan pengalaman itu kepada beberapa teman yang lain. Usut punya usut, mobil yang saya pakai tidur di malam sebelumnya itu diparkir bersebelahan dengan sebuah mobil lainnya. Misteri auman itu terkuak sudah. Ternyata, seorang panitia tidur di dalam mobil yang diparkir di sebelah mobil kami tadi malam. Namanya Kanzy. Dia mendengkur. Seperti macan. Saya benar-benar lega sekaligus takjub. Lega karena Sermo tidak jadi kedatangan hewan buas. Takjub karena dengkuran Kanzy bisa menembus kaca mobil dan terdengar seperti auman macan.

Seperti biasa, setiap kali akan pulang dari Sermo kami selalu bergambar di gunungannya yang ternama itu. Setelah semuanya beres, pulanglah kami.

Bahan perbincangan tentang Sermo tak kunjung habis. Sebenarnya, makrab itulah yang membuatnya jadi begitu akrab dengan kami. Ada banyaaaaaaaak sekali hal yang tidak sanggup saya ceritakan di sini. Mereka yang pernah berkunjung ke sana mungkin kenal dengan pendopo yang teduh itu, pohon-pohon kayu putih dan pabriknya di pinggir sungai, kamar mandi yang konon angker dan tak pernah dipakai, pintu saluran air yang baunya sangat tidak enak, gardu pandang, gunungan, dan waduk tempat memancing dengan papan peringatan bertulisan “Bahaya, dilarang memancing.”


Ternyata rindu juga padanya. Mungkin lain kali asyik juga bertandang ke sana. Saya pasti jadi amat sentimentil jika tiba lagi di sana. Patutlah berterima kasih pada Sermo. Mudah-mudahan ada kesempatan untuk bertemu lagi dengannya, bertamu ke rumah teman lama. J



sudah habis sambungannya.



Komentar

Postingan Populer