Hidup Dari Absurditas
tadi malam, saya habis berbincang dengan seorang teman satu kost yang juga kebetulan satu prodi dan satu UKM di kampus. entah kebetulan atau memang kita memiliki kemiripan dalam banyak hal seperti nasib dan kepribadian, malam itu kita membahas banyak hal. namun, secara garis besarnya kami menceritakan keminderan masing-masing yang ternyata telah cukup lama tumbuh dan bercokol dalam diri kami. hal ini menimbulkan kegoncangan besar dalam hidup kami yang kami kira sudah sangat matang (dalam artian, cukup nyaman dan bahagia untuk dijalani). atau katakanlah, kami merasa diri kami sebelumnya sudah menemukan seperti apa kami sebenarnya. namun, lingkungan yang kini berputar di sekitar kami membuat kami kembali merombak keyakinan itu dan bahkan malah meragukannya. tanpa sadar kami pun menciptakan diri kami seturut citra orang-orang yang ada di sekeliling kami. entah kami terjajah atau tidak, tapi jika dipikir-pikir banyak hal dalam kehidupan kami yang akhirnya dikontrol oleh mereka-mereka yang selama ini kami idolakan. perlahan mereka menyetir pola pikir kami, gaya bicara kami, dan yang paling sulit adalah mengubah diri kami menjadi bukan diri kami sebelumnya.
dari pandangan mereka tentunya pendidikan ini merujuk ke arah perbaikan namun, bukankah kebaikan itu subyektif pula? ya, baik menurut mereka...tapi pada kenyataannya tidak dianggap baik oleh lingkungan lainnya yang dulu mendidik dan membentuk saya. banyak sekali halangan yang merintangi perjalanan saya menuju titik di mana saya berharap bisa mengimbangi superioritas mereka. di sini pun saya haru skembali bertanya, superioritas macam apa yang saya maksudkan? saya mengakui (ini sungguh bukan bentuk kesombongan) bahwa selama ini saya dianggap superior oleh lingkungan sekitar saya. saya terbiasa menjadi andalan dan jalan keluar bagi banyak orang. tapi, asumsi bahwa diri saya adalah diri yang matang ini tiba-tiba dirobohkan tanpa ampun lewat rasa minder yang otomatis muncul ketika menyaksikan perubahan yang sangat signifikan di sekitar saya. SAYA SANGAT INFERIOR!
ada baiknya memang, melalui rasa malu saya menumbuhkan kemauan untuk belajar dan memperbaiki kualitas hidup supaya setidaknya bisa mengerti kehidupan mereka, syukur-syukur bisa mengimbangi. namun, setelah saya coba jalani saya menghadapi begitu banyak kendala yang sangat berat untuk dilewati. tidak hanya berkaitan dengan motivasi tapi juga dukungan dari lingkungan. pelan-pelan saya mencoba mencari tahu kenapa saya begitu kesulitan untuk mengikuti jalan hidup para dewa-dewi duniawi yang saya sembah superioritasnya ini. dan tersadarlah saya, bahwa ternyata standar superioritas yang mereka ciptakanlah yang selama ini menghalangi pertumbuhan saya. standar ciptaan mereka adalah intelektualitas. dan saya bukan seorang intelektual. tapi, saya sungguh ingin menjadi intelektual walaupun saya tahu usaha dan proses untuk mencapainya menuntut begitu banyak pengorbanan dan rasa sakit.
sementara itu, selama ini saya dianggap superior dengan standar yang sangat berbeda. orang-orang melihat saya memiliki kematangan dalam berpikir dan bertingkah laku yang dilandasi dengan pengelolaan emosi yang baik. wah, saya memang ge-er dan sombong mengenai hal ini. saya berusaha untuk menghindari perbuatan pamer tapi tetap saja saya tidak bisa membiarkan sesuatu berjalan tidak seperti yang saya rencanakan. obsesi menjadi pegangan semua orang jugalah yang mendidik saya untuk berlatih menjadi pendengar yang baik dan jalan keluar bagi permasalahan emosional. mama lauren? bukan, saya bukan tipe seperti itu. hanya saja, walaupun apa yang saya lontarkan itu tidak terlalu berefek bagi pelaksananya, saya berhasil membuat diri saya bahagia atas ucapan "terima kasih" dari mereka yang mendapatkannya atau sekedar mendengar berita bahwa permasalahan sedikit tersederhanakan. superioritas ini membuat saya terlena dan lupa bahwa banyak hal yang perlu saya kejar untuk menjadi superior di bidang-bidang lain, terutama yang saya harapkan tadi, intelektualitas.
sekalipun saya berusaha keras untuk menjalani proses menuju kedewasaan intelektual, saya menghadapi kendala-kendala dasar yang berkaitan dengan kepribadian saya. absurd. kata teman saya, arti kata itu adalah ketiadaan makna. hmmm...bukan berarti saya tidak punya tujuan hidup (walaupun saya memang belum bisa menentukannya) tapi, saya sedang dalam proses perbaikan kualitas diri. saya selalu mengingatkan diri saya untuk berhenti memuja dan meniru orang lain hanya supaya bisa memperoleh ketenaran yang sama. hal-hal baik dari banyak orang memang boleh saya teladani tapi bukan untuk menjadikannya sebagai identitas pribadi, karena menurut saya itu plagiat namanya. saya selalu melakukan banyak hal yang bisa dikategorikan childish di setiap kesempatan. saya punya standar popularitas yang berkaitan dengan kemampuan muncul di keramaian sebagai biang keonaran. entahlah, jangan tanyakan mengapa saya bisa berpikir seperti itu. nah, kesulitan yang saya alami adalah...mereka yang superior dalam intelektualitas itu kurang mampu menerima absurditas dalam banyak hal yang saya jalani dengan tujuan bersenang-senang. saya sangat mengerti tuntutan untuk berubah dan menjadi dewasa selalu mengekor saya, mengetuk punggung saya minta diperhatikan. oke, saya selalu berusaha untuk itu, in progress. tapi, jika untuk menjadi seperti yang mereka harapkan saya terpaksa meninggalkan kegembiraan yang saya dapatkan dari hal-hal absurd ya...saya merasa belum sanggup. memang apa yang salah sih dari absurditas? toh saya hanya melandaskan hal itu pada perkerjaan-pekerjaan yang tidak diprioritaskan. saya hanya mencari kebahagiaan saya melalui hal-hal semacam itu untuk melepaskan penat setelah memaksa otak saya bekerja (padahal otak saya malas bekerja).
yah, sekali lagi...hidup itu pilihan. saya sekarang ini sedang menjalani hidup dengan multi kepribadian. banyaknya lingkungan yang berbeda yang saya tinggali menuntut saya untuk selalu fleksibel menyikapi perubahan-perubahan itu. saya dalam proses, saya sedang digodok supaya lebih matang, saya pasti bisa mencapai kemajuan dalam perbaikan kualitas diri. doakan saja supaya dapat berjalan lancar, sementara itu saya masih selalu butuh bimbingan lho...
dari pandangan mereka tentunya pendidikan ini merujuk ke arah perbaikan namun, bukankah kebaikan itu subyektif pula? ya, baik menurut mereka...tapi pada kenyataannya tidak dianggap baik oleh lingkungan lainnya yang dulu mendidik dan membentuk saya. banyak sekali halangan yang merintangi perjalanan saya menuju titik di mana saya berharap bisa mengimbangi superioritas mereka. di sini pun saya haru skembali bertanya, superioritas macam apa yang saya maksudkan? saya mengakui (ini sungguh bukan bentuk kesombongan) bahwa selama ini saya dianggap superior oleh lingkungan sekitar saya. saya terbiasa menjadi andalan dan jalan keluar bagi banyak orang. tapi, asumsi bahwa diri saya adalah diri yang matang ini tiba-tiba dirobohkan tanpa ampun lewat rasa minder yang otomatis muncul ketika menyaksikan perubahan yang sangat signifikan di sekitar saya. SAYA SANGAT INFERIOR!
ada baiknya memang, melalui rasa malu saya menumbuhkan kemauan untuk belajar dan memperbaiki kualitas hidup supaya setidaknya bisa mengerti kehidupan mereka, syukur-syukur bisa mengimbangi. namun, setelah saya coba jalani saya menghadapi begitu banyak kendala yang sangat berat untuk dilewati. tidak hanya berkaitan dengan motivasi tapi juga dukungan dari lingkungan. pelan-pelan saya mencoba mencari tahu kenapa saya begitu kesulitan untuk mengikuti jalan hidup para dewa-dewi duniawi yang saya sembah superioritasnya ini. dan tersadarlah saya, bahwa ternyata standar superioritas yang mereka ciptakanlah yang selama ini menghalangi pertumbuhan saya. standar ciptaan mereka adalah intelektualitas. dan saya bukan seorang intelektual. tapi, saya sungguh ingin menjadi intelektual walaupun saya tahu usaha dan proses untuk mencapainya menuntut begitu banyak pengorbanan dan rasa sakit.
sementara itu, selama ini saya dianggap superior dengan standar yang sangat berbeda. orang-orang melihat saya memiliki kematangan dalam berpikir dan bertingkah laku yang dilandasi dengan pengelolaan emosi yang baik. wah, saya memang ge-er dan sombong mengenai hal ini. saya berusaha untuk menghindari perbuatan pamer tapi tetap saja saya tidak bisa membiarkan sesuatu berjalan tidak seperti yang saya rencanakan. obsesi menjadi pegangan semua orang jugalah yang mendidik saya untuk berlatih menjadi pendengar yang baik dan jalan keluar bagi permasalahan emosional. mama lauren? bukan, saya bukan tipe seperti itu. hanya saja, walaupun apa yang saya lontarkan itu tidak terlalu berefek bagi pelaksananya, saya berhasil membuat diri saya bahagia atas ucapan "terima kasih" dari mereka yang mendapatkannya atau sekedar mendengar berita bahwa permasalahan sedikit tersederhanakan. superioritas ini membuat saya terlena dan lupa bahwa banyak hal yang perlu saya kejar untuk menjadi superior di bidang-bidang lain, terutama yang saya harapkan tadi, intelektualitas.
sekalipun saya berusaha keras untuk menjalani proses menuju kedewasaan intelektual, saya menghadapi kendala-kendala dasar yang berkaitan dengan kepribadian saya. absurd. kata teman saya, arti kata itu adalah ketiadaan makna. hmmm...bukan berarti saya tidak punya tujuan hidup (walaupun saya memang belum bisa menentukannya) tapi, saya sedang dalam proses perbaikan kualitas diri. saya selalu mengingatkan diri saya untuk berhenti memuja dan meniru orang lain hanya supaya bisa memperoleh ketenaran yang sama. hal-hal baik dari banyak orang memang boleh saya teladani tapi bukan untuk menjadikannya sebagai identitas pribadi, karena menurut saya itu plagiat namanya. saya selalu melakukan banyak hal yang bisa dikategorikan childish di setiap kesempatan. saya punya standar popularitas yang berkaitan dengan kemampuan muncul di keramaian sebagai biang keonaran. entahlah, jangan tanyakan mengapa saya bisa berpikir seperti itu. nah, kesulitan yang saya alami adalah...mereka yang superior dalam intelektualitas itu kurang mampu menerima absurditas dalam banyak hal yang saya jalani dengan tujuan bersenang-senang. saya sangat mengerti tuntutan untuk berubah dan menjadi dewasa selalu mengekor saya, mengetuk punggung saya minta diperhatikan. oke, saya selalu berusaha untuk itu, in progress. tapi, jika untuk menjadi seperti yang mereka harapkan saya terpaksa meninggalkan kegembiraan yang saya dapatkan dari hal-hal absurd ya...saya merasa belum sanggup. memang apa yang salah sih dari absurditas? toh saya hanya melandaskan hal itu pada perkerjaan-pekerjaan yang tidak diprioritaskan. saya hanya mencari kebahagiaan saya melalui hal-hal semacam itu untuk melepaskan penat setelah memaksa otak saya bekerja (padahal otak saya malas bekerja).
yah, sekali lagi...hidup itu pilihan. saya sekarang ini sedang menjalani hidup dengan multi kepribadian. banyaknya lingkungan yang berbeda yang saya tinggali menuntut saya untuk selalu fleksibel menyikapi perubahan-perubahan itu. saya dalam proses, saya sedang digodok supaya lebih matang, saya pasti bisa mencapai kemajuan dalam perbaikan kualitas diri. doakan saja supaya dapat berjalan lancar, sementara itu saya masih selalu butuh bimbingan lho...
Komentar
Posting Komentar