aku dan tong sampah

Sudah lama juga saya nggak cerita-cerita tentang kebodohan zaman SMA. Cerita yang satu ini udah lama banget pengen saya tulis, tapi baru kesampaian sekarang. Ahahaha…..

Yak, ini adalah salah satu prestasi saya di SMA. Ulang tahun adalah moment yang memberikan kesempatan lebih bagi kami untuk melakukan sedikit keonaran. Maka…terjadilah. Indah adalah korban pertama. Setelah diguyur air oleh seantero kelas ditambah dengan personil kelas lain, saya menculik kunci motornya dan melarikan sepeda motornya untuk diparkirkan secara tidak senonoh di pojok lorong kelas. Musibah ini pun ditambah-tambahin oleh teman saya dengan menyelipkan batang bambu panjang di ruji roda depannya sehingga sepeda motor itu tidak akan bisa ke mana-mana. Joknya kami coret-coret dengan batu (hebat to, bisa nyoret-nyoret (nggores-nggores) pake batu). Sang gadis ulang tahun (terjemahan dari “the birthday girl”) hanya tertawa-tawa getir menyaksikan kejadian itu seraya memohon kuncinya dikembalikan. Teman saya yang lain menahan kuncinya sehingga si Indah tidak bisa pulang. Ketika itu saya sedang makan sesuatu. Setelah habis, bungkusnya saya buang ke tong sampah. Ketika itulah ide brilian muncul. Tong sampah itu ternyata kosong. Saya dengan pe-denya nyeletuk, “Ayo masukin Indah ke tong sampah!”  Ide itu benar-benar muncul sendiri dari kepala saya. Saya belum pernah melakukan dan menyaksikan hal serupa. Namun, ternyata saya kemudian menemukan bahwa hal ini juga kerap menjadi tren di tempat-tempat lain. Setelah menyuarakan ide brilian itu, saya pikir teman-teman hanya akan menanggapi dengan tertawa malas-malasan. Ternyata,…mereka semua langsung berdiri dan ambil posisi. Anggita memegangi kedua tangan Indah, saya kedua kakinya. Sisanya membukakan tutup tong sampah dan bersiap menjadi pemandu sorak. Indah hanya menjerit-jerit senang eh…maksudnya menolak tapi tetap sambil ketawa, maka kami pikir ia menyukainya. Dan kemudian…saya dan Anggita menjebloskan ia ke dalam kungkungan tong sampah. Pais dengan yakin meletakkan kembali tutup tong sampah itu di atas kepala Indah. Yeaaaahhh!! Kami tertawa puas sekali lalu membiarkan Indah melatih diri untuk mandiri. Ia harus mengeluarkan dirinya dari tong sampah itu tanpa bantuan orang lain. Oke. Misi pertama selesai. Rasanya bahagia sekali bisa mendidik Indah untuk makin mandiri.

Kejadian kedua terlaksana dengan lebih spektakuler. Kali ini tidak terjadi ketika hari ulang tahun, melainkan H-1 ulang tahun Shinta. Hal ini dikarenakan besoknya atau ketika hari ulang tahunnya, sekolah libur (lupa karena apa). Kami langsung bagi tugas. Sayangnya, pak Ketua Kelas tidak ikutan mengkoordinasi kegiatan ini. Beliau sedang ada urusan servis motor, kalau saya tidak salah gara-gara hari sebelumnya ia mengganti oli sepeda motornya dengan oli bekas. Ckckck…

Segera setelah matrikulasi Fisika yang kami dapatkan gara-gara nilai try out tidak pernah memuaskan itu, Shinta pulang. Sepertinya ia tahu apa yang sedang kami rencanakan. Huh…dia salah besar. Kami tidak pernah merencanakannya, semua yang terjadi hari itu adalah murni spontanitas. SPONTANITAS! Aye! Saya buru-buru mencegat Shinta di pinggir jalan sebelum ia menyetop sebiji angkot. Setelah saya pikir-pikir alasan saya saat itu benar-benar tidak mutu dan tidak meyakinkan (saya lupa ngomong apa waktu itu). Shinta tidak mau masuk ke sekolah lagi, tapi saya tetap memaksa. Akhirnya (entah percaya atau tidak dengan yang saya omongkan), ia mau masuk lagi ke depan kelas. Sementara itu, beberapa ember berisi air sudah disiapkan di balik tembok kelas. Sesegera mungkin serombongan anggota kelas merubungi Shinta dan memeganginya supaya bisa diguyur. Tapi, Shinta tidak bisa dianggap remeh. Ia meronta seperti babi tertusuk jarum di sekujur tubuhnya. Ia menggelinjang, berkelojotan, menandak sana-sini demi tidak terjadinya penyiraman itu. Kami hampir lelah sampai pada akhirnya saya mengusulkan sebuah ide brilian andalan saya. “Masukkan Shinta ke tong sampah!” begitu instruksinya. Tanpa banyak bantahan kami kembali berkutat untuk menjebloskan Shinta ke dalam tong sampah. Namun, lagi-lagi ia berontak seperti babi tertusuk jarum di sekujur tubuhnya tadi. Semua orang sudah terengah-engah memeganginya. Namun, semangat tak pernah pudar…meski langkahmu dengan gemetar, kau tetap setia…ealah! Maksudnya, kami kembali berusaha. Tiba-tiba, Odi tanpa suara menunggingkan tong sampah yang sial itu menghadap punggung Shinta. Maka, dengan yakinnya anak-anak itu melepas pegangan pada Shinta dan mendorongnya ke belakang. YAK! Tepat sasaran! Shinta nyungsep dengan suksesnya di tong sampah yang kali ini ada isinya itu. Tanpa basa-basi, berember-ember air mengguyur Shinta yang tidak bisa keluar itu. 


Badannya yang agak lebih padat ketimbang badan Indah membuatnya tidak bisa melepaskan diri dari tong itu tanpa bantuan orang lain. Yeeeaaahh! Mantab!



Tak lama kemudian, seorang guru lewat dan menyaksikan kejadian itu. Ia hanya menahan senyum lalu berkomentar, “Jangan lama-lama ya!” Selanjutnya, seorang guru keluar dari kelas pojok yang sedang mengikuti matrikulasi Fisika. Ya, semua kelas 3 sedang matrikulasi hari itu. Sang ibu guru menemui saya. Saya agak kebat-kebit kali itu. Dengan nada agak emosi ia menanyakan pada saya apa yang kami lakukan. Saya hanya menjawab bahwa Shinta sedang ulang tahun. Ia kemudian mengomel pendek tentang tidak bawa baju ganti, nanti sakit, dan lain-lain. Saya menjawab tanpa berpikir, “Dia bawa baju ganti kok, Bu.” Ternyata jawaban itu menentramkan. Sang ibu guru kembali ke kelasnya.

Menurut pengalaman saya, sepertinya kegiatan mencemplungkan orang ke tempat sampah ini tidak hanya membahagiakan buat pelakunya, melainkan juga korbannya. Terbukti, Indah dan Shinta tertawa-tawa saja ketika hal itu terjadi pada mereka. Berarti memang kegiatan ini bermanfaat!


Tak habis sampai di situ saja, hari itu ide brilian mengalir deras di kepala saya. “Diangkat ke tengah lapangan, yo!” saya kembali mencetuskan ide gemilang itu. Semua pun langsung setuju. Beberapa orang laki-laki mengangkat tong beserta Shinta di dalamnya itu ke tengah taman. Matahari tengah bersinar cukup terik.





Ketika kami sedang mengelilingi tong sampah sambil menaburi Shinta dengan bunga tabur (memangnya jenazah!) sambil menari-nari girang, sang ibu guru yang sepertinya kehabisan kesabaran keluar lagi. Ia berjalan cepat ke tengah taman. Seketika itu pula kami semua membubarkan diri. Hanya Odi yang tersisa di depan tong sampah itu sambil memegangi tas sekolah Shinta. Odi, Odi… Saya berusaha menyembunyikan muka di balik pohon cemara. Sang ibu guru kali ini mengomel panjang. Shinta menanggapi dengan mengangguk-angguk dan sesekali bersuara, “Iya, Bu” dan “Betul itu, Bu” dari dalam tong sampah. Sementara itu, si Odi tidak juga beranjak dari tempatnya. Alhasil, ialah yang kena semprot langsung. Kami hanya terkikik-kikik. Tak satupun dari kami merasa patut bertanggung jawab dan menghampiri Shinta untuk mengeluarkannya dari jepitan tong sampah itu, begitu pun Odi. Ia hanya menggumam-gumam dengan bass penuh, “Udah Shin?”. Mungkin maksudnya ingin membantu Shinta keluar, tapi tak kunjung dilakukannya karena sang ibu guru masih terus mengomel dan Shinta hanya mengangguk-angguk setuju. Akhirnya, sang ibu guru sendirilah yang berinisiatif untuk mengeluarkan Shinta dari tong sampah.

Hebatnya Shinta adalah tidak pikir panjang apa yang harus dilakukuan setelah keluar dari tong sampah. Tanpa ba-bi-bu, Shinta langsung melompat keluar sambil dibantu ibu guru lalu berlari mengejar kami yang juga langsung membubarkan diri. Sang ibu guru ditinggalkannya tanpa satu pun ucapan terima kasih atau basa-basi lainnya. Ketika dikejar, semua anggota kelas berteriak melarikan diri. Saya dan beberapa orang lainnya menerobos masuk ke ruang kelas kami yang sudah kosong. Menyingkirkan bangku-bangku dan meja dengan suara gaduh untuk mencari tempat perlindungan sementara Shinta melakukan hal yang sama untuk menemukan kami. Shinta ingin memeluk kami dengan tubuhnya yang sudah basah dan bau sampah itu untuk membalas dendam. Saya pikir itu tidak sehat, maka saya terus berusaha mencari cara untuk menyelamatkan diri. Saya berlari hingga ke pojok kelas dekat jendela yang terbuka. Shinta terus mendekat. Kalau saya tidak segera beranjak ia akan menangkap saya. Saya melirik satu-satunya peluang keselamatan saya, jendela. Yang terpikirkan hanya bagaimana caranya melompatinya tanpa ketahuan guru yang mengajar di kelas bawah. Oke, kelamaan. Langsung saja saya lompat tanpa mempertimbangkan bahwa saat itu saya mengenakan rok span selutut. Brak! Oke, saya sudah ada di luar kelas, Shinta tidak menyusul melompat. Ia hanya tertawa menyumpahi saya. Saya meneruskan kabur berlari mengitari dua kelas lainnya. Ketika mau berbelok untuk ke depan kelas lagi, di depan saya tiba-tiba berhamburan anggota kelas yang juga melarikan diri. Saya pikir Shinta lagi penyebabnya. Tapi, salah seorang dari mereka –sebut saja Nurul– menyebutkan dengan panik sambil berlari menjauh, “Nekma ngamuk!” Oke, ini baru namanya bencana. Saya pun turut kabur ke tangga bawah tanpa memikirkan mau menyembunyikan diri di mana. Terlihat oleh saya bilik kamar mandi yang kosong. Dengan gedebukan saya masuk dan mengunci pintu di dalamnya. Sambil mencoba mengatur nafas saya memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Oke, sepertinya habis ini saya akan tertangkap dan diseret ke ruang BK. Mengerikan juga sih, tapi yaaa…penghiburan saya waktu itu adalah pikiran bahwa itu akan jadi pengalaman seru sebelum lulus. Masa tiga tahun sekolah belum pernah dipanggil ke BK. Oke, setelah meyakinkan diri, saya membuka kunci kamar mandi dan keluar. Bersamaan dengan saya keluar, lewatlah Nurul. Saya tanya dari mana, jawabannya, “Bersembunyi di masjid, pura-pura sholat.” Jiiaaahhh….hebat juga idenya. Tapi, kalau saya tadi ikutan dia pasti tertangkap.

Memastikan kondisi sudah aman, saya dan Nurul berjalan menuju aula. Ternyata Shinta dan anggota kelas lainnya sedang duduk-duduk di parkiran motor sambil berusaha keras menahan tawa. Ternyata kami tidak dikejar lebih jauh. Mendengar kronologis kejadian dari mereka yang menyaksikan di TKP (di teras kelas), ternyata semua guru yang sedang memberikan matrikulasi itu keluar dari kelas untuk mengusir kami yang membuat keributan. Dan yang paling ramai ialah Nekma, dia keluar kelas memarahi siapa pun yang lewat seraya mengayun-ayunkan penggaris kayu andalannya dengan gerakan berbahaya. Ya sudahlah, sudah berlalu. Shinta masih saja berusaha membalaskan dendamnya dengan mengejar-ngejar saya, tapi untungnya ia tidak bisa menangkap saya. Walhasil, Odi, Mae, dan beberapa orang lainnyalah yang jadi korban pembalasan dendam kesumat yang membara. Shinta melepas kaos kakinya yang basah dan tidak karuan menjijikkannya itu lalu mengusapkannya pada sepeda motor Mae dan helm Odi. Bahkan sebagai puncaknya, ia memeras kaos kaki itu di dalam helm Odi. Bagaimana Odi pulang hari itu, saya benar-benar tidak tahu. Ahahaha….ya, hanya kenakalan kecil. Tapi, yang jelas: misi kedua pun berhasil. =)

Mohon maaf yang sebesar-besarnya buat Indah dan Shinta. Kita teman yaaa… :D

Komentar

Postingan Populer