nostalgia tentang cuaca

Cuaca hari ini benar-benar menakjubkan. Dimulai dari kemarin sore yang berakhir dengan sebuah senja yang merah. Aku girang bukan kepalang ketika kemarin tidak sengaja melihat langit dari balik jendela ruangan dan daun-daun rimbun pepohonan. Senjanya benar-benar merah. Senja merah pertamaku di Jogja setelah satu tahun lebih di sini. Sayang beribu sayang (sial, lebih tepatnya), aku sedang tidak bisa meninggalkan ruangan itu jauh-jauh untuk mencari tempat lapang di mana aku bisa menonton senja merah itu hingga merahnya menggelap menuju hitam. SIAL! Aku hanya bisa misuh kemarin.

Dulu, aku pernah dengar dari seorang teman bahwa senja yang merah adalah sebuah pertanda bahwa cuaca keesokan harinya akan cerah. Nyata adanya untuk hari ini. Seharian ini tidak turuh hujan sama sekali. Sejak dari pagi hingga sore hari, cuaca benar-benar memanjakan. Langit biru cerah, awan-awannya berarak santai. Bukan awan hitam. Sore tadi ketika aku berguling-guling di sebuah gazebo kecil di kampus seraya menunggui komputer jinjingku dipakai seorang teman untuk kelayapan di dunia maya, aku bolak-balik menyuarakan keinginanku untuk bertandang ke pantai. Sudah beberapa hari terakhir, cuaca sore begitu indah. Aku menyebutnya sebagai “sore yang sempurna untuk ke pantai”. Rasanya pasti bahagia sekali menghabiskan sore cerah seperti itu di pantai dengan hembusan anginnya. Aaaaahhh….benar-benar ingin ke pantai. Aku rindu ke pantai…

Meskipun sorenya begitu sempurna, ternyata aku belum dapat kesempatan untuk main ke pantai hari ini. Selain karena pantai lumayan jauh dari tempat tinggalku di sini, aku juga sudah punya janji untuk menemani seorang teman mengerjakan tugas kuliahnya. Maka, berangkatlah aku menuju tempat makan dengan kriteria romantis à la pasangan-pasangan muda masa kini. Outdoor, remang-remang cahaya senthir kecil di atas mejanya, angin yang berhembus, dan yang paling penting…langit malam berbintang yang bisa dipandangi dengan puas. Aku dan temanku adalah anomali di sana. Kami belajar dan mengerjakan tugas kuliah. Hahaha…makanya temanku memilih tempat semi-outdoor dengan lampu yang agak sedikiiiit lebih terang (padahal tetap saja remang). Setelah menghabiskan kudapan dan memberikan penjelasan semampuku pada temanku itu tentang tugas kuliahnya yang kami kerjakan, kami memutuskan untuk pulang. Ketika berjalan menuju parkiran, kami mendongak menatap langit. Aahh…cerahnya bukan main. Tidak ada awan, bintang-bintang terlihat banyak, sesekali sinarnya ditingkahi kelap-kelip lampu pesawat yang melintas. Kami sepakat bahwa langitnya benar-benar indah. Namun, kami berdua merinding kedinginan karena angin dan lembabnya. Bahkan jok motor temanku berembun, padahal baru jam 8 malam.

Sebenarnya saya mau bilang apa sih? Yah, tak lain tak bukan, bicara tentang cuaca pasti aku ingin bernostalgia dengan acaraku dan teman-teman sekitar 2 minggu yang lalu. Sore indah yang dalam sekejap berubah jadi bencana selalu saja jadi bahan pembicaraan akhir-akhir ini. Badai itu lagi. Hujan deras itu lagi. Evakuasi itu lagi. Sermo itu lagi. JAKSA itu lagi. Memang aku selalu bilang bahwa aku tidak pernah kecewa atau pun menyesal semuanya berakhir begini. Toh, akhirnya tidak buruk. Malah berpelangi. Tapi, tiap kali menikmati cuaca yang begitu cerah dan indah, pikiranku tidak pernah bisa ditahan untuk berceletuk, “Coba waktu itu seperti ini.” Miris rasanya…ada banyak hal yang bisa dilakukan jika saja cuaca hari itu seindah hari ini. Kenapa aku bisa berpikir seperti itu? Karena aku pernah menyaksikan dan menikmati indahnya Sermo di sore dan senja hari. Bahkan ketika itu, aku membuat janji dengan seorang teman yang juga bersamaku menikmatinya di atas gunungan sambil menatap langit. Kami akan menghabiskan sore hari kedua acara kami di atas gunungan ini. Melakukan hal yang sama, menatapi dan menikmati tak hanya langit, tapi juga semuanya tentang Sermo. Semuanya. Karena semuanya memang sangat indah. Tapi, ternyata sore yang kami harapkan itu tidak datang. Ia didahului sang badai. Tidak apa-apa, toh sang badai membawa pelangi. Terima kasih ya untuk semuanya. Aku ikhlas. Aku percaya akan ada banyak sore sempurna lainnya untuk dinikmati bersama di tempat lain yang tak kalah indahnya. Ya…pasti ada. Tunggu aku hai sore sempurna yang indah…



Tulisan ngalor-ngidul yang agak didramatisir, dari cuaca kemarin sampai (lagi-lagi) JAKSA
Minggu, 10-10-2010 (sepertinya memang agak istimewa seperti yang orang-orang bilang)

Komentar

Postingan Populer