Atheis dan Theis

Beberapa hari yang lalu saya membaca tulisan seorang teman mengenai atheisme. Definisi atheisme yang disajikannya dalam tulisan itu adalah: menolak percaya eksistensi Tuhan atau tuhan dalam bentuk apapun. Ini bukanlah sebuah aliran kepercayaan karena para atheis sama sekali tidak menyembah apa pun yang bersikap sebagai tuhan. Teman saya ini juga menolak pandangan sebagian orang yang menyatakan bahwa atheisme adalah salah satu jalan menuju theisme. Pandangan ini menyebutkan bahwa para atheis sedang berada dalam jalan mencari kebenaran sebelum pada akhirnya kembali juga pada Tuhan yang ‘benar’. Pendapat ini ditampik keras oleh para atheis karena mereka benar-benar tidak menuhankan apa pun, mereka tidak percaya pada keberadaan Tuhan atau pun tuhan.
nih kalau mau baca lebih lengkapnya Penjelasan Sangat Ringkas Tentang Atheisme

Komentar-komentar panjang yang juga diiringi debat menghiasi tulisan itu. Saya sendiri memilih untuk sekedar berterima kasih karena ditandai dalam tulisan tersebut. Saya menganggapnya sebagai sumber ilmu baru, wahana memperluas pengetahuan. Untuk urusan menilai seberapa tingkat ‘kebenarannya’ itu terserah masing-masing orang sesuai dengan porsi ilmu dan pengalaman yang dimilikinya.

Jujur saja, ketika pertama kali saya bertemu dengan teman saya yang atheis ini, saya benar-benar kaget. Saya serasa tidak percaya karena bertemu dengan hal semacam ini di kehidupan nyata. Saya yang sebelumnya tertutup atau mungkin sengaja menutup diri dari berbagai hal baru yang agak tidak lazim seperti ini terang saja merasa terkejut. Tapi, pelan-pelan saya memaknai pertemuan dengan teman yang beragam sebagai ajang belajar yang begitu luas. Dalam urusan kepercayaan pada Tuhan ini khususnya, saya akhirnya benar-benar mewujud nyatakan apa itu toleransi yang sejak dulu bercokol di buku-buku PPKn SD hingga SMA.

Saya yang selama ini masih sering mendoktrin orang-orang di sekitar dengan pemikiran-pemikiran saya merasa tertampar keras dan malu. Saya selalu menuntut orang-orang menghargai dan mendukung pilihan saya karena merasa pilihan itulah yang paling benar dan orang lain tidak tahu. Sementara ketika orang lain menentukan pilihannya, saya masih kerap kali menggerecoki keputusan itu. Di titik ini saya akhirnya menyadari bagaimana berbedanya saya yang mengklaim diri sebagai ‘theis’ dengan mereka yang mengklaim dirinya ‘atheis’. Sadar atau tidak, sebagian besar orang theis selalu menanamkan cap buruk bagi mereka yang atheis. Berbagai macam gelar disandang oleh para atheis di mata para theis: sesat, gila, biadab, kafir, dan sebagainya. Hebat. Manusia dapat menghakimi sesamanya demikian kejam. Atheis juga tak lebih dari pilihan kan? Lalu mengapa tidak dihargai pula?

Hal yang membuat saya salut pada teman-teman yang atheis adalah mereka tidak memaksakan pandangan mereka itu secara berlebihan dan lebih mampu menghargai keberadaan orang-orang atheis di sekitarnya. Sebaliknya, justru umat beragamalah yang tidak mau menerima kehadiran teman-teman yang kebetulan berbeda pandangan dengan mereka ini, padahal agama selalu mengajarkan yang baik kan? Apakah mereka yang menjalankan ajaran agama salah tafsir itu merasa hidupnya lebih baik daripada mereka yang mengaku tidak bertuhan? Para atheis yang sering dengan kejamnya dicap sesat itu malah bisa merealisasikan toleransi yang digembar-gemborkan semua agama itu dengan lebih baik daripada sebagian umat beragama yang lain.

Rasionalisasi orang yang menjadi theis memang benar menurut mereka yang theis pula. Tapi jika demikian, maka rasionalisasi seseorang yang menjadi atheis juga benar menurut mereka yang atheis. Bukankah kebenaran itu sangat subyektif? Mengingat kedua pihak tidak bisa saling memaksakan ‘kebenaran’ versi mereka satu sama lain, mungkin memang jalan yang tepat adalah mau saling menghargai. Umat beragama tetap menjalankan ibadahnya sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing dan juga menjalin relasi sosial yang baik dengan lingkungan. Demikian halnya dengan atheis, hanya saja mereka tidak akan menjalankan ibadah apa pun karena mereka tidak menyembah apa pun.

Terserah masing-masing mau berkomentar apa. Tulisan ini hanya mengungkapkan keprihatinan atas diskriminasi yang selama ini terjadi. Sekaligus sebagai ungkapan syukur karena bisa menuai pelajaran dari berbagai wacana yang saya temui.

Komentar

Postingan Populer