cantik
Topik ini adalah salah satu topik favorit yang jadi bahan perbincangan antarteman, mungkin terutama teman laki-laki. Selama ini saya selalu mengalami kesulitan untuk membela pendapat saya ketika menilai seorang perempuan bersama seorang teman laki-laki. Sebagian besar dari mereka selalu saja memilih perempuan yang tidak cantik menurut saya. Akar permasalahan ini adalah perbedaan kriteria dan standar cantik yang kami pegang. Saya bisa menilai seseorang ketika saya bisa merasakan aura dan karakter yang baik dari perempuan tersebut. Jadi, wajah dan penampilan fisik bukanlah indikator nomor satu. Mungkin memang kadang-kadang saya menilai dengan semena-mena, dalam artian saya kerap beberapa kali menebak seseorang ‘pasti cantik’ padahal saya belum kenal siapa dia. Sementara, teman laki-laki saya kebanyakan memiliki kriteria penilaian yang benar-benar berbeda. Sebagai akibatnya, setiap kali mereka menunjukkan pada saya gadis yang kejatuhan hati mereka, saya selalu bingung mengapa mereka menyebut gadis ini cantik. Subyektivitas saya benar-benar menonjol ketika menyanggah pendapat mereka itu. Tak jarang perbedaan pendapat ini membawa kami pada adu mulut tidak penting yang meskipun menguras tenaga, tidak akan menggoyahkan niat teman saya itu untuk mengejar sang gadis.
Entah kenapa, cantik yang selama ini saya pahami selalu menuntut begitu banyak nilai di luar fisik. Ketika saya bisa melihat bagaimana seorang perempuan pandai bersosialisasi, pemikirannya cerdas, lembut, bisa tersenyum tulus, dan lain-lain, saya akan dengan wajah berseri bilang pada teman-teman, “Ini baru namanya cantik.” Segi fisik memang tidak luput dari indikator-indikator yang ada, tapi posisinya bagi saya sebagai nilai plus, bukan primer.
Saya pun sering berdiskusi dengan teman-teman kampus yang mungkin lebih banyak kemiripan dengan saya dalam hal menilai seorang perempuan cantik atau tidak. Kalimat-kalimat bernada sindiran dan keprihatinan pun bermunculan di akun jejaring sosial mereka ketika belakangan ini digelar pemilihan puteri-puteri dan ‘miss-miss’ di televisi. Saya ingin merangkum keprihatinan mereka tersebut.
Bisa dilihat secara jelas, kriteria ‘cantik’ yang dijadikan dasar para juri ajang pemilihan macam ini adalah ‘cantik’ yang selama ini menjadi hegemoni di masyarakat. Sekalipun ada tes kepribadian, kepandaian, talenta, dan lain sebagainya, penampilan fisik tetap sangat kentara ditonjolkan dalam ajang ini. Buktinya, tidak ada satu pun dari peserta pemilihan tersebut yang berpenampilan fisik ‘kurang proporsional’. Semua kontestan adalah perempuan-perempuan dengan rasio pinggang dan pinggul yang ideal, kulit bersih (jika tidak putih), susunan tulang-tulang wajah yang membentuknya jadi ‘cantik’, rambut indah, kaki jenjang, dan lain-lain. Standar kecantikan macam ini telah lama menghegemoni masyarakat. Sebagian orang berpendapat bahwa hal ini terjadi karena inferiority complex yang timbul semenjak zaman penjajahan dahulu. Seperti yang diketahui secara luas, kaum penjajah pada masa lampau kebanyakan adalah orang-orang Eropa. Tak pelak, perempuan-perempuan Eropalah yang pada akhirnya menjadi ‘dewi impian’ para perempuan di negara terjajah. Standar kecantikan masa kini adalah standar kecantikan perempuan Eropa. Lucunya, sempat terdengar oleh saya bahwa sebagian perempuan berkulit hitam yang berdomisili di benua Afrika pun turut mempercayai standar kecantikan tersebut.
Keinginan untuk menjadi ‘seperti’ atau ‘menyerupai’ perempuan Eropa pun merajai pikiran para perempuan lainnya. Ingin berkulit putih, ingin menjadi tinggi, ingin langsing! Hebatnya, hasrat ini pun diiringi dengan produksi produk-produk kosmetik yang menjanjikan terwujudnya keinginan tersebut. Walhasil, bisnis kosmetik pun menjadi lahan yang cukup menjanjikan karena para perempuan berbondong-bondong menyerbunya.
Seorang teman laki-laki saya pun pernah mengeluarkan pernyataan seperti ini, “Kalau seandainya dulu kita dijajah oleh bangsa Afrika, mungkin perempuan masa kini akan menjadikan penampilan fisik perempuan Afrika sebagai kiblat mode.” Yah, mungkin.
Selain standar kecantikan Eropa ini, seorang teman lain pernah mengeluhkan betapa untuk menjadi cantik perempuan dituntut untuk menahan rasa sakit yang menyusahkan. Lebih tepatnya, teman saya ini merasa kurang nyaman jika harus mengenakan aksesori yang kerap digunakan perempuan dalam momen-momen di mana mereka ingin tampil cantik, misalnya sepatu hak tinggi.
Memang kadang hal-hal semacam ini menimbulkan dilema bagi para perempuan. Ingin tampil cantik tanpa menyakiti diri sendiri, tapi kadang (ini saya kutip dari sebuah kelas listening di semester yang lalu) boys don’t see what you see in me. Tidak semua orang mau menilai hal-hal yang sederhana. Yah, sejauh ini keprihatinan ini masih sering menggelisahkan. Entah bagaimana caranya merubah pemikiran yang telah menjadi hegemoni i
Komentar
Posting Komentar