2 Januari 2011

Hm. Makin lama ulang tahun makin jadi hari yang kurang istimewa. Bukan berarti kecewa, aku tetap menyukai hari itu. 3 Januari yang membuatku merasa istimewa, yang sejujurnya kusukai karena alasan –tak-akan-kalian-percaya ketika masih SMP dulu. Selalu, selalu istimewa. 3 Januari yang juga dirayakan oleh 3 orang teman laki-lakiku yang kusebut saudara sebagai hari ulang tahun. *sebenarnya aku kesulitan menulis ini karena apa ya? Apakah memang kebetulan tidak ada yang sedang kurasakan, atau efek dari ‘kekeringan’ lagi?

Atau jangan-jangan ini efek menjadi dewasa? Ah, apakah benar jadi dewasa itu selalu mengabaikan hal-hal seperti ulang tahun? Aku pikir ulang tahun adalah waktu yang tepat (selain setiap waktu yang terlewatkan) untuk berhenti sejenak dan melihat kembali seberapa jauh aku telah berjalan. Dalam tahun-tahun yang telah terlewati itu, apakah aku menjadi berarti? Atau hanya menjadi robot dari rutinitas hidup? Merenungi kembali adakah aku telah mencapai sesuatu yang sungguh membuatku semakin dekat pada kedewasaan? Ah, hidup lebih pintar bicara dan mengajari tentang itu. Sedih sebenarnya ketika menyadari tidak ada lagi sensasi deg-degan ketika menyambut hari ulang tahun seperti tahun-tahun yang lalu. Cemas menunggu ucapan dari teman-teman, mengharapkan kejutan mereka, terutama ketika hari ulang tahun itu jatuh ketika hari sekolah (ini jarang sekali terjadi).

Manis. Mengenang beberapa tahun yang sempat terlewatkan dengan hadiah-hadiah dan kejutan aneh-aneh dari para sahabat membuatku makin menyukai ulang tahun. Ketika kecil, ulang tahunku selalu jadi hal yang sederhana namun hangat. Mama tak pernah lupa menyediakan makanan enak dan kue black forest andalannya. Tak pernah ada undangan atau pesta, hanya lingkaran kecil yang memulai upacara rutinnya dengan doa. Aku selalu puas dengan itu semua. Hingga ulang tahun yang ke-16 menjadi sesuatu yang agak berbeda. Sama, tetap ada makanan, tetap ada lingkaran kecil dan doa. Tapi, tak sepenuhnya sama, karena lingkarannya bertambah kecil. Hmm…yah, aku harus makin kuat. Aku tahu hangatnya tetap sama, cintanya tetap sama, semua tetap sama, hanya tidak lagi terlihat kasat mata. Aku mulai terbiasa. Kejutan-kejutan dan ucapan masih sama, aku makin menyukainya. Tetap tak ada pesta, aku tidak suka. Aku lebih menikmati ulang tahun dalam kesederhanaan dan ketenangan. Jauh lebih menikmatinya.

Tahun lalu mulai terlihat tanda-tandanya. Aku merasa sedih dan nyaris menangis di ulang tahunku sendiri. Entah kenapa. Sepertinya aku kaget. Tahun sebelumnya ada kejutan manis bertubi-tubi, sementara tahun itu lempeng saja. Yah, aku menerima dan mengakuinya. Aku kekanak-kanakan sekali. Namun, kini semua terasa makin biasa saja. Kejutan dan hadiah itu bukan lagi hal penting yang harus ada. Aku mencoba memaknai ulang tahun bukan lagi sebagai sekedar momen senang-senang, melainkan waktu untuk menyadari bahwa tanggung jawab makin berat dan persimpangan hidup makin nyata. Aku harus berhadapan dengan  tuntutan-tuntutan dan pilihan-pilihan yang menghampiri. Maka, aku harus memenuhi dan memilihnya.

Dulu –aku lupa ulang tahun keberapa–, seorang teman yang sudah lumayan dewasa mengirimi aku ucapan yang beberapa tahun setelahnya baru aku ketahui sebagai sebuah penggalan dari sebuah tulisan Dewi Lestari. Aku begitu terkesan dengan ucapan itu. Bukan doa, bukan nasihat, hanya sebuah cerita kehidupan. Tentang pohon kecil yang melihat kupu-kupu sebagai burung raksasa. Tentang pohon yang sama yang kemudian tumbuh besar dan malah menjadi tempat tinggal burung-burung. Ia menuliskan pula kalimat yang tak terlupakan buatku. “Menjadi dewasa bukan berarti kita tahu segalanya. Bahkan menirukan tawa anak kecil pun kita tak dapat. Maka, dibutuhkan jembatan untuk menjembatani itu semua, yaitu kerendahan hati.” Oke, saya sungguh menyukai kalimat-kalimat (yang sebenarnya saya reka ulang sendiri, saya sudah lupa bagaimana persisnya) itu. Setelah sempat terlupakan selama beberapa tahun, kalimat itu seakan-akan kembali lagi ke hadapan muka saya (tepatnya ya ketika menemukan tulisan Dewi Lestari itu) ketika saya menghadapi kenyataan bahwa rendah hati itu adalah hal abstrak yang minta ampun susahnya untuk dicapai. Sejak saat itu, aku menjadikannya sebuah orientasi: menjadi rendah hati. Bukan orientasi yang diselimuti ambisi dan obsesi, melainkan orientasi yang memberikan kesempatan belajar seumur hidup. Aku masih terus berusaha.

Ah, aku akan menghadapinya. When the going gets tough, the tough gets going. Akhirnya, aku mengakhiri cerita aneh ini dengan lagu-lagu favoritku (maaf karena ada gubahan yang semena-mena sesuai kebutuhan).


Akulah (masih)  perempuan dengan jiwa bocah,
yang coba dewasa, yang coba berubah…
Maka, apapun yang terjadi,
akan kujalani, akan kuhadapi dengan segenap hati
Walau ku terluka, memang ku terluka
tak pernah ku lari dari semua ini

Here I am, in the journey to be mature, to be humble.





Malam menuju 19 tahun, akhirnya hujan, seisi rumah sudah tidur
Menunggu 3 Januari bergulir

Komentar

Postingan Populer