kutap-kutip: Jazz, Parfum, dan Insiden

Salah satu buku pinjaman yang  saya pakai untuk mengisi liburan kali ini adalah sebuah roman berjudul Jazz, Parfum, dan Insiden garapan Seno Gumira Adjidarma. Roman ini merupakan bagian dari trilogi insiden: Saksi Mata, Jazz, Parfum, dan Insiden, dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Ketiganya mengangkat topik insiden Dili. Untuk merampungkannya, saya masih harus membaca Saksi Mata yang kebetulan belum dipinjamkan pada saya.

Ini gambar sampulnya

Membaca roman ini merupakan hal yang cukup membingungkan buat saya, terutama ketika tokoh utamanya bicara tentang jazz. Pada akhirnya, jika saya benar-benar tidak bisa memahaminya saya hanya menerabas membaca. Namun, saya akan berhenti dan berpikir lebih lama ketika menemukan kalimat-kalimat yang menarik hati. Banyak juga ternyata, saya mengumpulkannya lalu mencatatkannya di bawah ini. Sayangnya, saya memulai pekerjaan ini ketika sudah menapaki bagian tengah bukunya, tidak sepenuhnya dari awal. Tidak apa-apa. Tulisan ini hanya mencantumkan kutipan-kutipan yang bagi saya ‘menarik hati’ dari roman berjudul Jazz, Parfum, dan Insiden tersebut.

Tanda * menandakan kutipan tersebut dikatakan oleh tokoh utama dalam roman tersebut. (Saya akhirnya memutuskan seperti ini karena kebingungan apakah sungguh Seno Gumira Adjidarma yang mengisi tokoh tersebut. Boleh dianggap iya maupun tidak.)
Berikut kutipan-kutipannya:





Aku tidak bisa membayangkan, apa jadinya kalau kita harus terus menerus hidup dengan kesadaran, bahwa kehidupan ini cuma sementara, kebahagiaan hanya sekejap, dan dunia ini adalah setumpuk taik kucing. –*
Barangkali kita justru harus bersyukur jika sempat mengecap apa yang disebut kesedihan. Itu membuktikan bahwa kita setidaknya masih punya perasaan. Banyak orang di dunia ini menderita begitu hebat, sehingga harus mengikis perasaannya sendiri. Supaya tidak perlu mengakui dirinya kesepian. Supaya tidak perlu takluk pada keterasingan. –*

Saya bukan menjadi pemimpin dari suatu gedung, air, batu, atau laut. Saya menjadi pemimpin dari suatu masyarakat. Saya tidak bisa cerai dari rakyat. –Gubernur Gidgid

Kalau saya diharuskan menyesuaikan dengan keadaan, dan tidak berjalan lurus sesuai dengan prinsip yang saya anut, lebih baik saya diberhentikan. Saya tidak merasa malu, kalau harus disingkirkan dari jabatan demi kebenaran yang saya pertahankan. Putih akan selalu saya kemukakan putih, demikian pula sebaliknya. Apa saja akibatnya, mau dieksekusi pun silakan. Tidak akan yang putih saya katakan hitam, hanya untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu. –Gubernur Gidgid

Music is the sign of the opressed masses. It is the heart in a heartless world. –Bill Graham

Pada akhirnya, musik memang membuat kita hidup. Suka atau tidak suka, kita hidup dengan musik –dengan ritme, irama, beat, dalam hati kita. –*

Bahwa dunia ini tidak hitam, tidak putih, melainkan abu-abu. –* (Saya paling suka kutipan ini karena saya merasa dibela. Hahaha... :P)

Lubang ozon di atas itu menganga, rasanya itu lebih mengerikan dari ideologi politik mana pun –mestinya. Hutan-hutan ditebang habis, dan kita mengenal efek rumah kaca, sehingga bumi berada dalam risiko terpanggang –tidakkah ini jauh lebih konkret ketimbang sibuk dengan tawar-menawar ideologis? Barangkali ideologi memang belum mati. Namun kalau masih hidup pun sebaiknya ideologi dibunuh saja. Terlalu banyak omong kosong dalam perbincangan ideologis –yang kita perlukan adalah kebahagiaan yang konkret, O2 yang beres, dan desis sungai yang menyejukkan hati. Bukan mulut-mulut terbuka yang mengeluarkan bau busuk karena penuh dengan sampah dan barangkali tikus. –*

Bacalah koran, maka engkau akan membaca kebohongan. Bunyikan radio, maka engkau akan mendengar kebohongan. Nyalakan TV, maka engkau akan tenggelam dalam lautan kebohongan. Namun kita akan terus berada di depannya karena tidak punya pilihan lain. Dari saluran satu ke saluran lain, kita hanya akan mendapatkan kebohongan. Sampai kita tertidur di depan TV, dengan mimpi-mimpi yang juga bohong. –*

But when a majestic sound takes the field, when it parts the waters of silence and noise with the power of song, when this majestic concatenation of rhythm, harmony, and melody assembles itself in the invisible world of music, ears begin to change and those who were musically lame begin to walk with a shopistication to their steps. You see, when something is pure, when it has the noblest reasons as its fundamental purpose, then it will become a candle of soung in the dark cave of silence. Yes, it was a noble sound. –Reverend Jeremiah Wright, Jr.

Memang banyak hal tidak harus kita mengerti Alina, ada saatnya kita tidak harus mengerti apa-apa, tidak perlu memaklumi apa-apa, dan tidak perlu menyesali apa-apa, kecuali hanya merasa, bergerak, dan menjelma. –*

Barangkali memang sudah waktunya kita harus menjadi kejam kepada diri kita sendiri, membiarkan perasaan kita menggelepar seperti ikan, dan menciba hidup bersama kenyataan. Masalahnya, apakah kenyataan mau hidup bersama kita? –*

Kehidupan ini bisa begitu menyiksa tanpa ada korban, karena segala sesuatunya memang keras tanpa kekerasan, kejam tanpa kekejaman, dan begitu menghancurkan tanpa harus ada penindasan. –*




Demikian edisi kutap-kutip ini. Saya ingin melanjutkan petualangan ke buku lainnya. Terima kasih.

Komentar

Postingan Populer