refleksi sesingkat-singkatnya

Sebuah tahun yang begitu penuh. Sangat penuh. Diawali dengan ulang tahun yang tak begitu mengenakkan pada awalnya karena kerinduan pada perhatian teman-teman lama. Menjadi dewasa memang tak selalu membahagiakan, ada konsekuensi yang harus dibayar. Kepulangan ke kota yang ngangenin itu pun ternyata malah menambahi beban. Baru seminggu meninggalkan rumah dan isinya, aku harus membuat seorang teman hujan-hujanan mengantarkanku dalam keadaan demam tinggi untuk menginap di rumah sakit. Akhirnya, sang empunya rumah yang baru saja ditinggalkan pun memaksa diri untuk mengunjungiku di seberang pulau. Asem, hancur sekali aku waktu itu. Sedih rasanya membuat orang repot  dan mengorbankan banyak hal penting. Namun, cerita ini pun membuahkan sebuah kesadaran penuh bahwa cinta dari teman memang tak pernah ke mana-mana. Manusia-manusia yang menyebut dirinya teman itu, menunjukkan –tak lain tak bukan– cinta yang tulus yang aku harap tidak akan pernah habis digerus waktu. Aku belajar. Belajar melihat dan merasakan cinta di sekitarku. Belajar menghargai dan mensyukuri itu semua.

Setelah kejadian itu, entah mengapa aku tidak jua sembuh. Sindrom lain menderaku. Sindrom kekanak-kanakan. Titik awal yang kupikir adalah cikal bakal gangguan psikologis ringanku. Kerap kali aku melamun, memikirkan hal-hal yang membuatku kebingungan sendiri. Tak jarang menderaikan air mata tanpa sebab musabab yang jelas. Heran, memang aku agak aneh. Perasaan rindu terus menerus bercokol di hari-hariku. Pagi, siang, dan sore menjadi waktu-waktu kebohongan yang menampakkan senyum dan tawa berguling-guling. Namun, malam menjadi begitu sendu dan menyiksa. Ketika semua orang sudah terlelap dan aku tidak punya alasan lagi untuk berpura-pura. Butir-butir kalung doa itu bergulir dan selalu basah terhujani air mata yang sekaligus menumpahkan segenap rindu. Ya, 6 bulan yang begitu berarti untukku; masa paling mesra dan hangat bersama sang Arsitek Hidup. Aku belajar. Belajar mengatasi rindu dan kekanak-kanakan itu dengan mendaraskan doa.

Malam-malam pun habis dalam kerumunan orang. Entah itu hari-hari bahagia yang dipenuhi dengan gelak girang, banjir peluh karena beraktivitas lebih, dan genjrengan ramai gitar. Entah itu malam-malam sendu yang memberi waktu untuk merenung bersama, memikirkan apa yang terjadi pada hidup, menyadari keterbatasan untuk saling mengisi, dan petikan pilu lagu patah hati. Kadang lupa waktu; mengabaikan petugas ronda yang berkeliling dan pura-pura tidak tahu bahwa mata nyaris terpejam. Tidak berhenti jika saja ayam tidak berkokok atau adzan subuh tidak berkumandang. Sudut-sudut remang jalanan, kamar kos kecil untuk tidur berjejalan, rel kereta beratapkan langit malam, jalan raya tak dikenal yang ditempuh dalam 5 jam, semua habis dilalap. Satu keluarga baru. Aku belajar. Belajar tentang apa itu malam. Belajar merenung dan memaknai hidup bersama. Belajar memberi. Belajar berbagi.

Nah, berikutnya adalah bagian yang paling ngebak-ngebaki dan bermakna besar tak hanya untuk tahun ini, namun juga seumur hidupku. Ketika dengan takaburnya aku menerima tanggung jawab bertumpuk tanpa persiapan. Bulan-bulan penuh kebingungan dan hati yang sakit. Kecewa pada diri sendiri yang ternyata tidak sehebat yang dengan sombong diharapkan. Kacau. Namun, tiap kali sakit hati itu terasa, aku menemukan wujud-wujud cinta yang mengobatinya dan tidak membiarkanku tergeletak. Aku ditarik lagi untuk meneruskan perjuangan bersama ini. Memang sakit, memang lelah, memang menuntut banyak pengorbanan, tapi semua itu akan terbayar dengan pantas. Bayarannya, sebuah keluarga baru. Lelah dan pusing kularutkan dalam tawa gurih dini hari di emperan jalan lengkap dengan angin-menusuk-tulangnya. Hari-hari penuh bersitegang urat dan lelehan air mata tertebus oleh senja-senja indah ketika bermain (saling) lempar bambu –sebenarnya berbahaya, namun menghibur– dan ceburan rusuh di kolam dangkal. Awan hitam bergulung, derai hujan beserta badainya segera disusul malam meriah, alunan dangdut memabukkan, kembang api berledakan, serta pelukan-pelukan hangat penuh syukur dan terima kasih. Pelanginya muncul seusai badai. Bulan-bulan inilah yang membuatku mengucapkan syukur paling banyak untuk sebuah imbalan yang tak pernah kukira akan diberikan padaku. Aku lagi-lagi belajar; kali ini banyak sekali. Belajar menerima perbedaan, belajar mau bicara, belajar peduli dan peka, belajar bekerja, belajar mengerti dan mendengarkan, belajar mengakui kesalahan, belajar saling mengingatkan, (lagi) belajar memberi, dan belajar rendah hati.

Hari-hari berikutnya kupikir akan lebih tenang, ternyata gejolak muncul lagi. Kesombongan dan ketidak pedulian pada sekitar menyebabkan kejenuhan dan degradasi mutu. Satu atau beberapa bagian nyaris lepas. Namun, syukurlah…kontrol sosial masih berfungsi dalam keluarga ini. Kemauan bicara dengan rendah hati menyelamatkan kami. Semoga ikatan ini tetap bertahan dan mendidik kami untuk mau berproses bersama, membuka hati dan mata serta peka. Aku belajar. Belajar berani bicara, belajar minta maaf. Belajar menghargai sebelum kehilangan.

Masalah terbesarku tahun ini masih saja bercokol belum terselesaikan. Iri hati dan keragu-raguan. Niatan menata hati masih berjalan namun belum mencapai hasil maksimal. Entah terhalang kemauan yang belum total, keseriusan yang belum penuh, atau kemalasan yang bersarang dengan senang. Aku pun sudah memilih; aku bersedia bertanggung jawab. Namun, rasanya masih tetap kering. Oh Tuhan…sungguh aku menunggu hati ini sejuk lagi. Ya, aku belajar. Aku telah, sedang, dan akan terus belajar. Aku tidak mau melewatkan sedikit waktu pun untuk mencoba mengembalikan keadaan menjadi lebih nyaman.

Akhirnya pelajaran terbesar yang kuterima tahun ini adalah tentang kedewasaan dan kerendahan hati. Menjadi dewasa itu memang terkadang terasa menyakitkan. Banyak hal tidak seperti yang aku bayangkan. Namun, mau tidak mau aku tetap menapaki jalan kedewasaan itu, ketika lebih banyak tanggung jawab ditumpangkan di pundak dan pertimbangan untuk keputusan dijejalkan di pikiran.  Hidup mulai menjajakan persimpangannya; aku berjalan menujunya. Berbekal kepercayaan dari orang terkasih, aku pun menentukan pilihan dan bertanggung jawab atasnya kemudian. Aku belajar menguatkan hati dan mengorbankan keinginan kekanak-kanakan. Banyak hal tidak terduga bergulir di depan mataku. Semua ini mengajariku sesuatu yang tak kalah penting: tidak menghakimi dan menjaga kepercayaan. Semua orang punya hak yang sama untuk memilih dan bertindak. Rendah hati, hal paling abstrak yang sedang berusaha kucapai sambil terseok-seok. Berulang kali gagal sempat membuatku jatuh dan menyesali diri. Sulitnya minta ampun. Tapi, justru di situlah letak istimewanya. Aku tidak mau meraihnya dengan begitu mudah karena itu akan membuatku berhenti belajar. Dan ketika aku berhenti belajar di situlah titik kebodohanku. Aku akan mengejar kerendahan hati itu; kuharap hingga akhir hidupku.

Pelajaran lainnya adalah tentang berdamai. Aku menemukan bahwa ada sakit hati dan kekecewaan yang begitu dalam yang menghabiskan banyak waktu untuk meredakannya. Tapi, kemudian aku memilih untuk mencoba berdamai. Ya, cukup berhasil. Aku belajar berdamai dengan diriku sendiri. Berdamai dengan keadaan. Itu melegakan.

Haah…penuh sekali tahun ini. Begitu penuh. Kuucapkan terima kasih yang besar untuk Dia yang memberiku kesempatan belajar di tiap waktu selama tahun ini. Terima kasih pula atas kesetiaan mendampingi dan menguatkanku dalam proses belajar ini. Sekaligus, aku minta maaf untuk semua yang dikecewakan dan terkecewakan tahun ini. Aku penuh dengan kekurangan, teman. Namun, percayalah…aku belajar. Mohon sabar. Aku mau belajar lagi. Meneruskan pelajaran di periode satu tahun berikutnya, dua tahun berikutnya, tiga tahun berikutnya, dan seterusnya hingga habis umurku. Maukah belajar bersamaku?


Happy being a better person.
Happy making the world a better place to live.

Berkah dalem.




Tahun berganti, kembang api berledakan, Sheila On 7 tampil, seisi rumah terlelap
Terima kasih Tuhan.

Komentar

Postingan Populer