berjalan lagi


“…mereka sebenarnya tidak suka tumbuh menjadi dewasa. Sementara orang dari watak lainnya ingin meninggalkan masa kanak-kanak,…”

Begitu yang tertulis di sebuah buku tentang salah satu tipe kepribadian. Ternyata eh ternyata, aku termasuk di dalamnya. Yah, mungkin dulu aku mengamini bahwa aku ‘semacam’ menolak tumbuh dewasa; aku begitu menikmati masa kanak-kanakku. Akan tetapi, jangankan menghentikan, menunda saja tidak mungkin dilakukan jika urusannya sama si ‘waktu’. Secinta-cintanya aku pada masa lalu, istilah “andai saja aku bisa mengulang waktu” yang begitu santer muncul di lagu-lagu cinta tidak berlaku buatku. Aku tak pernah mau mengulang sedetik pun waktu yang telah berlalu. Jika waktu bisa diulang, mau jadi apa nasibnya waktu? Bahkan ketika ia tidak bisa diulang pun, banyak orang tak mampu menghargainya.

Usia 19 merupakan waktu penghujung gelar ‘bocah belasan tahun’ku. Kupikir tahun itu akan kulalui dengan langkah yang lebih ringan, mengingat usia yang juga tak lagi muda. Nyatanya…sejauh ini, tahun itu merupakan tahun terberat yang pernah kulalui (bahkan mengalahkan usia 15). Usia 19 adalah tahun ultra labil. Aku benar-benar berteman baik dengan labilitas. Ditambah lagi, kata ‘galau’ dan ‘nggerus’ naik daun di taman bermainku. Makin jadilah semuanya (tidak ada hubungannya sih).

Krisis yang menimbulkan multi-krisis memang menyebalkan. Krisis identitas di usia 19 berbuah bubarnya berbagai macam aktivitas yang kujalani. Satu per satu kenangan masa lalu melintas kembali, bukan untuk dikenang secara menyenangkan, melainkan hadir sebagai pembanding dengan kenyataan yang terjungkir balikkan sekarang. Peristiwa-peristiwa masa kecil menyembul lagi ke permukaan untuk dibantah oleh pribadiku yang sekarang ‘katanya begini, katanya begitu’.

Seorang teman menyebutkan, aku adalah gelas yang (ketika itu) ditunggu pecahnya. Bingo…aku pecah tak lama sesudah ia mengatakannya. Aku mencoba melihatnya secara lebih tenang dengan sekuat tenaga. Kuputuskan untuk meremukkan gelas itu seluruhnya dan membiarkan kepingan-kepingannya lepas dari bentuk aslinya. Aku terlalu lelah mempertahankan tekstur yang ampun-ampunan kerasnya macam kaca begitu. Tapi, keputusan untuk meremukkannya menjadi kepingan-kepingan kecil juga tidak mudah. Aku menginjak kepingan itu tanpa sengaja, hasilnya ya tak lain tak bukan: luka. Sakit memang. Sakit sekali. Sebenarnya, aku butuh waktu lama untuk menyembuhkannya, tapi sudah terlanjur banyak yang menunggu. Aku berjalan lagi, dengan kaki yang terluka. Berat dan menyakitkan.

Satu hal yang kusyukuri, keputusan meremukkan gelas itu kuambil dengan mantap (hal yang begitu sulit kulakukan sepanjang umur hidupku: menentukan sikap). Setelah menghancurkan benda keras itu, aku berusaha mengumpulkan kepingannya satu demi satu sekecil apa pun itu (karena semua hal begitu berarti). Lantas, niatku selanjutnya adalah menyusunnya lagi menjadi sebuah bentuk baru. Aku harap itu bisa membantu. Tapi, tentu saja menyusun kepingan dalam jumlah sebanyak itu tak mudah dan akan butuh waktu yang lama. Di titik inilah aku berada sekarang. Aku tak mau mencemaskan berapa lama waktu yang harus kuhabiskan untuk melakukannya. Aku hanya mau menjalaninya dengan sederhana.

Mungkin beberapa orang menganggap aku menghabiskan begitu banyak waktu yang jadi tak berguna tahun lalu. Aku hanya sibuk meratapi diri sendiri dan tak berusaha beranjak ke mana-mana. Bagiku, tak ada sedikit pun waktu yang terbuang percuma. Aku membuatnya menjadi bagian dari perjalanan belajar. Aku memang tak memungkiri mungkin hasilnya tak sebaik yang diharapkan orang-orang, tapi tak ada gunanya menyesali itu semua. Aku juga tak mau menjanjikan apa-apa, aku hanya berusaha meneruskan menyusun kepingan-kepingan ini dan menjadi diriku lagi.

Sebuah ucapan selamat ulang tahun yang sangat kusukai aku terima ketika merayakan ulang tahun ke-16. “Menjadi dewasa bukan berarti kita tahu segala hal, bahkan menirukan tawa anak kecil saja kita sudah tidak mampu. Maka, dibutuhkan jembatan untuk keduanya, yaitu kerendahan hati.” Kira-kira begitu isinya (setelah kureka ulang sendiri). Seorang teman mengutipkannya dari sebuah cerita pendek tulisan Dewi Lestari. Begitu ngampleng.

Terima kasih untuk 20 tahun penuh ‘rencana’ ini, Tuhan. Terima kasih untuk semua yang hidup sebagai teman.

Aku masih orang yang sama, yang berjalan menuju kedewasaan dan kerendahan hati.


3 Januari 2012
Terima kasih untuk sedotan dan pisau lipat, rokok, batik, telepon pukul 00.30 dan keramaiannya, solo lagu diiringi kencrung legendaris, black forest, dan semua pesan penuh cinta

Komentar

  1. selamat ulang tahun Pita...
    yaa menjadi dewasa adalah sebuah pilihan tapi apakah kita mampu menjadi dewasa tanpa melalui proses kanak-kanak?
    menajdi anak-anak itu sangat menyenangkan, melihat semua dengan kepolosan dan tidak pernah menilai....selalu jujur dan membumi...itu anak-anak Pit...mari menikmati kekanak-kanakkan kita untuk menapaki tangga yang disebut "dewasa"

    BalasHapus
  2. hehe...yoi ren. menikmati proses dan merefleksikannya selalu jadi hal yang menyenangkan pada akhirnya. :) makasih yaa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer