tentang buku Mahabharata
Saya baru saja menyelesaikan sebuah buku yang mulai saya baca sejak sebelum liburan. Kali ini dengan gembira saya mengumumkan bahwa saya sudah selesai membacanya! (senang sekali bisa menghabiskan buku lagi!) Buku yang beruntung saya baca ini adalah sebuah buku terbitan lama, namun baru saya baca tahun lalu. Sudah sejak 2003 buku ini terbit. Berbekal rayuan pada seorang teman, saya berhasil menggondol pulang buku tersebut untuk dirampungkan selama liburan. Setelah penjelasan panjang lebar yang tidak mendebarkan sama sekali, inilah judul bukunya………Mahabharata.
Belakangan memang saya tertarik mengetahui lebih banyak tentang cerita-cerita wayang. Nah, buku yang satu ini ialah salah satu versi tulisan tentang cerita epik tokoh-tokoh yang biasanya dilakonkan dalam bentuk kesenian wayang di Indonesia. Buku yang saya baca ini merupakan tulisan seorang penulis Bali, Nyoman S. Pendit. Saya senang sekali berhasil merampungkan bacaan ini karena saya mencoba membaca berbagai sumber tertulis cerita tersebut.
Pertama kali mengetahui cerita wayang, saya terduduk di angkringan kesayangan saya dan teman-teman selama 3,5 jam dengan kuping siaga. Tak lain tak bukan, saya diceritai secara lisan kisah-kisah menarik tersebut oleh seorang teman yang menggandrungi wayang sejak kecil hingga sekarang ia tak kecil lagi. Kisah super duper panjang (meski sudah dipersingkat dengan sangat dahsyat oleh penceritanya) itu saya dengarkan sambil berusaha mengingat-ingat setiap tokoh yang muncul di dalamnya. Saya menyebut kisah itu sebuah pohon silsilah yang demikian njelimetnya. Banyak sekali tokoh yang muncul; latar ceritanya pun harus berganti ke sana kemari supaya jalan ceritanya koheren. Beruntung, teman saya itu memiliki kemampuan bercerita yang menakjubkan. Ia mampu memaparkan kisah-kisah itu dengan sangat menarik. Sepulangnya dari wayangan angkringan itu, saya berusaha menuliskan kembali yang telah saya dengar. Ternyata eh ternyata, saya tak sanggup menyelesaikan tulisan itu.
Setelah lagi-lagi saya memberikan penjelasan yang tak mendebarkan, kini saya mau mengalah dan memulai mengisahkan alasan saya menulis tulisan membingungkan ini. Naaah…jadi, begini. Intinya, impresi yang timbul antara ‘mendengarkan’ dan ‘membaca’ kisah pewayangan ini ternyata berbeda. Sebenarnya, bukan dari sisi indera yang saya gunakan perbedaan ini muncul, melainkan lebih tepatnya dari versi cerita lisan teman saya dan yang tertulis dalam buku. Saya mengkhususkan perbedaan ini pada poin karakteristik tokoh dan penokohannya.
Dalam cerita lisan teman saya, sejumlah tokoh yang dominan—misalnya Pandawa dan Kurawa— digambarkan sebagai tokoh yang datar (flat characters). Artinya, mereka hanya memiliki satu sifat dominan yang sangat menonjol dan menjadi ciri khasnya. Lebih jauh lagi, cara teman saya menceritakannya terlihat semacam mengabaikan sejumlah karakteristik tertentu dari tokoh-tokoh tersebut. Misalnya, tokoh Yudhistira yang dikenal memiliki sifat dominan jujur dan bijaksana disebutkan memiliki kelemahan yang berkaitan dengan kejujurannya tersebut, yakni gampang dibohongi dan dicurangi dalam sebuah permainan dadu sementara ia sendiri menolak untuk berbuat demikian. Contoh lainnya, Arjuna, seorang ksatria tampan tanpa cacat cela dan jago perang. Satu-satunya kelemahan Arjuna ialah tidak mampu menolak perempuan mana pun. Bhima yang ditokohkan sebagai seseorang berperawakan besar dan memiliki kekuatan yang tak terkalahkan juga menyandang kelemahan, yakni kerap mengabaikan sopan santun dan tata krama, serta bersikap kasar. Meski karakter baik dan buruk ini diceritakan oleh teman saya itu, tokoh-tokoh ini tetap saja datar. Sebab musababnya adalah karakter buruk mereka tidak terlalu mengambil peran penting dalam ceritanya. Semua ksatria Pandawa diceritakan sebagai tokoh yang gagah berani, membela kebajikan, dan selalu benar. Sebaliknya, penokohan Kurawa selalu menonjolkan karakter buruk mereka dan cenderung mengabaikan sifat-sifat ksatria yang mereka punya.
Naaah... membaca buku Mahabharata tulisan Nyoman S. Pendit awalnya membuat saya agak kaget. Saya semacam anak kecil yang mengimani bahwa pangeran berkuda putih itu selalu baik hati dan tampan. Ia akan menyelamatkan putri cantik yang selalu tersiksa untuk dijadikan permaisurinya. Ia akan mengalahkan nenek sihir jelek yang jahat. Demikian halnya dengan cerita wayang. Saya dibekali dengan kepercayaan bahwa semua Pandawa itu baik hati dan tak akan melakukan perbuatan tercela. Saya percaya bahwa semua Kurawa itu makhluk jahat tanpa perasaan dan suka perang. Nyatanya, buku ini berkata lain. Semua tokoh datar dalam cerita lisan teman saya dulu itu berubah menjadi karakter bundar…hahaha (terjemahan dari round characters), yah maksudnya menjadi tokoh yang lebih realistis dari segi wataknya (tidak dari segi kesaktiannya). Misalnya, tokoh Yudhistira menjadi lebih mendekati manusia nyata ketika dikisahkan sedang bermain dadu dengan Kurawa. Yudhistira yang bolak-balik kalah karena dicurangi memang tak mau berbuat curang, akan tetapi ia menjadi kalap dan lupa diri. Ia sampai hati mengorbankan adik-adik kesayangannya, kerajaannya, dan (bahkan) istrinya. Gara-gara itu semua, para Pandawa dan Drupadi (istri mereka) dihina habis-habisan dan dipaksa menjalani hukuman pengasingan di hutan selama dua belas tahun. Penokohan Yudhistira yang jujur dan bijaksana menemui sisi kemanusiaannya ketika ia diceritakan lupa diri dan tega berbuat tidak pantas pada keluarganya sendiri. Contoh lainnya ialah penokohan Bhima. Meski memang ditokohkan sebagai ksatria yang kasar dan memiliki kekuatan besar, Bhima dalam Mahabharata yang saya baca ialah seorang tokoh yang mendekati manusia sesungguhnya ketika ia menghadapi perang. Dendamnya pada Duryodhana membuatnya tega melanggar aturan perang pada masa itu dan bertindak keji dengan meremukkan paha Duryodhana (padahal menurut aturan perang, dilarang menyerang tubuh bagian bawah perut) dan menginjak-injak kepalanya ketika ia sekarat. Selain Pandawa, Karna yang juga dikategorikan sebagai tokoh antagonis dalam buku ini memiliki sisi lain dirinya yang bertolak belakang dengan keburukannya. Karna sempat diceritakan sebagai seorang ksatria pemberani dan setia. Ia juga berhati besar dan luhur karena ia berperang di pihak Kurawa demi membalas jasa Duryodhana dalam hidupnya meski ia tahu Pandawa adalah saudaranya sendiri.
Dari tiga contoh itu, saya ingin menunjukkan perbandingan antara kedua versi cerita yang pernah saya ketahui. Sosok-sosok protagonis dalam kisah ini juga dideskripsikan memiliki sifat antagonis yang juga menonjol dan signifikan dalam cerita. Tak hanya penokohan mereka, bahkan para petinggi-petinggi kerajaan, ksatria-ksatria besar, para brahmana, dan bahkan para dewa pun digambarkan memiliki dua belah sisi kepribadian. Kedua sisi kepribadian ini digambarkan dengan tidak berat sebelah. Semua tokoh protagonis harus berkutat dengan nafsu dan kelemahan-kelemahan mereka. Hal-hal tersebut berusaha mereka tekan (represi), akan tetapi layaknya manusia pada umumnya mereka juga kerap lengah dalam usaha tersebut sehingga sifat itu mencuat ke permukaan. Sebaliknya, para tokoh antagonis yang digambarkan selalu berusaha merebut kekuasaan dengan rakus dan lain sebagainya ternyata juga dinilai memiliki sifat-sifat ksatria (yang pada masa itu dianggap sangat mulia), misalnya tak mau mundur dari medan peperangan sebelum menyelesaikan tugasnya. Tak lupa, sifat-sifat ksatria yang mereka tunjukkan ini pun mendapatkan apresiasi dari para dewa dan tentunya dari penulis sendiri (dengan membubuhkan keterangan bahwa tindakan itu sangat heroik dan sebagainya).
Inilah bagian menarik dari membaca buku ini. Penokohan bagi tiap karakter di dalamnya dibuat lebih realistis dan menyerupai manusia pada umumnya (memiliki sisi baik dan buruk). Kedua sisi kepribadian ini pun diletakkan dalam porsi yang tepat sehingga keduanya signifikan dalam cerita dan menjadikan tokoh tersebut tidak datar.
Kesimpulan tambahan, membaca selalu memberikan sebuah pengalaman yang berbeda. Maka, membacalah! Hehe… begitu saja deh cerita saya kali ini. Mahabharata adalah sebuah buku yang layak dibaca oleh siapa pun yang tertarik. Saya juga menyukai nilai-nilai kebijaksanaan yang diselipkan di dalamnya. Recommended!
asikk jadi inget lagi kelas-kelas prose... lanjutkan,,,,,
BalasHapus