menjadi dewasa di negeri dongeng
Kurang lebih sejak dua tahun yang lalu, saya sering menulis ngalor-ngidul tentang kedewasaan, kekanak-kanakan, dan identitas yang bergejolak. Nah, dalam rangka kebingungan di penghujung tahun itu, saya sempat menaklukkan hati seorang teman lainnya supaya bukunya bisa saya pinjam selama liburan. Sampulnya identik dengan sampul buku-buku cerita anak-anak. Ketika membaca tulisan di sampul bagian belakangnya, saya langsung tertarik sebab buku itu disebutkan menceritakan tentang perjalanan menuju kedewasaan. Kedekatan tema buku itu dengan kegalauan yang tengah melanda saya kala itu menyebabkan saya penasaran. Beberapa hari yang lalu saya berhasil merampungkan buku berjudul The Book of Lost Things itu, atau dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Kitab Tentang yang Telah Hilang tulisan John Connolly.
Membaca bagian awal buku itu merupakan perjuangan berat karena saya berusaha betah membuka halaman demi halamannya seraya meyakinkan diri sekuat tenaga bahwa buku ini akan menarik. Saya hampir saja kehilangan minat baca. Buku ini memuat kisah hidup seorang bocah laki-laki bernama David, yang saya duga akan menjalani sebuah proses pendewasaan entah lewat cara apa. Ternyata eh ternyata, penulis buku ini berhasil membuat saya menyelesaikan bacaan ini dan memberikan komentar: unik.
The Book of Lost Things sekilas memang seperti sebuah buku dongeng untuk anak-anak. Tapi, jangan kaget ketika membalik sampul belakangnya dan menemukan tulisan ‘novel dewasa’ di sana. Sedikit tidak percaya, saya menemukan bahwa buku itu memang sesungguhnya ditujukan untuk orang dewasa. Tidak seperti novel dewasa lainnya, cerita dalam buku ini justru mengambil latar yang dekat dan identik sekali dengan dunia anak-anak, yaitu negeri dongeng. David, yang menjadi tokoh utama, dikisahkan sebagai anak laki-laki yang tengah beranjak dewasa dan harus berkutat dengan berbagai macam konflik dalam keluarga barunya, misalnya ketidaksukaannya pada ibu tirinya, perhatian ayahnya yang pelan-pelan memudar, serta kelahiran adik tirinya yang menurutnya merenggut segala kebahagiaan yang bisa dia dapatkan.
David ialah seorang anak laki-laki yang sangat gemar membaca. Ia menyukai buku-buku dongeng klasik dan hampir menghafalkan semua ceritanya. Singkat cerita, karena sebuah peristiwa ia jadi mampu mendengar buku-buku berbisik dan saling bicara satu sama lain. Awalnya memang terganggu, tapi lama kelamaan dia terbiasa dengan kemampuannya itu. Ternyata, kemampuannya itu berbuntut panjang. Seorang tokoh dalam cerita dongeng, si Lelaki Bungkuk, mendatanginya ke dunia nyata dan menggiringnya ke negeri dongeng. Di sanalah David memulai perjalanannya. Ia harus menghadapi berbagai macam halangan dan rintangan untuk dapat kembali pulang ke dunianya. Ia harus menemui sang Raja dan memintanya mencari dalam kitab kesayangan raja, Kitab Tentang yang Telah Hilang, cara untuk kembali ke dunia normal.
Perjalanan dan petualangan David di negeri dongeng memang seakan bagian klasik dari sebuah cerita anak-anak. Akan tetapi, detil-detil perjalanannya akan mengingatkan para pembaca pada hal-hal yang kerap ditemui seseorang dalam perjalanannya menuju kedewasaan. Poin yang menurut saya paling penting dalam cerita ini adalah menghadirkan kisah bahwa negeri dongeng sama sekali berbeda dengan yang ada di dalam bayangan anak-anak. Hal ini berkaitan dengan pengalaman hampir setiap orang yang beranjak dewasa bahwa kenyataan terasa makin tidak menyenangkan dan tidak seperti yang diidam-idamkan ketika kecil dulu. Ide ini tercermin dalam penokohan beberapa karakter dalam dongeng klasik yang benar-benar berbeda. Snow White atau Putri Salju bukanlah seorang gadis cantik yang lembut dan baik hati. Ia adalah seorang perempuan sangat gendut dengan tingkah menyebalkan. Ia tinggal bersama tujuh kurcaci yang terpaksa menampungnya karena mereka dikenai sanksi oleh pengadilan untuk mengurus Putri Salju. Mereka pernah mencoba meracuni Putri Salju dengan apel tapi ia berhasil dibangunkan oleh ciuman seorang Pangeran berkuda putih. Lucunya, bukan nenek sihir jahat yang meracuni putri ini. Selain itu, pangeran yang menciumnya itu tidak berkenan menikah dengannya. Lelaki itu langsung meninggalkannya setelah ia terbangun.
Perbedaan lain juga muncul dalam tokoh Gadis Berkerudung Merah. Dalam dongeng klasik, ia dikejar-kejar seekor serigala dalam perjalanan menuju rumah neneknya. Akan tetapi, dalam cerita ini justru gadis ini jatuh cinta dengan si serigala dan akhirnya tidur dengannya. Hasil dari hubungan mereka ini ialah makhluk setengah manusia dan setengah serigala, yang disebut Loup. Nantinya, kaum Loup ini berkembang terus jumlahnya dan mengejar-ngejar David dalam petualangannya di negeri dongeng.
Selain penggambaran tokoh yang berbeda ini, detil-detil lain yang identik dengan dunia orang dewasa juga muncul dalam permasalahan sosial tokoh-tokoh di dalamnya. Para kurcaci yang tinggal bersama Putri Salju saling memanggil ‘kamerad’ antarmereka. Dalam obrolan sehari-hari, mereka selalu berbicara tentang keadaan mereka sebagai kaum tertindas dan terus mengusahakan perjuangan kelas pekerja. Awalnya, mereka berdelapan, akan tetapi seorang saudara mereka yang bernomor tujuh tidak lagi mereka akui sebagai saudara. Sebabnya adalah kamerad nomor tujuh ini bekerja di perusahaan roti milik ibunya. Ketujuh kurcaci yang lain menganggapnya berkhianat karena ia bersekongkol dengan kaum ‘kapitalis’ (mereka biasanya menyebut gelar ini dengan kemarahan). Ketujuh kurcaci lainnya bekerja sebagai penambang berlian. Namun, mereka tidak pernah mau memberitahukan bahan tambang yang mereka hasilkan dan letak tambang itu pada siapa pun kecuali David. Alasannya, mereka tidak mau orang-orang mendengar tentang tambang itu dan mulai mengambil keuntungan secara berlebihan (eksploitasi) untuk diri mereka sendiri. Salah satu kurcaci itu menyebutkan bahwa selama tambang itu dirahasiakan, mereka hanya akan menambang secukupnya untuk kebutuhan mereka sendiri dan tidak akan pernah mengambil keuntungan lebih dari itu. Kisah para kurcaci ini akrab dengan gerakan perlawanan menentang kapitalisme yang pernah populer (bahkan hingga sekarang) di beberapa negara di dunia. Tentunya, dialog semacam ini tidak pernah muncul di dongeng klasik anak-anak.
Fenomena sosial lainnya muncul ketika David bertemu dengan seorang pemuda ksatria yang sedang dalam perjalanan mencari sahabat karibnya yang menghilang. Dalam perjalanan itu, mereka sempat beristirahat di balik sebuah gedung gereja tua. Ksatria bernama Roland itu mengemukakan pendapatnya tentang agama baru yang dibuat oleh Raja dan kemudian dianut oleh rakyatnya. Menurut Roland, agama itu membuat para penganutnya seakan buta dan menujukan semua orientasi kepada Tuhan. Mereka mulai berdoa meminta segala sesuatu kepada Tuhan. Ketika mereka berhasil mendapatkannya, mereka akan bersyukur. Namun, ketika tidak, mereka akan melihat itu sebagai ‘kehendak-Nya’ dan berpasrah pada apa pun yang akan terjadi. Roland menyempatkan diri berkata, “Tuhan macam apa itu?” Perdebatan dan pertentangan tentang sifat dogmatis agama sendiri memang menjadi salah satu isu yang lumayan bertahan aktualitasnya dalam dunia orang dewasa. Ketika anak-anak, hal ini mungkin bukanlah sebuah hal penting untuk diperhatikan. Rutinitas beragama terus dijalankan dan diajarkan. Namun, ketika menghadapi dunia yang lebih luas dan bertemu berbagai macam wacana, sebagian orang sempat mengalami masa-masa mempertanyakan segala hal yang dulunya diimani begitu saja. Agama salah satunya. Di bagian ini, penulis ‘menyempilkan’ permasalahan yang sering dialami orang yang beranjak dewasa ini. Saya sendiri tidak begitu yakin apakah komentar Roland tentang agama itu mewakili pola pikir dan sikap yang diambil penulis. Siapa tahu isu ini hanya sekedar dihadirkan untuk menyentil kesadaran pembacanya (yang mungkin pernah mengalami hal yang sama).
Masih berkaitan dengan Roland, David sempat menerima informasi sumbang tentang ksatria ini ketika ia bertemu lagi dengan si Lelaki Bungkuk. Roland yang menyebutkan bahwa ia sedang dalam perjalanan mencari sahabat laki-lakinya yang sangat dicintainya disebut-sebut memiliki hubungan khusus yang tidak semestinya dengan lelaki bernama Raphael itu. Alhasil, David sempat menjadi sangat takut dan menghindari Roland karena menduga Roland ialah seorang homoseksual. Siapa yang mengharapkan kisah macam ini muncul di dongeng anak-anak? David tentunya menghadapi gejolak besar dalam dirinya karena menemui kenyataan yang belum akrab dengan dunia bermainnya. Roland yang mengenali kecurigaan David itu menyelesaikan semua masalah dengan mengatakan bahwa hubungan antara dirinya dan Raphael adalah urusan mereka berdua sepenuhnya. Lagi-lagi, meski tak yakin apakah sikap Roland ini adalah representasi dari sudut pandang penulis, bagian kisah ini menghadirkan sebuah peristiwa benturan dalam hidup seseorang. Berhadapan dengan hal-hal yang sebelumnya ada di luar jangkauan dunianya tentunya sangat tidak mudah untuk David sebagai anak-anak. Tapi, pada kenyataannya itu sungguh-sungguh eksis di dunia nyata. Pergulatan untuk menerima kenyataan ini tentunya juga dialami oleh kebanyakan orang dalam perjalanan menuju kedewasaan. Proses penerimaan kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. Pada akhirnya, David mampu mengesampingkan penilaian buruk yang tak sepenuhnya pantas untuk diberikan pada Roland itu. Ia menerima Roland sebagai seorang rekan perjalanan yang sepenuh hati mendampinginya dan mau menyelamatkan nyawanya.
Perjalanan David menuju istana Raja bukanlah hal yang mudah. Ia harus mengalahkan makhluk-makhluk aneh dan menyeramkan yang membahayakan nyawanya. Makhluk-makhluk ini—termasuk kaum Loup—merupakan representasi dari rasa takut David. Sejak kecil ia sangat tidak menyukai tokoh serigala. Ketakutannya ini kemudian menjelma dalam cerita dongeng yang dimasukinya. Hal ini merupakan ide yang kerap kali muncul dalam banyak cerita. Menaklukkan ketakutan. Bahkan, sebagian besar cerita mengungkapkan bahwa hanya dengan cara itulah seseorang dapat mencapai sebuah kemajuan. Tiap orang pastinya mengalami peristiwa unik masing-masing dalam mengalahkan ketakutan itu. Waktu yang dibutuhkan tiap orang untuk bergulat dengan ketakutannya pun berbeda-beda (meski sebenarnya menurut saya nyaris sepanjang umur hidupnya manusia dibayangi ketakutan-ketakutannya). David sebagai tokoh anak-anak yang beranjak dewasa juga tidak luput dari perjuangan menaklukkan ketakutan ini. Ia diceritakan baru berhasil mengalahkan kaum Loup itu sepenuhnya setelah berhasil sampai di istana raja, yang artinya sepanjang kisah itu berlangsung David selalu dikejar-kejar oleh ketakutannya sendiri.
Setelah melalui berbagai petualangan yang mengancam jiwanya, David berhasil tiba di istana dan bertemu dengan raja. Sang Raja ialah Jonathan Tulvey, saudara sepupu ibu tiri David yang diceritakan menghilang bersama adik tiri perempuannya ketika berusia 12 tahun. David menempati kamar Jonathan ketika ia tinggal di rumah ibu tirinya. Ternyata Jonathan juga masuk ke dunia dongeng ini dan tidak kembali. Ia menyerahkan adik tirinya kepada si Lelaki Bungkuk sebagai imbalan supaya ia bisa hidup tenang di dunianya sendiri. Rupanya, Jonathan juga mengalami pergulatan yang sama dengan David: rasa iri pada adik tirinya. Gadis kecil bernama Anna itu dibunuh oleh Lelaki Bungkuk dan jiwanya diambil untuk dijadikan penyambung nyawa si Lelaki Bungkuk. Dari Anna, David belajar mengatasi rasa irinya pada adik tirinya. Ia tidak mau adiknya disakiti dan dibunuh oleh Lelaki Bungkuk. Perlahan-lahan David menyadari bahwa sesungguhnya adiknya tidak punya salah apa-apa hingga ia pantas dibenci. Pergulatan batin macam ini sangat akrab dalam kehidupan manusia. Orang-orang kerap kali mencemburui orang yang lebih kecil dan lemah dibanding dirinya. Ketakutan bahwa orang-orang akan lebih mencintai si kecil ini menjadi momok dan kadang-kadang menyebabkan seseorang tega mencelakainya. Hal yang kerap kali luput dalam peristiwa semacam itu adalah kesadaran bahwa si kecil ini sebenarnya tidak bersalah dan tidak pantas diperlakukan demikian. Namun, pribadi yang menghadapi pergulatan ini bisa saja malu atau gengsi mengakui bahwa ia mengetahui hal itu sebab ia akan dinilai kekanak-kanakan.
Kitab Tentang yang Telah Hilang sendiri sebenarnya bukan benda berharga menurut si Lelaki Bungkuk. David berhasil mengetahui isi kitab yang menjadi harta karun satu-satunya milik sang Raja. Buku itu berisikan kisah-kisah masa kecil Jonathan Tulvey dan benda-benda kesayangannya yang selalu mengingatkannya pada masa itu. Ya, bagi orang lain kitab itu mungkin sampah. Namun, bagi Jonathan kitab itu satu-satunya hal yang menyadarkannya bahwa ia telah kehilangan banyak hal dari masa kecilnya yang bahagia. Tak aneh jadinya jika Jonathan begitu menyayangi kitab itu karena seluruh kebahagiaan Jonathan ada di dalamnya. Naaah…berkaitan dengan kitab ini, saya pikir semua orang memilikinya entah apa pun bentuknya. Tiap-tiap dari kita pernah melalui masa-masa yang membahagiakan (tidak mesti masa kanak-kanak) dan biasanya kita menyimpan kenang-kenangan tentang masa itu. Entah dalam bentuk buku harian, album foto, atau mungkin hanya dalam ingatan. Tak jarang, orang-orang berkomentar miring tentang kenangan itu dan menertawakan tingkah kita yang konyol untuk memeliharanya. Akan tetapi, sekonyol apa pun bentuk kenangan itu, kita mampu menemukan sebuah kebahagiaan di sana. Kebahagiaan yang juga memberikan banyak pelajaran dan akan terus dikenang sepanjang umur hidup.
Bagi saya sendiri, keberadaan Kitab Tentang yang Telah Hilang dalam kisah si David ini merupakan representasi dari hal-hal yang secara tidak sengaja telah banyak dilupakan oleh orang, entah itu karena kesibukan atau hal-hal lain. Perjalanan menuju kedewasaan pun menjadi salah satu alasan yang mungkin menyebabkan kelupaan itu. Saya sendiri sempat mengalaminya dan juga menemui beberapa orang yang mengalami hal yang sama. Keinginan menggebu-gebu untuk tumbuh dewasa kadang-kadang membuat seseorang melempar begitu saja kenangan masa kecil ke bagian ingatan yang paling dalam. Orang-orang ini kemudian berjalan menapaki begitu banyak ritual dan rutinitas kedewasaan. Suatu ketika, hal-hal yang telah mereka tekan jauh ke dalam ingatan yang paling dalam itu akan muncul. Hasilnya, kerinduan yang begitu dalam akan mereka rasakan meski hanya melihat atau menemui hal-hal kecil yang pernah muncul di masa lalunya. Sebagian orang salah perhitungan dengan rasa rindu ini. Mereka mungkin berpikir bahwa ini hanya sekelebat kenangan yang melintas kembali dan nantinya akan pudar dengan sendirinya. Nyatanya, tak sedikit yang mengalami galau berkepanjangan karena diingatkan pada kenangan-kenangan itu dan merindukannya begitu dalam.
Gambaran negeri dongeng yang sungguh jauh berbeda dalam kisah ini juga menghadirkan pengalaman banyak pribadi dalam menghadapi lingkungan tempat mereka tumbuh dewasa. Mimpi yang mereka idam-idamkan sejak kecil ternyata akan jadi beda ketika berhadapan dengan kenyataan. Persimpangan melintang di sana-sini, tak jarang pilihan jalan dalam persimpangan itu sangat menentukan cerita hidupnya. Hadirnya wacana ini dan itu seiring dengan berkenalan dengan banyak orang juga menimbulkan kebingungan dan keragu-raguan. Dalam buku ini, si Lelaki Bungkuk sempat berkata, “Ketika kau masih anak-anak, kau melihat segala hal hitam dan putih. Namun, kini kau bukan anak-anak lagi, dan segala hal jadi abu-abu. Bahkan banyak orang dewasa tak berani mengambil keputusan karenanya dan hanya tahu perbedaan di antara keduanya…” Ngampleng banget buat saya. Berbagai macam hal yang ditemui dalam perjalanan kedewasaan itulah yang menjadikan ruang abu-abu dalam hidup saya makin melebar. Alasan belajar menerima perbedaan dan keberagaman sudut pandang awalnya memang terdengar meyakinkan, tapi pada akhirnya kadang-kadang menyulitkan sebab menimbulkan keengganan untuk mengambil sikap. Hahaha…mudah-mudahan bisa diperbaiki.
Yaaaahh…intinya novel yang baru saya baca ini menghadirkan berbagai macam konflik yang dialami seseorang dalam perjalanan menuju kedewasaan dengan latar cerita anak-anak. Hasilnya, cerita ini unik meski sebenarnya tidak sebagus yang saya harapkan. Saya sengaja merahasiakan bagian akhir ceritanya. Siapa tahu nanti ada yang mau membacanya (malah jadi tidak seru kalau sudah tahu akhir ceritanya). Kisah dalam buku ini menghadirkan sesuatu yang begitu dekat dengan kehidupan tiap orang yang niscaya akan mengalami proses pendewasaan (meski banyak orang bilang menjadi dewasa itu pilihan). Pengalaman pribadi dan refleksi masing-masing pembaca pastinya berpengaruh banyak dalam menginterpretasikan cerita ini. Sempatkanlah berefleksi lewat tiap hal yang kita baca karena kita sering kali kehilangan waktu untuk berhenti sejenak dan merenungkan banyak hal. Aheee! Selamat membaca buat yang berniat membaca, selamat berefleksi buat yang berniat berefleksi, selamat galau buat yang berniat galau! :)
Komentar
Posting Komentar