Senyum-Mata, Layang-layang, dan Balon Api


Beruntunglah saya dan teman-teman seusia saya bahwa kami menjadi anak-anak di masa belasan tahun yang silam. Ketika itu kami masih bisa bergembira ria dengan mendengarkan lagu-lagu ceria maupun mengharukan dari si penyanyi ini, dan itu, dan ini, dan itu… Mereka kerap disebut penyanyi cilik. Dulu saya akan melonjak gembira ketika dihadiahi kaset Sherina dan Tasya misalnya (meski saya juga tidak akan pernah menolak untuk bersorak demi kaset Backstreet Boys dan Sheila On 7). Kini, lagu anak-anak terlanjur menghilang dari jagad musik negeri saya tercinta ini. Beberapa tahun belakangan sempat ada yang mencoba dengan ‘Tikus Makan Sabun’-nya. Akan tetapi, nampaknya kebiasaan tikus menelan sabun ini kurang cukup menarik untuk pasar anak-anak pada masanya. Herannya, tak satu pun penyanyi cilik muncul. Semuanya hilang tanpa bekas dan tidak tumbuh lagi. Hebatnya.

Sudahlah, saya sendiri tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengembalikan generasi penyanyi cilik dan lagu untuk anak-anak. Meski demikian, ada satu hal yang saya harap tidak akan turut raib dari dunia sekitar saya tak peduli saya beranjak tua sampai usia berapa pun, yaitu buku cerita anak-anak. Sebabnya, saya sangat menikmati cerita-cerita yang ringan dan menyenangkan itu. Saya menyukai ilustrasi dan gambar yang lucu di dalamnya. Saya mencintai kisah-kisah anak-anak yang mencapai ini dan itu atau menghadapi konflik ini dan itu. Saya sungguh-sungguh sadar bahwa buku cerita orang dewasa terkadang melelahkan meski menarik. Maka, buku cerita anak-anak adalah bahan untuk istirahat yang menyenangkan.

Saya baru saja membaca sebuah buku cerita anak-anak, salah satu karya Roald Dahl. Saya begitu gembira mampu mengantongi buku itu pulang hanya dengan harga Rp10.000,00 dari Gramedia. Gramedia, sodara-sodara! Rp10.000,00 adalah angka yang begitu menyenangkan untuk buku ini sementara saya masih bermimpi membeli buku tentang Tyranosaurus Rex untuk anak-anak berisi sekitar hanya 20 halaman dengan harga Rp20.000,00. Sudahlah, suatu hari saya akan membelinya. Kembali ke buku yang saya baca. Kali ini saya membaca salah satu cerita berjudul Danny the Champion of The World, atau dalam terjemahan Bahasa Indonesianya Danny Si Juara Dunia.



Kesenangan membaca buku cerita anak-anak, menurut saya, adalah adanya ruang yang lebih leluasa untuk menerima beberapa imajinasi untuk terjadi dalam cerita. Ruang ini dalam cerita orang dewasa sering kali dibatasi. Konflik yang dihadirkan sebenarnya cukup ringan, akan tetapi (salah satu bagian menyenangkannya) penulis mampu menguntainya dalam kata-kata yang  tetap membuat  saya berdebar menanti cerita petualangan itu berlanjut. Kisahnya tentang seorang anak laki-laki bernama Danny dengan ayahnya yang super duper asik. Mereka pergi berburu burung pegar di hutan milik seorang saudagar kaya yang pelit dan sombong. Menyenangkan sekali.

Paragraf favorit saya di buku ini muncul di bagian awal dan membuat saya tersenyum girang karena mengingat sesuatu. Dulu, saya pernah ditunjukkan foto seorang gadis oleh seorang teman laki-laki saya. Katanya, ia menyukai gadis ini. Saya berusaha agak lama untuk menemukan ketulusan dalam lengkungan senyum foto gadis ini. Tetap tidak bisa. Lantas, saya bilang pada teman saya bahwa gadis itu tak sungguh-sungguh tersenyum. Ia bertanya alasan saya bicara begitu. Saya lalu menutup foto bagian mulut hingga hanya tersisa bagian mata ke atas dan menjawab, “Senyumnya nggak sampai ke mata.” Sebenarnya, itu hanya pendapatku saja. Dari dulu aku selalu mencari tahun senyum seseorang lewat matanya. Teman saya itu mengajukan pembelaan bahwa gadis itu tetap cantik. Hahaha… Nah, kebetulan buku ini menuliskan sebuah paragraf tentang itu. Bagian favoritku itu ada di halaman 17:
                Aku sangat gembira Dad mempunyai mata yang tersenyum. Ini berarti Dad tidak pernah memberiku senyum pura-pura, karena tidak mungkin membuat matamu berbeinar jika kau tidak merasa riang dalam dirimu. Bibir yang tersenyum itu berbeda. Kau dapat memalsu senyum-bibir setiap saat, hanya dengan menggerakkan bibirmu. Aku juga belajar bahwa senyum-bibir yang sesungguhnya juga selalu disertai dengan senyum-mata, jadi berhati-hatilah jika seseorang tersenyum padamu dengan bibirnya tapi matanya tetap sama. Yakinlah itu palsu.
Saya sepakat sepenuhnya dengan Danny.

Hal lain yang membuat buku ini secara pribadi sangat menyenangkan buat saya adalah kisah-kisah awal Danny. Suatu sore ayahnya menyebutkan sebuah kalimat sakti yang sekitar 3-4 bulan yang lalu sangat kusukai: “Anginnya sedang bagus hari ini.” Jika mendengar kalimat ini beberapa bulan lalu, saya akan sangat gembira karena teman-teman akan kembali mewujudkan kemampuan masa kanak-kanaknya dengan tubuh yang beranjak seperti om-om itu. Kami akan sama-sama menikmati bermain layang-layang meski dengan benang seadanya hasil dari mengumpulkan uang receh bersama. Demikian pula dengan Ayah Danny. Ia membuatkan anak semata wayangnya sebuah layang-layang berwarna biru dan menerbangkannya. Layang-layang itu tidak turun dari langit hingga pagi berikutnya.

Satu lagi, masih soal mainan. Hari berikutnya Ayah Danny membuatkan sebuah benda menyenangkan yang juga sudah kuidam-idamkan sejak bermain layang-layang bersama teman-teman kuliah itu. Balon api. Seorang teman yang mirip tabib dari Cina pernah menjanjikan akan membuatkan benda itu dan menerbangkannya di malam hari. Namun, apa mau dikata, meski berbagai macam tawaran konstruksi dan bahan-bahannya sudah direncanakan hingga hari ini keinginan yang satu itu belum kesampaian. Saya berusaha keras menahan diri membaca cerita bahwa Danny dan ayahnya menerbangkan balon api itu ketika malam tiba. Saya hanya bisa gigit jari.

Oh ya, buku ini juga mencantumkan sebuah pesan menarik di halaman belakang lho. Begini bunyinya :
                PESAN Untuk Anak-Anak yang Telah Membaca Buku Ini
                Kalau kau sudah tumbuh dewasa dan punya anak, ingatlah hal yang penting ini. Orangtua yang kaku samasekali tidak menyenangkan. Yang diinginkan anak-anak dan layak mereka dapatkan adalah orangtua yang ASYIK.

Betapa menyenangkannya membaca buku ini. Sebuah istirahat menyenangkan dan pengalaman menakjubkan bertualang kembali ke ruang imajinasi yang luas. Itulah sebabnya saya sungguh-sungguh berharap kita semua tidak akan pernah membiarkan buku cerita anak-anak menghilang dari muka bumi. Selamat membaca semuanya!

Komentar

  1. Aku selalu suka dengan ledakan-ledakan yang keluar dari dirimu. Apapun itu: entah ketika kau bicara, menulis, berkomentar pedas tentang aku yang dimatamu seperti sebentuk (mas-mas ganteng yang aneh). Itulah, aku kenal kamu waktu itu kan pas kamu lagi diem sendiri dan baca buku bergambar hewan purba (baca:neneknya richi dan kamu).

    Terlepas dari itu semua, masa kanak-kanak adalah sesuatu yang mau tidak mau mesti hilang, karena dunia butuh senyum-senyum lucu dari anak yang baru. Dan dunia juga harus memperbaharui dirinya. Sifat kekanak-kanakan dan pikirannya juga mau tak mau mesti hilang kalau kita tak ingin menyakiti orang lain di sekitar kita. Terkadang aku masih pengen mengikuti ledakan-ledakan yang muncul, seperti: locat dan girang melihat orang jual pentol, berjalan-jalan mengarak orang gila, lomba panjang2an ee sama teman, pura-pura jadi patung di pertigaan jalan, membalik sepeda dan menggunakan bannya untuk kemudi (seolah-olah kita adalah supir bis), lari-larian di terminal. Semuanya menyenangkan bagiku. Tapi hantu dan pengistilahan "dewasa" membuatku kerap disihir dengan sesuatu yang banyak merebut senyumku "menahan diri" meski. Meskipun kandang aku tertawa-tawa lepas hingga pantas dikarak bagai orang gila, tapi sebenernya aku masih ingin yang lebih meledak lagi.

    Mun, munte, makasih ya, untuk sejenak membuatku kembali merasa anak-anak kembali. Tapi sayang, sejak kecil buku yang aku baca bukan buku anak-anak seperti kamu. Buku yang sering ku baca dulu adalah Fredy S. Sastra Lapak. Atau kakeknya Djenar Mahesa Ayu.

    hhehehehe :)

    BalasHapus
  2. horeeeeee.......komentarmu membuktikan bahwa memang kita makhluk yg berbeda. saya manusia, anda entah apa. kita melalui masa kanak2 yg sgt berbeda sebab sy selalu merahasiakan waktu2 di mana saya kebelet boker. alhamdulillah.

    hahaha....saya sendiri juga menikmati ledakan2 itu. saya capek hidup berpura2 di dunia orang dewasa (secara kepura2an tidak bisa dihilangkan sama sekali, alias butuh). saya jg sadar sepenuhnya bahwa kekanak-kanakan itu bagi sebagian orang tidak layak ditunjukkan oleh orang yg berusia belasan tahun ke atas, bahkan mereka kerap mangkel dan kesal melihat hal itu. tapiiiii.....ini tidak bs hilang sepenuhnya dari saya. itulah salah satu alasan saya menulis. saya nggak mau peduli siapa yang baca tulisan saya. nggak dibaca sekalipun yg penting saya meletakkan semua kepura2an saya dan menulis apa yang ada di pikiran, di hati, dan di perut saya. semuanya. sy punya ruang yang lebih luas dalam tulisan. ini merupakan terapi psikologis jg buat sy yg memang menyukai dunia kanak2 meski usia menuntut untuk jadi dewasa.

    terima kasih kembali karena membaca tulisan ini. hahaha...buku ini pun baru kubaca ketika usiaku 20. dan ak jg belajar baca pake koran Kompas (tidak seperti richi yang belajar baca pake rotan). apa pun bacaannya, mari menikmatinya. tiap orang bisa menimba dan belajar dari tiap bacaan. apa pun itu, ak percaya. hehehe. dan aku tetap percaya kamu aneh dan tidak pernah ganteng. amin.

    BalasHapus
  3. kayaknya masa kecil kamu itu bener2 suram deh. mending kamu tanyakan mama papamu sekarang, kau anak mereka apa tidak? tapi yang jelas, kamu bukan anak mereka. pasalnya pas kamu bayi, kena gejala mencret akut stadium 4. trus mama papamu kebetulan kasian, jadi mereka jadikan kamu anak angkatnya.

    nah, katanya kamu pernah mengalami 2 kali masa busung lapar. trus gangguan jiwa, hingga 4 tahun lamanya kamu masih suka ee di celana dengan alasan "anget-anget di pantat".

    soal belajar dari apapun. aku setuju. dan suatu saat kau pasti percaya aku itu ganteng banget dan imut.

    BalasHapus
  4. -___-' itu semua dikarang2 dengan sangat menakjubkan. emang isi otakmu cuma sepanjang ee dan mencret ya, ckckck...

    itu kan kalo belajarnya dari kamu doang. nah, berhubung aku belajar dari banyak tempat juga, maka sumber2 belajarku itu yang akan menyelamatkanku dari kekeliruan terbesar sepanjang sejarah untuk pengakuan itu. aku akan tetap belajar bahwa kamu tidak seperti yang kamu akui.

    BalasHapus
  5. ah, perasaan adek aja. jangan suka lebay gitu ah.
    tapi itu bener kok. kamu memang aslinya atambua. coba kamu lihat dicermin. pasti mirip banget ama rici. kan keajaiban tuhan gitu, selama bertahun2 pisah, akhirnya ketemu lagi ama sodara. dasar munte.

    nah, waktu yang akan menjawabnya munte. soal kegantenganku, soal keartisanku

    BalasHapus
  6. keajaiban? kamu itu yang ajaib, nggak nyerah2 juga. besok tak pigura'in akte kelahiranku dah!

    ganteng itu sangaaaaaaat relatif. tolong jangan kecewakan einstein dgn ketidakpercayaanmu pada relativitas. waktu memang akan semakin meyakinkanku bahwa aku selalu berpikiran benar bahwa kau tak pernah tampan.

    BalasHapus
  7. udahlah, simpan uangmu untuk nyogok RT RW dan kelurahan hanya untuk menunjukkan kamu bukan kelahiran atambua. sudahlah, gak usah ngotot kaya gitu. Te, keluarga kalo gak diakui itu pamali lo. sumpah.

    oya, mengapa sekarang tidak membicarakan yang menyenangkan saja. seperti menggunjing hidup dengan membicarakan kemungkinan orang-orang yang masih hidup untuk membuat teori baru yang lebih relevan. hehehe

    soal kegantenganku, aku punya sertivikat ganteng lo, jangan macam2 ya

    BalasHapus
  8. misalnya? siapakah orang hidup dengan teori2nya yang lebih relevan tersebut?

    BalasHapus
  9. banyak. orang disekitar kita bisa hidup dengan cara demikian. Jangan kita berpikir teori hanya dikangkangi orang kuliah.

    BalasHapus
  10. Orang-orang desa yang kita remehkan, orang-orang di kampung nelayan, pengemis, bajingan paling tengik, pelacur, punya pandangan hidup yang lebih jauh masuk akal menjawab tantangan hidup dengan bahasanya sendiri yang tidak sombong macam orang kuliahan yang hanya menuhankan teori tanpa harga dan sok telah memetakan hidup dalam sederet teori tengik.

    hidup bukan hanya soal bagaimana kita menjadi sinis dan memasang pagar yang tinggi agar kita dikira hebat, dikira ini dikira itu. padahal hekekatnya kita sendiri begitu rapuh./

    itulah, mengapa orang yang belajar teori dari kampus tak pernah mendapatkan jawaban yang pas dari teori yang diyakininya soal bagaimana hendak menjalani hidup.

    hiduplah dengan bersahaja. sebagai manusia biasa, tanpa tedeng aling-aling

    BalasHapus
  11. sebenarnya tidak semua 'kita' meremehkan orang-orang yang disebutkan di awal itu...

    yah, aku sepakat soal pagar tinggi itu.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer