23

Hai, aku sudah berusia 23 tahun sekarang. :)

Tulisan ini adalah salah satu rutinitas tahunanku setiap habis ulang tahun. Bukan kebetulan (hanya gara-gara aku tidak percaya kebetulan), tanggal ulang tahunku itu berdekatan dengan tanggal tahun baru masehi. Jadi, momen menulis seperti ini biasanya aku pakai untuk sekalian mengulas balik perjalanan hidupku di umur sebelumnya dan harapan-harapan di umur yang baru akan dijalani.

Minggu-minggu menjelang usia 23 ini tidak jauh beda dengan minggu-minggu menjelang usia 22 tahun lalu. Hahaha. Aku selalu kelabakan di akhir tahun sebab tiba-tiba punya begitu banyak hal untuk dikerjakan. Kalau tak hati-hati, biasanya aku akan jatuh sakit pula. Biasanya penyakit ringan yang tetap bikin menderita, seperti flu. Hanya flu, tapi lantaran itu berlangsung ketika suasana kegiatan begitu riuh, rasa-rasanya seperti mau mati. Ya, terdengar berlebihan, abaikan. Pun akhir tahun lalu aku harus mencari tempat tinggal sewaan baru karena belum menemukan rumah yang cocok untuk ditempati bersama teman-teman sesuai rencana. Hal konyolnya adalah aku sempat begitu kesal dan capek, sampai-sampai gara-gara hujan saja aku menangis. Menangis karena terancam batal pindahan lagi. Untunglah aku punya pacar yang begitu sabar dan berusaha memahami keanehanku itu. Haha.

Seperti tahun-tahun perantauan sebelumnya, aku pulang ke kampung halaman menjenguk rumah. Mudik tahun sebelumnya hanya memberiku kesempatan untuk ada di rumah selama tiga hari. Sisanya lalu-lalang di jalan dan di rumah nenek. Mudik terakhir itu kumanfaatkan untuk bergeletakan saja sampai puas di rumah. Ternyata didukung dengan kenyataan bahwa aku jatuh sakit (seperti biasa) persis di hari Natal. Semuanya masih sama. Ibuku masih tetap memasak menu lebaran untuk natalan di rumah. Kami punya banyak kesempatan mengobrol hingga hari terakhirku di sana. Syukurlah.

Aku menghabiskan malam tahun baru dengan belajar. Iya, belajar! Aku membaca dengan serius sementara  televisi di depanku menayangkan siaran-siaran heboh menjelang tahun baru. Aku sendiri gumun dengan apa yang aku lakukan. Ini bukan buat sombong, tapi ini menyadarkanku betapa random-nya hidupku. Di malam-malam lain, malam yang jauh lebih nyaman untuk belajar karena tidak ada kembang api berledakan tak henti, aku tidak punya semangat sama sekali untuk membuka bacaan. Justru di malam ketika semua orang berliburlah (aku sendiri juga sebenarnya memasang niat untuk berlibur) aku bergerak untuk belajar. Ini pertanda bahwa benar perkataan seorang temanku di perantauan sini, aku perlu belajar mengenal diriku sendiri.

Kalimat itu tidak klise sama sekali buatku. Justru sangat menohok. Sebab di tengah beranjak banyaknya angka umur, aku disadarkan bahwa mungkin malah aku tidak begitu kenal dengan baik siapa diriku sendiri. Bukannya belum pernah melakukannyatentu saja aku sudah pernah mencobaaku lupa bahwa manusia itu berkembang. Berubah. Maka, aksi macam itu bukanlah sesuatu yang hanya perlu dilakukan satu kali dalam seumur hidup. Tak aneh kalau aku tak kenal diriku yang sekarang ini kalau memang aku tidak pernah mencoba lagi untuk mengenali. Kan aku berubah. Tapi, soal random itu tadi, aku tahu persis aku ini memang sangat acak. Hahahaha.

Nah, kini aku mau bercerita soal ulang tahun. Sudah dua tahun terakhir ini aku tidak merayakannya di rumah. Biasanya aku selalu ingin hari itu dirayakan dengan kebiasaan khas keluarga kami jika ada salah satu anggota yang berulang tahun. Tidak aneh-aneh, hanya berdoa dan makan bersama. Dulu ketika kecil, ibuku rajin membuatkan kue ulang tahun dan masak enak untuk hajatan kecil ini. Namun, suatu kali di tahun akhirku di SMP atau malah tahun pertama di SMA, aku pernah membuat adikku kesal gara-gara memilih menu yang kurang oke untuk syukuran ulang tahunku. Tahun itu ibuku tidak masak sendiri. Aku diminta memilih mau makan malam apa di hari khusus itu. Aku menjawab dengan enteng, “Nasi padang.” Wajah adikku langsung menekuk sedih. Ia bingung, hahahaha, tidak mungkin protes karena yang membuat permintaan makan itu adalah si gadis yang berulang tahun. Apa dayanya menolak, meski lidah dan perut ingin menu yang lebih mewah. Bapak pun sempat berulang kali mengonfirmasi menu ini, agaknya tidak percaya menu makanannya sesepele itu. Tapi, saya dengan yakin mengulanginya, “Nasi padang.” Ketika kami sedang makan bersama di rumah, abangku menelepon untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Saat itu ia sedang menjalani studi di Palembang dan tidak bisa pulang untuk natalan bersama karena harus menghadapi ujian semester. Dia bertanya basa-basi, “Makan apa di rumah?” Aku mengulangi frasa sakti hari itu, “Nasi padang.” Abang langsung tidak percaya, bahkan menuduh aku diberi hadiah lain yang jauh lebih mewah dan mahal oleh orangtuaku gara-gara menu makan malamnya tak menantang dompet. Itu salah satu hari ulang tahun paling menggelikan yang pernah kualami.

Tahun ini, aku menerima sebuah hadiah yang lebih cepat dari hari ulang tahunku. Adikku yang sedang menjalani pendidikan di novisiat mengirimiku kartu ucapan selamat ulang tahun yang tiba di rumah tanggal 1 Januari. Ada ucapannya, ada fotonya. Di bagian depan fotoku (entah umur berapa) sedang mangap tanpa tujuan di ruang tamu rumah, di bagian dalam foto kami tiga bersaudara di hadapan sajian makan malam ulang tahunku yang ketujuh (kalau tidak salah). Aku senang sekali dapat kartu itu, geli juga. Hahaha.

Pergantian hari menuju ulang tahun kali ini kulalui tepat di Stasiun Cirebon. Ceritanya aku sedang dalam kereta dari Jakarta menuju Yogyakarta. Persis pukul 00.00 keretanya berhenti di Stasiun Cirebon. Dua menit berselang, masuk pesan ucapan selamat dari mas pacar. Hehe, aku cengengesan sendiri di dalam kereta. Untung penumpang di sebelahku sedang ke kamar kecil. Setelah itu aku melanjutkan tidur. Lebih baik tertidur daripada bengong menunggui AC kereta yang terlalu dingin itu dirapikan suhunya oleh petugas. Subuhnya aku tiba di Yogyakarta disambut hujan. Lalu dijemput kekasih dan bermandi gerimis syahdu di atas sepeda motor menuju rumah kosku. Tsaaah. Hari ulang tahun itu berlalu dengan sederhana. Aku memberi hadiah kecil buat diriku sendiri dengan minta krimbat di salon dekat kos lalu makan malam mi Jawa kesayanganku dan mas pacar. Jebul masnya yang jualan sudah kangen dengan kami yang rajin bertandang ke sana, hehehe.

Jadi, setelah tetek-bengek hari ulang tahun itu, mau apa aku di usia 23 ini?

Di ulang tahun kali ini, seorang temanku yang gendut, Febi, menyelamatiku dengan sekian banyak cerita pergumulan orang-orang berusia 20an. Cerita-cerita itu membuat kami berdua sering terkekeh, menertawakan betapa berantakannya diri kami tahun-tahun ini. Aku sih sebenarnya tidak terlalu kaget dengan hal-hal yang kualami dalam hidupku belakangan ini, soalnya aku sebenarnya panik. Hahahahahaha.

Secara pribadi, aku merasa pernah melalui tahun yang terasa begitu berat lantaran hidupku mulai jungkir balik ketika itu. Pemahamanku akan banyak hal bergeser atau bahkan berbalik arah, toleransiku dan kedisiplinanku soal prinsip juga banyak berubah. Nah, tahun-tahun berangka 20an ini belum terasa seberat tahun yang satu itu. Tahun yang brengsek tapi bikin melek itu. Hahaha. Meski begitu, terasa juga sih bagaimana sekian banyak hal mulai berjejalan masuk minta tempat di pikiran.

Buatku, alasan usia 20an itu begitu penuh kegalauan buat kebanyakan orang masa kini (termasuk aku) adalah pengondisian dari lingkungan sekitar. Ini bentukan. Jelas sekali manusia sepertiku, yang lulus SMA lalu melanjutkan kuliah dan berusaha lulus untuk bertanya lagi mau bagaimana melanjutkan hidup, turut mengalami kegalauan-kegalauan itu di umur begini. Kegalauan soal tepat atau tidaknya memilih jurusan waktu kuliah dulu, soal mengapa memilih lulus dari universitas dalam waktu sekian tahun, soal dapat apa selama kuliah, soal memilih mau tetap setia sama disiplin ilmu itu atau beralih ke hal lain yang lebih berprospek, soal mau bekerja apa setelah lulus, soal cukup atau tidaknya penghasilan dari kerja itu untuk kebutuhan harian dan tabungan masa depan, soal berita pertunangan dan pernikahan di sana-sini, soal akan menikah atau tidak serta kapan dan dengan siapa, soal biaya hidup yang terus naik dan bikin berpikir jika menikah dan punya anak nanti bagaimana cara membayar keperluan itu semua, soal pilihan-pilihan untuk tidak mengikuti arus itu dan mengambil jalur alternatif untuk (katanya) menikmati hidup, soal menyerahkan gaji pertama kerja untuk orangtua tapi lupa setelah itu mau hidup pakai uang apa, soal pertemanan yang kadang terasa begitu dewasa sekaligus tidak, soal pilihan-pilihan untuk bahagia. Banyak sekali soalnya. Selesai atau tidak selesai menjawabnya, hidupnya harus jalan terus. Tidak akan menunggu semuanya terjawab. Ibu dan bapakku sih kurasa mengalami hal begini bukan di usia 20an. Soalnya begitu lulus SMA mereka langsung memilih untuk bekerja. Jadi, kira-kira di usia 18an. Hahaha.

Intinya, aku melihat bahwa semua keramaian itu muncul bukan lantaran angka usia, melainkan tahapan hidup yang sedang dijalani. Buatku dan sebagian besar teman, tahap ini dijalani ketika umur 20an. Aku tidak ingin mendramatisirnya dalam tulisan ini, sudah cukuplah itu kulakukan di kehidupan nyata. Dalam banyak kesempatan memang pusing juga memikirkan hal-hal di atas itu tadi, tapi aku tidak menyangkal bahwa tahun-tahun ini indah. Umur ini seru.

Salah satu pelajaran besar yang kumafhumi di usia 23 ini adalah soal menangani kekhawatiran-kekhawatiran dalam hidup. Ya, semua orang pasti pernah khawatir dengan rencana-rencana mereka. Dengan belajar pada mereka yang lebih santai dalam menghadapi hidup (aku sendiri termasuk orang yang sangat mudah panik dan tegang dalam banyak hal), aku menandai satu hal penting untuk segera mulai kujalani. Aku perlu membuat diriku tenang, menyadari bahwa segala sesuatunya tidak serta-merta terjadi. Ada proses dan perjalanan yang harus dilalui. Hidup adalah cerita yang tak pasti tapi, banyak hal yang harus dilalui. Itu kalau kata penggalan lirik lagu kondangnya Mas Natan dan Mas Doni, teman kuliahku. Iya, aku harus, harus terlebih dahulu melalui perjalanan itu. Entah itu akan mulus, berliku, menanjak, menukik, berbatu, berlubang, bergelombang, lurus, atau bagaimanapun, itulah jalan yang juga akan dilalui semua orang dalam hidup. Cita-cita dan rencana tetaplah perlu dipegang sebagai penentu jalur, tapi yang tak kalah penting adalah ketekunan untuk terus berjalan.

Perjalanan yang lalu juga membuatku paham sedikit demi sedikit bagaimana diriku sebenarnya. Kenyataan bahwa aku sering sekali (dan dengan mudah) jatuh sakit menunjukkan bahwa aku sudah cukup lalai memelihara diri. Aku perlu jadi lebih sehat. Alasanku dua: untuk diriku sendiri agar bisa menjalankan rencana hidup dengan lancar dan untuk orang lain agar tidak kerepotan mengurusiku bolak-balik sakit. Aku sering lupa bahwa aku harus merawat diri dengan benar, tidak lagi rewel soal jadwal makan hanya karena sedang tidak ingin atau tidak dalam suasana hati yang bagus, tidak lagi memaksa diri bekerja sampai kelelahan dan di kali lain bermalas-malasan sampai sakit kepala. Aku punya resolusi (biar seperti lazimnya kata kunci tahun baru) untuk lebih disiplin menjaga kesehatan jiwa dan raga. Hahaha. Aku punya keinginan mengurangi konsumsi obat-obat atau suplemen dari bahan kimia dan mengalihkannya jadi konsumsi makanan yang lebih sehat. Aku punya keinginan untuk lebih jujur dan sering berbagi agar tidak sering njebluk karena kepenuhan. Hehehe.

Hmm… apa lagi, ya? Oh ya, soal yang sedang ramai berlangsung di sekitarku sekarang: pernikahan dan rumah tangga. Hahahahahahaha. Aku dan sebagian besar teman pernah begitu enggan berbicara tentang hal ini lantaran takut dan tidak yakin dengan diri sendiri (tapi, sok-sokan menutupinya dengan alasan semacam “ingin menikmati hidup”, memangnya menikah membuatmu serta-merta tidak bisa begitu?). Tapi, perjalananku mengajariku satu hal lagi soal identitasku. Aku punya kecenderungan bahagia jika merawat atau memelihara sesuatu. Oleh karena itu, kini berumah tangga adalah salah satu bagian dari rencana hidupku. Sebabnya, tak lain karena di dalam rumah tangga ada banyak hal untuk dirawat dan dipelihara. Hahahahahahahaha. Nah, berdasarkan pemahamanku yang seadanya soal rumah tangga keluarga, aku belajar untuk tidak lagi menghindari obrolan-obrolan mengenainya (mengingat aku sendiri punya rencana untuk menjalaninya). Ini bukanlah hal remeh. Maka, rasanya wajarlah kalau dibicarakan, dipikirkan, dipersiapkan sejak jauh-jauh hari.

Penyakitku kumat, tulisan ini jadi panjang sekali gara-gara melantur ke sana-sini. Hahaha. Biarlah, setelah sangat lama tidak menulis, aku ingin sedikit mengabaikan aturan kenyamanan baca demi bercerita dengan gembira.

Hmm… akhirnya, apa yang ingin kuusahakan di usia baru ini (dan seterusnya) adalah menjadi bahagia. Dengan apa pun bahagia itu bisa kurasakan. Aku ingin bahagia menjalani pilihan-pilihanku dengan tidak menyesalinya dan berusaha konsekuen. Aku ingin bahagia dengan apa yang sudah, sedang, dan akan kumiliki. Aku ingin bahagia bersama orang-orang di sekitarku (karena bahagiaku itu bergantung pada banyak orang, hahahahaha). Kalau kayak kata band FSTVLST, aku ingin “menyudahi sedihku yang belum sudah”. Hehehe.

Itu saja deh, nanti aku malah melantur keterlaluan lagi.

Terima kasih buat semuanya yang membuat peringatan 23 tahun ini ria. Aku sayang kalian semua. Sayang banget. :*


Komentar

Postingan Populer